Ghost of School

Hari Pertama



Hari Pertama

0Berada di kelas sendirian dengan ruangan yang lampunya tidak menyala dan hanya menggunakan penerangan lewat jendela berasal dari sinar matahari, membuatku jadi sedikit gusar. Sudah ketiga kalinya aku menghabiskan botol mineral yang kubawa dari luar. Sepertinya aku akan menuju ke kamar mandi, benar saja, aku sudah tidak tahan lagi.     

Sedikit tergesa, aku berlari kecil melewati lorong-lorong sekolah yang sepi. Kurasa jam pelajaran terakhir sedang berlangsung. Namun aku tidak peduli, saat melewati lapangan melihat beberapa siswa berpakaian olahraga sedang memperhatikanku dengan raut wajah penasaran. Pasalnya aku bukan murid sini, mengenakan baju bebas dan berlarian seperti orang kesetanan.     

Ketika melihat lorong yang berbelok, aku menengok ke kanan dan kiri. Bingung mencari di mana kamar mandinya berada. Namun, suara seseorang menggiringku pada hal penasaran. Suaranya seperti membentak, tegas. Ternyata ada di lorong sebelah kiri, sebuah kelas kosong yang terbuka. Kurang ajarnya, aku justru mengendap untuk menguping. Takut jika ada kejadian kriminal di sekolah ini, korban yang menjadi sasarannya kasihan jika tidak ada yang menyelamatkan.     

Dalam hati aku berdoa, semoga seseorang di dalam sana tidak menyadari keberadaanku.     

"Kau tidak boleh pergi!" jeda sesaat ketika dia berkata dengan nada mengancam. "Jika kau tetap menuruti guru kesayanganmu untuk pergi membelikan seblak, tepat jam 12.25 siang ini, kau akan meninggal dalam keadaan ditabrak mobil Fortuner putih plat D 1169 UAY karena kau melawan lampu merah dengan tidak sadar."     

Aku melongo, mendengar penuturan laki-laki yang memunggungiku saat ini, sedang berbicara dengan seorang gadis yang kira-kira juga sedang kebingungan. Gadis itu tertawa cukup keras. Dia menggelengkan kepala, dari raut wajahnya sudah dipastikan bahwa dia tidak percaya pada omong kosong laki-laki di depannya ini.     

"Kau mabok? Yang benar saja aku melawan lampu merah? Itu tidak akan terjadi!" kata gadis itu dengan mendengus sebal. "Lagi pula kenapa kau bisa tahu segalanya? Aneh, kau dan keempat saudaramu sungguh aneh. Kita tidak saling mengenal, kau tiba-tiba datang menyeretku di ruangan kosong ini. Aku tidak percaya dengan omong kosongmu. Jangan-jangan kau sedang menularkan auramu agar aku menjadi kecelakaan?"     

Laki-laki itu bergerak maju, kulihat dari raut wajah gadis dihadapannya menjadi pucat, dia tampak ketakutan, saat aku hendak menolong dengan melangkah masuk, tiba-tiba dia berbalik. Berjalan dengan langkah panjang meninggalkan gadis tersebut tanpa suara. Yang ada aku harus memunggunginya dan berpura-pura tidak melihat keberadaannya. Setelah kutatap punggungnya berjalan jauh dan menghilang, aku buru-buru pergi mencari kamar mandi. Takut jika gadis tadi akan berpikir buruk saat melihatku berada di sini.     

Kubuka kenop pintu kamar mandi, lalu berjalan menyelesaikan tugasku. Dalam keheningan, aku bernapas lega ketika berhasil membuang air kecil.     

Lima menit berlalu, samar-samar aku mendengar suara rengekan, dahiku mengernyit heran. Cepat-cepat aku keluar dari bilik kamar mandi, aku menatap ke kamar mandi ujung.     

Lampunya berkedap-kedip, membuat jantungku jumpalitan tak karuan. Suara rengekan seorang gadis semakin keras. Tanpa kuduga, bibirku bergerak dengan suara gemetar, "siapa di sana?"     

