Ghost of School

Kita Sama



Kita Sama

0"Selamat datang!"     

Aku terkejut saat pintu rumah ini tidak tersentuh, namun sudah terbuka secara tidak normal. Maksudku, kami tidak ada yang menyentuh dengan tangan dan mendorongnya, alih-alih mereka memegang kunci. Pintu rumah ini seperti memiliki sinyal yang bisa terbuka hanya karena merasa ada seseorang mendekati batas garis tertentu. Jika kau tahu pintu kaca yang ada di mall dan di setting khusus, nah pintu cokelat ini mirip dengan pintu kaca di mall.     

Kedua gadis yang berdiri di samping kanan-kiriku mempersilakanku masuk. Lalu mereka semua duduk di sofa, menungguku yang berjalan lambat karena atensiku pada ruangan ini sangat besar. Aku sampai memandang langit-langit ruangan, terdapat lantai atas. Rupanya hanya tingkat dua, namun bangunannya terlihat sangat mewah dan memberikan kesan bahwa rumah ini memiliki tingkatan lebih dari dua.     

Desain rumah ini juga sangat klasik, dinding-dinding penuh dengan lukisan dan tulisan berbahasa latin. Di ujung yang memiliki jendela cukup besar, terdapat sebuah piano yang terbungkus kain putih di atasnya. Piano itu terpojok dekat dinding. Menghadap ke dinding polos yang bercat kuning gading, namun juga berada di sisi jendela.     

Di ruang tengah terlihat sangat luas, hanya ada beberapa guci besar di sisi sudut ruangan sebagai hiasan, lalu ruang berkumpul seperti yang saat ini mereka lakukan, berada tepat di dekat tangga menuju ke lantai dua. Di bawah juga hanya ada dua kamar. Mungkin sisanya ada di atas.     

"Sampai kapan kau memperhatikan rumah ini seperti sangat mengaguminya? Apakah kau tidak pernah melihat hal mewah?" seru laki-laki yang memiliki senyum kelinci, dia hanya geleng-geleng kepala menatapku.     

Aku sangat kikuk, bingung harus berdiri atau berjalan duduk dan bergabung bersama mereka di tengah-tengah?     

"Duduklah, rumah kami ini memiliki desain klasik, selain lebih terlihat sunyi. Ini masih wajar karena kami tidak memasang lilin di setiap sudut ruangan," kata laki-laki itu lagi.     

Aku belum tahu nama mereka semua dengan detail. Kakiku berjalan mendekat dan mendaratkan pantatku di sisi gadis bertubuh kecil yang terlihat lebih ramah. Aku suka wajahnya karena imut, jadi aku tidak merasa tegang ketika ada di dekatnya. "Lilin?" suaraku mungkin terdengar sangat telat saat bertanya demikian.     

"Ya, lilin untuk melakukan ritual berdoa dan perlindungan dari dunia ghaib, lilin bagi kami adalah permohonan dan juga harapan. Saat kau melihat patung macan di luar dekat dengan halaman, apakah kau tidak merasa takut?"     

Kali ini gadis di sampingku yang berbicara. Lantas aku menggeleng, kepalaku bergerak meliriknya sekilas. "Tidak, di rumahku papa juga sangat menyukai hiasan macan untuk depan rumah. Katanya macan adalah temannya, jadi harus selalu ada di sana."     

"Apakah kalian tidak berniat untuk memperkenalkan diri lebih dulu? Membicarakan hal random akan membuat dia semakin bingung," celetuk laki-laki berwajah cuek, berbeda dengan Egi, dia lebih terlihat pendiam dan cuek. Jika Egi, mungkin dia lebih pantas mewarisi ekspresi Childish, tapi juga tidak bermaksud mengatakannya benar-benar seperti itu. Kurasa ekspresinya memang seperti itu, tapi hatinya lebih pingky. Bisa saja, kan?     

"Ah, iya! Perkenalkan, aku Pricil."     

Kurasa aku sudah mengetahui gadis yang saat ini mengulurkan tangan dengan ramah dan tawa khasnya mulai muncul, dia Pricil. Tanpa keberatan aku menerima uluran tangannya. Sungguh, dia selain imut, manis, dan cantik. Kurasa tubuh kecilnya memang tidak bisa disebut sebagai kekurangan, tapi dia memiliki banyak kelebihan yang mungkin bisa sangat layak dipuji, dia benar-benar memiliki kulit bersih dan mulus. Sangat terawat, mata gadis itu juga lebih lebar.     

