Ghost of School

Ada Yang Bunuh Diri



Ada Yang Bunuh Diri

0Mereka tidak terkejut saat menemukan Egi dan aku kembali ke kelas. Namun, tas kami telah berada di tangan Nathan dan Pricil. Mereka menjadi penghalang pintu kelas, ternyata kelas sudah kosong. Katanya harus segera pergi ke tempat klub masing-masing untuk membentuk kelompok grup baru. Beberapa grup memang memilik kelompok yang juga akan memilih ketua masing-masing dalam kelompok tersebut. Tetapi berbeda dengan ketua klub, karena ketua klub yang akan mengawasi dan bertanggung jawab terhadap semua kelompok.     

Pricil harus berpisah terrlebih dulu karena anggota klub renang generasi baru sudah mulai mendaftarkan diri. Gery juga ikut dengannya, sama seperti Anggun dan Nathan yang juga menjadi ketua di klub basket. Dan, pada akhirnya aku tertinggal bersama Egi.     

"Kau tidak pergi ke klub futsal juga?" tanyaku pada Egi, karena katanya dia adalah ketua klub futsal.     

Egi menggeleng tanpa ekspresi, sambil membenarkan posisi ransel di pundaknya. "Aku menemanimu."     

"Apa?" pekikku yang membuat beberapa orang di koridor sedang berjalan sambil menatapku penasaran. "Maksudku, menemaniku ke mana?" tanyaku seraya berdeham pelan.     

Alih-alih langsung menjawab, Egi justru melangkahkan kakinya lebih dulu, mau tak mau aku mengekorinya dari belakang. Kami berjalan melewati koridor dan berbelok dua kali, saat menemukan sebuah ruangan dengan tulisan klub fotografi, ternyata dia benar-benar mengajakku ke sini.     

"Masuklah, kita ambil formulir untukmu." Egi mempersilakanku untuk masuk ke dalam. Pintu besar yang terbuat dari kaca tebal ini ternyata memiliki ruangan yang sangat luas. Di dalamnya sudah seperti galeri fotografi. Seorang laki-laki yang berpakaian seragam menjaga sebuah meja yang berisi kertas-kertas dan aku yakin bahwa dia adalah panitia untuk penjagaan formulir.     

Egi menghampiri laki-laki dengan name tag 'Rian.     

"Ambil satu, ya, Ri." Egi mengambil satu formulir, wajahnya datar dan tidak ada senyum sama sekali. Sedangkan laki-laki bernama Rian yang telah memaklumi hanya bisa mengangguk sambil tersenyum ramah.     

Aku yang mengekori di samping Egi tampak melemparkan senyum ramah pula untuk Rian. "Kau tidak terbiasa menarik sudut bibirmu, ya?" Aku bertanya selagi kami berjalan mencari tempat duduk.     

"Untuk?" celetuk Egi tanpa melihat ke arahku, dia masih mengamati formulirnya.     

"Hadeh! Kau tidak cocok bersosialisasi. Lihatlah, wajahmu sangat datar dan keningmu mengerut terus. Seharusnya, kau tersenyum ramah agar semua orang tidak takut padamu. Aku kan, anak baru di sini, jadi belum ada yang mengenal. Kalau aku tersenyum ramah kepada mereka, pasti mereka juga akan memiliki kesan baik kepadaku. Karena di sekolah lama, aku sudah terlanjur menjadi orang yang dipandang buruk. Jadi, untuk tersenyum ramah pada mereka, aku tidak lagi berminat seperti yang kau lakukan ini. Pasti kau tidak juga berminat menarik perhatian orang-orang yang berada di sekitarmu ini."     

Aku dan Egi telah mendapatkan tempat duduk. Di ruangan ini terdapat kursi dan meja panjang. Di mana ada beberapa anggota yang biasa menggarap tugas mereka di sini. Aku mengedarkan pandangan, mengamati karya-karya anak bangsa. Gila, sekolah ini memiliki murid-murid dengan bakat di bidang seni dan fotografi. Karya-karyanya dipajang di dinding-dinding. Ada meja nakas yang juga menyimpan peralatan atau fasilitas yang memang telah disediakan oleh sekolah untuk anak-anak yang tergabung dalam klub. Selain itu, karya-karya tidak hanya memuat tentang foto biasa, ada cerita di dalamnya, serta beberapa berita seperti jurnalistik.     

"Itu karya mahasiswa-mahasiswi. Kami berhubungan baik dengan kampus-kampus karena sering menggelar pameran fotografi. Mereka yang ikut dalam aktiviti demonstrasi selalu menyumbangkan karya jurnalisnya kepada klub ini." Egi tiba-tiba berceletuk, membuatku terkejut karena dia memperhatikanku.     

"Oh," gumamku pelan, lalu beralih melirik ke formulir yang tiba-tiba sudah terisi dan dia juga ingin mengumpulkannya kembali. "Eh, eh, kok udah diisi?"     

