Ghost of School

Ada Yang Marah



Ada Yang Marah

0Meskipun banyak orang yang memandangnya aneh. Mereka berlima tidak merasa terganggu. Mereka justru bisa menyesuaikan hidup senormal mungkin, memilih kelompok sendiri dan tetap bersama untuk saling mengawasi, menjaga dan menguatkan.     

Buktinya sekarang orang-orang yang tadinya berkerumun, membuat suasana terlihat ramai dan hidup, kami berjalan ke kantin untuk mengistirahatkan kondisi tubuh yang mulai berteriak. Semua yang ada di lingkaran itu seakan memberi ruang dan membebaskan diri. Tengah-tengah kantin menjadi botak, tak ada manusia yang berani mendekat. Kami masuk menempati kursi dan meja yang ada di tengah kantin. Duduk saling berhadapan. Kali ini mungkin terlihat pas karena kehadiranku. Pricil berhadapan dengan Gery, Anggun dengan Nathan dan aku dengan Egi.     

Suasana kantin menjadi lebih lengang. Apa setakut itu mereka? Ini lantaran mereka sedang merasa panik dan takut akan bernasib sama seperti siswa yang kemarin mati.     

"Kau ingin pesan apa?" tanya Anggun yang membuatku tersadar dari lamunan. Gadis itu sudah berdiri bersama Pricil yang menggenggam lengannya.     

"Ah, samakan saja mungkin kita bisa selera semua." Kalau ditanya soal makanan, rasanya aku tak berselera untuk memilih makanan mana yang enak. Alih-alih mencari ayam atau daging, yang ada perutku merasa mual.     

"Dari tadi kau melamun." Aku sedikit tersentak saat suara Egi mengembalikkan setengah kesadaranku.     

Aku tersenyum, menunjukkan sesuatu yang menjadi beban pikiranku dengan dagu. Kepala Egi berputar perlahan-lahan mengikuti apa yang sedang aku tunjukkan itu. "Ah?" Dia kembali ke semula, menatapku dengan setengah alis terangkat. "Arwah penasaran itu?" Kali ini dia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan untuk berbisik padaku, mengantisipasi dari meja lain agar tidak mencuri obrolan aneh kami.     

Aku mengangguk kaku. "Dia tidak senang kita ada di sini dan mengganggu keributan yang tadi terjadi." Aku menjelaskan pada Egi tentang apa yang telah arwah penasaran itu katakan padaku secara tidak langsung. Dari jauh dapat kurasakan bahwa tatapannya ke arah meja kami, dan itu sangat menggangguku.     

"Bagaimana kalau kita bertukar tempat duduk?" Egi bertanya datar. Aku menaikkan alis, tidak mengerti. "Kau tak nyaman, biar kau tak melihatnya dan biar aku yang berada di tempatmu itu."     

Ah, dia sangat paham sekali jika aku merasa tidak nyaman pada tatapan arwah penasaran yang saat ini sedang melayangkan tatapan benci pada kehadiran kami di sini. "Baiklah." Aku pun beranjak dengan duduk di samping Nathan, laki-laki itu yang sedang memainkan game tampak menjeda dan melirikku dengan kernyitan heran. Egi sudah menggantikan tempat dudukku dan Anggun juga baru saja kembali bersama Pricil.     

"Loh? Kenapa bertukar tempat?" Pricil menatapku dan Egi bergantian.     

"Ada yang tidak suka." Aku menyahut, mewakilkan Egi juga. "Lihatlah di sana ada arwah penasaran. Dia benci kita membubarkan semua murid yang sedang membuat dosa." Aku melirik sekumpulan murid-murid yang sedang berdiskusi sambil mencuri-curi pandang ke arah kami, begitu tertangkap basah olehku, mereka langsung pura-pura makan kembali dengan normal.     