"Calista Elssa." Aku menyebutkan namaku, entah mereka sudah tahu, tapi bukan untuk memperkenalkan kepada Pricil saja, aku juga menatap yang lain secara bergantian.     

"Ini Anggun. Kuberi tahu sedikit tentang dia, Anggun anaknya sedikit tomboy, tidak suka orang lelet, dia tegas apalagi kalau ngomong sama dia harus jelas." Pricil tertawa ketika mengatakan tentang Anggun.     

Lalu dia beralih menatap Egi. "Dia Egi, laki-laki paling tua di antara kita semua. Mungkin kau sudah tahu tentang keistimewaannya sekilas. Nanti deh aku jelasin satu persatu. Menurutku, Egi karakternya itu tidak jelas. Tapi meskipun begitu, dia yang paling bisa diandalkan dari kami berempat. Dia memiliki sifat pantang menyerah.     

Egi paling ekspresif, sangat kaya dalam mengekspresikan emosi. Dia juga memiliki kemampuan yang alami, tanpa perlu mempelajarinya dia sudah bawaan dari lahir dan keturunan leluhurnya. Dia juga yang paling hati-hati. Menurut versi kebanyakan orang, kami semua sebenarnya sulit bersosialisasi. Kebanyakan mereka membuat versi dari kami berlima berbeda-beda."     

Dapat kuperhatikan Egi hanya mengedihkan bahu acuh ketika Pricil mendeskripsikan tentang dirinya. Lalu Pricil tertawa kecil ketika dia selesai membicarakan tentang Egi. "Kalau Nathan, dia hampir sama sepertiku. Tapi kurasa dia jauh lebih buruk. Dia sangat receh, entah itu di dalam ruang yang hanya kami semua atau juga bisa di lingkungan luar, dia sangat mengkhawatirkan karena takut jika terlalu receh, orang-orang bisa mendekatinya."     

Alisku terangkat heran. "Bukannya itu bagus untuk kepribadian Nathan dalam bersosialisasi?" tanyaku mengundang gelak tawa dari Pricil dan juga Nathan.     

"Kenapa kalian tertawa?" kataku dengan sedikit sinis, lantaran aku kesal jika diabaikan seperti ini.     

"Maaf, tidak bermaksud menertawakanmu. Dan pertanyaanmu itu tidak salah, sangat benar. Tapi," ada jeda yang dikatakan oleh Nathan untuk menjawab pertanyaanku.     

"Kami tidak boleh bersosialisasi dengan manusia asing di luar sana, Cal. Kami harus membatasi diri dengan mereka, termasuk identitas pribadi seperti alamat rumah ini, mereka tidak boleh tahu," sahut Pricil yang mengambil alih atensiku.     

Mataku membulat, masih berusaha memahami maksud mereka yang sedang bertele-tele. "Bisa lebih diperjelas? Aku sedikit bingung jika menggunakan perumpamaan yang bertele-tele."     

"Pada intinya, kami memiliki kelebihan dan keistimewaan. Jika mereka melewati batas dengan mengetahui segala sesuatu tentang kami semua, tidak akan ada orang baik yang benar-benar baik di dunia ini. Jadi kami tidak pernah memberi kepercayaan kepada mereka yang tidak pernah percaya adanya dunia ghaib. Mereka pasti memiliki pemikiran yang menggunakan logika, seperti pada insiden Celin. Apa kau dapat menyimpulkan bahwa mereka semua menatap Egi sebagai biang masalah? Mereka menganggap Egi adalah tukang santet dan semacamnya, asumsi mereka akan selalu buruk jika tidak sesuai ekspentasinya."     

Aku memandang Anggun dengan serius, gadis itu seperti memiliki sedikit persamaan denganku, dia lebih suka langsung menuju ke intinya dari pada menjelaskan panjang lebar dan malah membuatku bingung.     

"Lalu, apa saja keistimewaan kalian? Aku juga bisa merasakan di posisi kalian, dan itu tidak mudah." Aku menelan salivaku, dapat kurasakan tatapan tajam Egi tiba-tiba menusuk bola mataku.     