"Hm."     

Aku membulatkan mata, karena Egi hanya bergumam pelan dan berjalan begitu saja meninggalkanku menuju meja pendaftaran, kemudian kembali ke sini saat dia telah menjalankan keinginannya. "Lanjut ke klub lukis!"     

Aku melongo. Jadi ini yang mau daftar aku atau Egi, sih? Melihat Egi sudah berjalan ke luar dari ruangan ini. Mau tak mau aku mengikutinya juga.     

"Kau ini!" Aku mengentakkan kaki kesal. Lantaran Egi seperti tidak memperdulikan eksistensiku. "Mengapa aku harus ikut denganmu dan menuruti apa yang kau inginkan, sih?!" Aku mencercahnya, sambil berjalan di sampingnya.     

"Karena kau hidup dan tinggal bersamaku." Dia menjawab dengan tenang. Lalu membuka ruangan yang bertuliskan klub lukis. Seperti tadi, dia mengambil salah satu formulir ke meja panitia yang bertugas. Tidak ada keramahan sama sekali saat dia berinteraksi dengan perempuan yang bertugas di sana.     

Aku dengar samar-samar, perempuan itu bertanya, "bukannya kau sudah jadi anggota di sini? Mengapa harus daftar lagi? Tidak ada daftar ulang kok untuk anggota yang telah jadi bagian dari klub ini."     

"Untuk saudara perempuanku." Egi hanya menjawab seperti itu sambil menunjuk ke arahku yang berdiri cukup jauh, lantaran ingin melihat-lihat lukisan ini saja. Toh, Egi juga pasti yang akan mengisi lengkap formulirku.     

Perempuan tadi tidak lagi berkomentar, dia lebih sibuk bersama yang lain, yang baru saja datang dan membantu mereka dengan ramah untuk mengisi formulir pendaftarannya. Setelah itu, Egi menyerahkan yang telah diisinya, dan menghampiriku.     

"Sudah selesai?"     

"Pulang!"     

YE, GILA INI COWOK KENAPA FLAT BANGET, SIH! Aku menjerit dalam hati karena Egi telah berjalan lebih dulu menuju ke pintu keluar.     

"Sabar, Cal. Dia emang karakternya begitu." Aku mengelus dada, sambil tersenyum mengatakan pada diriku sendiri agar tetap semangat sebelum berjalan menyusul Egi yang telah berada di luar.     

***     

Egi bilang, seharusnya dia pulang lebih dulu bersamaku. Karena Gery dan Nathan juga membawa mobil sendiri, jadi kami tidak perlu menunggu mereka. Kendati jika sudah ada urusan dengan klub masing-masing, biasanya mereka akan pulang terpisah jika tidak ingin menunggu lebih lama.     

Tetapi Egi tidak menjalankan mobilnya setelah menerima telepon dari Anggun. Wajah serius Egi yang tegang, serta keningnya yang berkerut seperti mulai berpikir keras, dan pandangan matanya yang tajam, aku yakin pasti mereka membicarakan hal serius.     

"Kenapa? Mau berubah pikiran menunggu yang lain saja?" Aku bertanya penasaran.     

Egi masih diam tanpa mengeluarkan suara atau sekadar menggeleng dan mengangguk. Lalu tiba-tiba, dia membuka pintu mobil dan keluar begitu saja dengan kembali menutup pintu mobilnya cukup keras hingga menimbulkan suara 'bruk!'     

Aku melongo, kendati dia mengabaikanku?     

"HEH! DI SINI MASIH ADA ORANG! Ya Allah, kenapa lagi sih sama dia kok aneh banget kadang-kadang aku tidak tahu lagi bagaimana caranya bisa temenan sama dia." Aku jadi mengoceh dengan diriku sendiri. Mau tidak mau, aku juga ikut mengejar Egi. Dia berlari cepat di sepanjang koridor. Melupakan kehadiranku, meninggalkanku begitu saja. Sungguh menyebalkan, bukan?     

Tiba-tiba yang kupikir hanya aku dan Egi saja, berlari di sepanjang koridor ini tanpa tahu aku harus mengikuti ke mana tujuan Egi, ternyata aku juga mendapati siswa-siswa yang berlarian. Wajah mereka terlihat panik, ada yang menunjukkan ekspresi penasaran dan berbeda-beda. Aku seperti berlari dengan langkah slow motion yang akan menjadi penonton, lantaran merasa tidak sebanding dengan peserta lain. Telingaku yang tajam tiba-tiba dapat merekam salah satu siswa yang membicarakan berita buruk.     

"Ada siswa bunuh diri masa di klub basket katanya!"     

"Gila! Siapa yang bunuh diri?"     

Apa? Bunuh diri di klub basket? Jadi, ini yang membuat Egi panik dan sampai berlari meninggalkanku setelah menerima panggilan dari Anggun?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.