Hening. Lampu yang tadi berkedap-kedip menjadi tenang dan menyala normal. Tapi yang membuatku kaget, sosok itu muncul, membuat napasku tertahan. Tampilannya sangat mengerikan, banyak luka-luka di tubuhnya.     

DIA GADIS YANG TADI MENDAPATKAN PERINGATAN DARI....     

"Kau bisa melihatku?" Netranya yang sembab menatapku dengan pasrah.     

Aku mengangguk samar.     

Lalu dia merengek lagi, suara tangisannya semakin kencang. Rambutnya menjadi lepek, seperti yang kuduga dia pasti menyiram sekujur tubuhnya di dalam kamar mandi ujung.     

"Dia benar, laki-laki yang ternyata kuanggap omong kosong, laki-laki sempurna dengan kelebihannya. Berbaik hati memperingatkan aku, tetapi aku tidak mendengarkan penuturannya." Dia merengek sambil meracau demikian, namun aku tetap bisa mendengarnya dengan jelas.     

Tenggorokanku tercekat, namun aku berusaha bersikap tenang. "Kau benar-benar mengalami kecelakaan itu?"     

Dia mengangguk singkat, kurasa dia sedang dalam keadaan terpukul. Kasihan sekali dia menjadi arwah gentayangan. Tapi aku tidak bisa membantu dia untuk hidup kembali, maka dari itu aku hanya diam memperhatikannya.     

"Kau tahu, laki-laki tadi yang memperingatkanku, dia sama sekali tidak pernah berinteraksi denganku. Baru kali ini dia mengajakku berbicara, dulu aku pernah menyukainya. Tapi orang-orang semakin menganggapnya aneh, menganggap semua saudara-saudaranya juga aneh."     

Aku diam mendengarkan celotehan hantu itu.     

"Kupikir wajar saat aku terkejut, dia hanya membicarakan omong kosong untuk menakutiku. Karena perasaanku padanya telah hilang, aku juga sudah bersama laki-laki lain. Laki-laki yang menjadi musuhnya. Laki-laki yang berkuasa di sekolah ini."     

Tepat ketika aku ingin bertanya siapa orang-orang yang dia bicarakan, siapa orang-orang yang dia maksud ini. Hantu itu buru-buru pergi, karena pintu depan terbuka dengan setengah di banting.     

Netraku memandang seorang gadis berkuncir kuda yang sedang mengatur pernapasannya. Dia menatap lurus ke arahku. "Calista?" suaranya terdengar lirih, menyebutkan namaku.     

"Ya? Kau siapa?"     

:fallen_leaf::fallen_leaf:     

Jam olahraga telah selesai, bel pulang sekolah juga telah dinyalakan. Aku memandang kelima orang yang ada dihadapanku ini. Mereka menyuruhku untuk berdiri di depan kelas, sedangkan mereka sibuk memasukkan peralatan tulisnya ke dalam ransel. Saat gadis bernama Anggun datang ke kamar mandi dan menemukanku, dia langsung mengajakku ke sini. Dia berkata bahwa aku harus ikut bersamanya. Wajahnya yang terlihat judes dan serius, membuatku tidak banyak bicara saat berdiri di sampingnya.     

Hanya saja, aku penasaran oleh kata-kata arwah gentayangan yang tadi mendatangiku dan mengatakan beberapa hal kepadaku.     

"Ayo!" Tangan Anggun yang terasa dingin menyentuh telapak tanganku dan mengajakku untuk ikut pergi meninggalkan kelas bersama mereka berempat.     

Kami berjalan di koridor, di depan ada aku, Anggun dan gadis bertubuh kecil yang terlihat imut untuk memimpin jalan. Sedangkan di belakang kami, ketiga laki-laki itu juga berjalan lurus, dengan seragam yang dikeluarkan, dan tas punggung hanya disampirkan di bahu kanan.     

Kuperhatikan saat kami melewati siswa lain, mereka memandang penasaran dan seperti sudah menjadi kebiasaan bagi mereka memperhatikan kelima orang yang bersamaku ini. Samar-samar aku juga mendengar mereka berbisik seperti ini,     

"Lihatlah, dia tadi bukannya mengajak Celin sebelum disuruh oleh bu Darla membeli seblak? Kurasa kejadian kecelakaan Celin yang melawan lampu merah, karena dia memikirkan Egi."     