Pricil menghela napas berat. "Karena kau mulai saat ini tinggal bersama kami, kau harus mengikuti semua peraturan yang ada di sini. Papamu sebenarnya sudah lama menjadi bagian dari orang tua kami juga, papamu masih memiliki darah dari keluarga kami. Sebenarnya, jika dijelaskan kami semua tidak sedarah, tapi orang tua kami semua masih memiliki keturanan yang sama termasuk orang tuamu Cal, maka dari itu, kami bisa berhubungan lebih dari sekadar saudara. Kami melihat orang-orang menganggap saudara yang sedarah, tapi kami hanya saudara jauh yang kebetulan sudah dari kecil bersama-sama."     

"Mungkin aku harus mengenal kalian lebih jauh untuk mengetahui sejarah kalian. Sungguh, aku sangat buta tentang hubungan kekeluargaan, tapi aku yakin, kalian pasti tahu lebih banyak tentang aku. Dari pada aku yang tahu lebih banyak tentang kalian?"     

Pricil mengangguk antusias, kurasa dia yang paling terlihat hidup dari yang lain. Yang lain hanya diam memperhatikan, menjadi penonton bayaran. Meski terkadang tanpa ekspresi, aku jadi bingung dengan mereka. "Kau benar, karena sejak dulu hanya orang tuamu yang menolak untuk bergabung bersama keluarga kami. Papamu memilih jalannya sendiri walaupun masih terus berkomunikasi dalam jarak jauh dengan kami. Tapi ketika beliau menceritakan masalahnya, dan tentang putrinya, kami menyuruh papamu agar kau bisa tinggal bersama kami. Urusan surat kepindahan dan kau sebagai keluarga kami, itu sangat mudah. Karena yang mengurus seluruh kepentingan ini adalah mama Egi. Dia ahli dalam hal ini."     

Tiba-tiba perutku bergeming, di saat-saat membicarakan hal serius seperti ini, aku jadi ingin makan. Tapi setelah aku mengetahui beberapa karakter dari mereka dan telah mencatat nama mereka di dalam ingatanku, kurasa aku harus segera mengatakan agar pembicaraan lain bisa dilanjutkan sambil memakan sesuatu.     

"Kau lapar?" tanya Egi begitu dia menyadari sesuatu dalam diriku.     

Aku melotot padanya, dia hanya menampilkan wajah datarnya. "Kau mendengar racauan perutku?"     

"Ya, itu bunyinya cukup keras." Egi mengangguk singkat.     

"Dia memiliki telinga yang sangat tajam, dia bisa berkonsentrasi mendengarkan hal sekecil itu meskipun suasana sedang ramai. Berbeda dengan Gery, laki-laki itu terlihat cuek dan santai, tapi dia membenci keramaian karena dapat mengganggu fokusnya," sela Pricil yang lagi-lagi paling terlihat banyak berbicara dari yang lain.     

"Oh, baiklah. Apa kalian tidak berniat untuk pergi ke meja pantri dan menikmati makanan terlebih dahulu sebelum membicarakan banyak hal? Aku datang jauh-jauh, perutku harus segera diisi." Aku sedikit merengek, tapi juga tidak terlihat berlebihan.     

Anggun beranjak lebih awal. "Aku akan memasakkan sesuatu untukmu, beri aku waktu lima belas menit, setelah itu kalian semua bisa berkumpul di dapur," ucapnya sebelum melanjutkan langkahnya untuk pergi meninggalkan kami semua.     

"Apakah aku harus membantumu?" Aku berteriak menawarkan bantuan, tapi Anggun mengangkat tangannya.     

"Dia bisa melakukannya sendiri. Lebih baik kuantar kau ke kamar untuk meletakkan barang-barangmu ini."     

Aku mengangguk patuh, setelah itu beranjak dari ruangan ini dan berjalan mengikuti Pricil yang menunjukkan di mana aku akan tidur. Lebih tepatnya, aku akan tidur bersama Pricil. Gadis itu terlihat senang. Pricil bilang di atas hanya ada tiga kamar, ada milik Pricil, Anggun dan Nathan. Berbeda dengan yang ada di lantai bawah, hanya ditinggali oleh Gery dan juga Egi karena mereka selain menyukai kedamaian, tapi juga jeda di pagi hari.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.