Anggun sudah duduk seperti semula, dia juga telah menyodorkan makananku dan milik Egi. Dalam diam, kuperhatikan Egi yang memakan batagor tersebut dengan santai, tidak terganggu sama sekali dengan sekelilingnya. Nathan juga sudah menyimpan ponselnya, tidak ingin mendapatkan omelan dari Anggun jika mengabaikan makanannya.     

"Ya, mereka memang seperti itu. Dari dulu bahkan setiap ada hal yang terjadi di sekolah ini. Mereka akan menggunjing kita dari belakang. Tapi setelah itu akan lelah sendiri dan lebih memilih menghindar jika kami berada di sekitarnya."     

"Uh?" Aku bergumam pelan, mengunyah batagor yang tersisa di dalam mulutku. "Kalian tidak masalah? Tidak sakit hati?" Aku bertanya, menatap Anggun dan Pricil.     

"Hidup mah kalau tidak makan batagor, ya, makan hati, Cal!" Nathan yang menyahut, dia menusuk batagornya dengan garpu, lalu menyuapkan ke dalam mulut sedikit ganas.     

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala heran. "Tapi itu keterlaluan, sih."     

"Sudah biasa, manusia memang seperti itu. Kau harus terbiasa dengan bersikap tenang dan sabar. Karena hawa nafsu akan lebih besar menguasai sebagian dari pikiran dan hati kita. Dan manusia semakin kehilangan hati nuraninya."     

Ya, Pricil benar, jadi untuk apa kita harus memikirkan apa yang dipikirkan orang lain tentang kita. Itu hanya akan menjadi penyakit. Lebih baik menjadi penonton untuk mereka yang terlalu senang membuat dosa.     

Selanjutnya tidak ada obrolan lagi yang dapat kami bahas. Mereka semua sibuk menghabiskan makanannya. Termasuk aku.     

"HEI, GOLONGAN PEMBAWA SIAL!"     

Kami semua menoleh ke arah pintu masuk kantin. Aku hampir saja tersedak dan buru-buru merebut teh manis yang telah tersedia di meja, lalu menyeruputnya hingga rasa nyeri di tenggorokanku hilang.     

Pandanganku beralih pada pemuda yang terlihat berantakan. Uh, lihat saja baju seragamnya dibiarkan keluar. Rambut hitam yang acak. Dan mata cokelat kerak yang tajam, terlihat bernafsu untuk menghunus kami berenam dengan pisau, merasakan dahaganya menjadi pembunuh.     

"Wah, gawat. Tengkorak hidup itu sudah mulai marah." Aku menoleh kepada Nathan yang baru saja berceletuk dengan mulut ternganga.     

"Gi, hati-hati." Anggun berbisik pelan, aku masih dapat mendengarnya.     

Tengkorak hidup yang disebutkan oleh Nathan tadi sedang berjalan ke arah kami. Langkahnya seperti diseret, mata yang lebih mirip zombie itu melotot kepada Egi saat dia telah tiba di hadapannya.     

"KAU PEMBUNUH SIALAN!"     

Aku bergidik ngeri, dia mengucapkan berbagai sumpah serapah. Menatap nyalang Egi yang sama sekali tak bereaksi apa-apa. Padahal kau tahu, aku sejak tadi mengawasi tangan kirinya yang ternyata benar-benar memegang pisau kecil dengan lapisan aluminium tajam.     

"BERDIRI KAU!" Laki-laki itu tak berani menyentuh Egi langsung, tapi mulutnya banyak mengeluarkan tenaga.     

"Jaga ucapanmu, Haidar." Anggun yang berdiri lebih dulu, karena Egi sendiri masih berada di posisinya, laki-laki itu berusaha menahan sesuatu di dalam dirinya agar tidak ikut meledak di sini.     

"HEH! Bacot sekali cakapmu!" Laki-laki yang bernama Haidar itu berganti menatap Anggun. Bahkan dia bisa sekasar itu dengan perempuan.     