"Benar, apa yang dikatakan Egi hingga mengganggu pikiran Celin?"     

"Apakah orang tuanya tidak pernah menjenguk mereka? Atau memang mereka semua anak-anak yang terbuang karena terlihat aneh?"     

"Jangan membicarakannya. Nanti kalau kalian disantet bagaimana?"     

Oh, astaga... gadis-gadis bermulut comel itu rasanya ingin sekali kujejali dengan botol kosong di dalam ranselku ini.     

Seorang guru berlari dengan isakan tangis yang terdengar piluh. Dia tidak memperdulikan teriakan guru-guru lainnya, dia berlari menuju ke parkiran dan masuk ke dalam mobil. Kurasa, dia pasti ingin melihat murid kesayangannya di rumah sakit.     

"Masuklah, kau duduk di depan bersama Egi."     

Aku tersadar dari keterbengongan saat suara Anggun menyuruhku masuk ke dalam mobil. Ternyata, laki-laki itu bernama Egi. Kami telah tiba di parkiran, di depan mobil Fortuner hitam. Aku menuruti saja perintah mereka dengan duduk manis di samping Egi sebagai pengemudi, kulirik dia tampak tenang dengan menatap lurus ke depan. Anggun dan Pricil duduk di belakang. Sedangkan kedua laki-laki lainnya, ada di mobil yang berbeda.     

Suasana menjadi sangat menegangkan saat mobil mulai melaju keluar dari parkiran. Tidak ada suara musik yang mengalun, mengisi keheningan. Kedua gadis di belakangku sibuk bermain ponsel. Egi juga fokus kepada mobilnya. Dari raut wajah mereka terlihat lelah. Aku juga tidak berniat memulai konferensi ini lebih dulu.     

"Gi, kutebak pasti kau memperingatkan Celin sebelum dia pergi?"     

Pertanyaan dari gadis bertubuh kecil yang berada di belakangku tepat, dia menatap Egi penasaran dengan tubuh condong ke depan, sehingga aku dapat meliriknya dengan jelas.     

Laki-laki di sampingku ini hanya mengangguk singkat, tanpa mengeluarkan suara.     

"Ya! Udah kubilang kalau kau tidak boleh melakukan ini lagi. Apalagi kau melakukannya di depan teman-temannya. Mereka pasti telah memiliki asumsi buruk tentangmu. Aku jadi kesal mendengarkan mereka berbicara seperti itu saat kita melewatinya di koridor tadi!" Gadis itu menghempaskan tubuhnya ke belakang, dia sangat marah, wajahnya memerah menahan amarah.     

"Diamlah, Cil, kau seperti tidak mengerti karakter Egi saja."     

Ah, kenapa aku harus terjebak dalam suasana tidak nyaman seperti ini, sih? Kesan pertama saat bertemu mereka, kurasa tidak mudah menjalankan hari-hari, sama seperti kehidupanku dulu. Hanya saja mereka berlima, aku sendiri. Mungkin ini mengapa papa mengirimku ke sini. Orang-orang serius yang tidak menunjukkan keramahannya, bagaimana bisa mereka mendiamkanku? Apa mereka tidak menyadari jika aku mulai tidak nyaman? Kenapa mereka tidak membahas tentang aku yang dikirim oleh orang tuaku agar tinggal bersama mereka? Menetap bersama mereka di sini?     

Satu lagi, fakta yang kuketahui, laki-laki bernama Egi ini memiliki kemampuan yang lebih horor dari kemampuanku, dia bisa melihat kapan seseorang mati dengan sangat detail. Tapi kenapa hantu Celin tidak menemui Egi sama sekali? Kenapa dia seakan menghindar saat Anggun datang ke kamar mandi tadi? Aku jadi penasaran, sebenarnya mereka siapa? Apakah mereka memiliki keistimewaan juga sepertiku?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.