"Wah, cari gara-gara sama kita, kau?" Nathan jadi ikut terpancing, lantaran gemas dengan kelakuan Haidar yang benar-benar tak beretika.     

"APA?!" Lagi-lagi suaranya keras. Tapi ada yang membuatku terusik dari pada hanya memperhatikan perdebatan di meja kantin ini, aku menemukan arwah penasaran yang tadi tampak marah pada kehadiran kami, ternyata sekarang dia terbahak-bahak mendapatkan tontonan gratis di meja kami.     

"Duduk, Nath!" Suara Egi yang dingin, tatapan laki-laki itu berubah, mata yang terlihat kelam dan dalam, aku dapat merasakan bahwa laki-laki di depanku ini berusaha mengontrol emosinya.     

Nathan yang melihat Egi berdiri pun kembali duduk. Anggun masih berada di posisinya, dia berjaga di belakang Egi, takut jika saudaranya tidak baik-baik saja. Pricil dan Gery tidak ada suara, mereka sendiri juga terkejut. Terlalu heran mencerna apa yang sedang terjadi saat ini.     

"Ada yang bisa kubantu?" Nada serak Egi dan suara beratnya yang tertahan, menunjukkan bahwa dia masih bisa tenang tanpa mengandalkan emosi.     

"Memangnya kau bisa membantu untuk menghidupkan kekasihku lagi, hah?" Haidar itu ternyata kekasih gadis itu.     

Bedebah ini, sungguh sudah tidak waras. Aku yakin bahwa dia terlihat putus asa dan sangat kehilangan.     

"Aku bukan Tuhan, berhentilah menjadi konyol," tukas Egi, kali ini dia terlihat datar dan tak berekpresi.     

"Ini semua gara-gara kau bodoh!" Haidar masih penuh dengan amarahnya. "Kalau saja hari itu kau tidak datang menemui kekasihku, membuatnya banyak beban pikiran, dia tidak akan memikirkanmu saat berada di jalan raya!"     

Egi diam, tidak bersuara. Aku merasa bahwa Egi menyesal telah mengatakan hal tersebut kepada Celin.     

"Kenapa kau diam, hah?" sentak Haidar lagi.     

Jantungku rasanya berdetak lebih kencang, mendengar suara sentakkan Haidar membuatku terkejut.     

"Sadarlah, ini sudah takdirnya. Sekalipun aku menjelaskannya padamu, kau dan yang lain tak akan pernah percaya. Kalian semua yang ada di sini tak akan pernah mengerti." Kemudian, Egi mendorong Haidar agar sedikit menyingkir dan tak menghalangi langkahnya. Dia pergi meninggalkan kantin.     

"Haidar, kau tak seharusnya menyalahkan Egi atas kematian kekasihmu. Dan kalian semua, aku tidak mengerti kenapa suka sekali membuat dosa. Sekarang siapa yang bisa menghindari kematian? Kalau seandainya sekolah kalian ini roboh, dan kalian yang berada di dalamnya, semuanya tak diberi kesempatan untuk menghindar, mau menyalahkan siapa? Mau menyalahkan kematian kalian karena Tuhan, hah?"     

Kau tahu, siapa yang berbicara? Anggun. Gadis itu sungguh pemberani. Dia keren. Dia hebat. Sekarang Haidar hanya bisa bungkam. Dia menunduk dan aku menemukan tangannya yang tadi memegang pisau itu, ternyata mengenai tangannya sendiri. Darah segar mengalir dari kulit-kulitnya yang tergores. Matanya menyipit, bahkan tangannya bergetar saat mengangkat benda tajam itu menghunus telapak tangannya sendiri.     

Semua orang yang ada di kantin ini, hanya bisa menunduk. Seperti takut dimarahi oleh atasan mereka yang akan mengamuk dengan brutal. Semua orang akan diam, hanya dengan kata-kata yang dapat menohok hatinya. Hanya dengan kata-kata yang dapat mengubah jalan pikirannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.