Ghost of School

Berbeda Dimensi



Berbeda Dimensi

0Tap... tap... tap...     

Suara langkah kaki seseorang membuat jantung Calista kian berdebar. Udara terasa panas, langkah kaki cewek itu berjalan mengikuti arah pandangannya. Entah di mana tempat ini, Calista tidak tahu bagaimana dirinya bisa masuk di dalamnya. Seperti berada pada dimensi lain yang jauh lebih tinggi. Calista menyisirkan pandangan kepenjuru sudut, ruangan ini sangat luas dan atapnya tinggi. Di samping kanan terdapat lemari besar yang terbuka dan menyimpan barang-barang kuno seperti pedang napoleon, germain royal soup tureen atau jika kamu membayangkan itu adalah sebuah mangkok sup berwarna silver dengan motif antik. Ada lagi barang antik yang bernama bejana emas tripod dinasti ming ini berkaki tiga. The oliphant adalah sebuah tanduk mewah yang pernah digunakan untuk perang itu juga termasuk barang antik di sini. Calista berdecak kagum melihat beberapa barang antik cantik yang masih banyak lagi.     

"Ini aku ada di mana? Bukannya tadi aku ngejar cowok misterius itu, ya?" batin Calista heran, keningnya berkenyit.     

Suasana ruangan ini terlihat sunyi, jendela besar di sebelah kirinya tertutup semua. Meja persegi panjang dengan banyak kaki, terdapat tumpukan buku kuno yang sudah usang dan rata-rata tebalnya tidak bisa diperkirakan. Belum lagi, rak buku yang berada di samping lemari itu penuh dan tersusun rapi. Calista duduk di salah satu kursi, membuka salah satu buku. Banyak debu yang hinggap pada sampul buku, lembarannya juga telah menguning. "Sepertinya ini bahasa Sanskerta," gumam Calista.     

Karena tidak terlalu paham dengan bahasa tersebut, Calista menutupnya. Sebuah lukisan terpajang di setiap dinding, Calista melihat banyak lukisan manusia zaman dahulu yang berpakaian orang Belanda. Ada salah satu lukisan yang menarik perhatiannya. Seorang pemuda tampan bak pangeran, berwajah putih salju, arogan, berwibawa, matanya tajam, seperti mengenali dan pernah melihatnya di suatu tempat. Calista mengingat, dia sosok yang ditemuinya di pohon rindang itu. Siapa dia sebenarnya? Kenapa terpajang di sini seperti seorang pangeran yang terhormat dengan pakaian orang Belanda.     

Pertanyaan bermunculan dalam benak Calista yang belum ada jawabannya. "Halo, sebenarnya ini tempat apa? Kenapa aku dibawa ke sini, tolong jawab aku dan tunjukan wajahmu," teriak Calista—alih-alih ada yang menjawab, namun tidak ada sahutan selain terdengar pantulan suaranya.     

Calista terus berjalan, hingga dia menemukan sebuah pintu yang memantulkan sinar cahaya. Mungkin ini jalan keluarnya, batin Calista. Kusen pintu ukir lengkung serta ukir Jepara semacam itu, membuat Calista berhasil keluar, bukan artian dia akan bebas dan menemukan tempat koridor sekolahnya berada. Ini keluar dari zona satu, nyasar ke zona lainnya. "Ishh, ini tempat apa lagi, ya Tuhan!" geram Calista gemas sendiri.     

Sebuah taman berbunga seperti dalam dongeng. Ribuan taman bunga bagaikan surganya dunia. Mata Calista tidak salah melihat, dia memang berada dalam dimensi lain. Siapa seseorang yang telah membawanya ke sini?     

"Hai, ini di mana? Tolong siapa pun kembalikan aku pulang." Percuma saja Calista berteriak, tidak ada orang. Calista bagai orang asing dari planet bumi, nyasar ke planet khayangan.     

Tap.. tap.. tap..     

Terdengar suara langkah kaki. Calista dapat mendengarnya semakin mendekat, namun sama sekali tidak menemukan siapa pun. Calista bahkan memutari bunga itu sampai pusing sendiri, ini taman sudah seperti menjeratnya bagai penjara. Lagi-lagi dia mendapatkan bayangan dari cowok asing itu. Sebuah bayangan terlintas bagaikan sekelebat angin.     

"Hai, kau siapa?" tanya Calista, sosok itu menghilang.     

"Selamat datang," ucap seseorang, entah siapa wujud tampan cowok itu.     

"Aku di mana?" tanya Calista yang mendongak, menatap langit biru seolah meminta penjelasan, walau tidak terasa terik matahari di sini, dia tetap merasa asing.     

"Kamu sedang berada dalam..."     

"ARGGHH!" teriak Calista.     

BYURRR!!!     

***     

"Gi, di mana Calista udah ketemu?" tanya Pricil begitu dia datang menghampiri Egi bersama Gery. Egi terduduk lemas di atas tribun lapangan basket indoor yang terlihat sepi.     

"Kita cari ke mana lagi?" tanya Egi terlihat cemas, walaupun sudah berupaya untuk menutupi ekspresinya dengan datar.     

"Kamu sabar dulu, aku bakal cari tahu keberadaan Calista," jawab Gery menenangkan.     

Sedangkan, berbeda dengan Anggun serta Nathan di tempat lain. "Nath, ini kita di mana? Kenapa gelap sekali? Apa kita terpisah dengan yang lain? Aku tidak mendengar suara kalian?" tanya Anggun, mencoba meraba sesuatu di sebelahnya.     

Anggun tidak menemukan apa pun. Bahkan, dia juga tidak mendengar suara Nathan. "NATHAN, KAU DI MANA? JANGAN BIKIN AKU TAKUT," teriak Anggun histeris.     

'Ceklik'     

"SIAPA DI SANA?"Anggun kembali berteriak heboh. "Jangan macem-macem, ya?" ancam Anggun dengan bibir bawah yang gemetar.     

"Sebenarnya apa yang telah terjadi?" batin Anggun, menahan tangis yang hendak meluruh.     

Nathan berlari di sepanjang koridor sekolah, dia kehilangan jejak Anggun. Tadi, sewaktu Nathan kebelet dan pamit ke toilet, dia meninggalkan Anggun di depan toilet cowok.     

Tiba-tiba, suara teriakan Anggun membangunkan Nathan untuk bergegas meninggalkan toilet, saat dia sudah di depan tempat Anggun menunggunya tadi—sebelum mereka menyusul ketiga saudaranya yang berada di lapangan basket indoor, Anggun sudah tidak ada di tempatnya.     

Nathan tidak tahu, jika Anggun telah dibawa oleh seseorang. Orang itu memberi obat bius dengan sapu tangan, mengikuti Anggun sejak tadi yang sudah menjadi incarannya.     

Saat Nathan menyipitkan matanya, dia melihat postur tubuh cowok jangkung dengan rambut cepak sedang membopong Anggun. Karena Nathan bisa melihat jelas sepatu yang dikenakan cewek itu.     

Nathan kalang kabut, dia langsung mengejar cowok itu. Hingga berada di belokan koridor, dia tidak lagi melihatnya. Anggun hilang, Calista hilang, semua jadi serumit ini.     

"SIAL! Kenapa aku harus kehilangan jejaknya, sih?" umpat Nathan, kesal sendiri. Nathan berhenti di salah satu anak tangga yang menjadi jalan menuju ke lantai tiga.     

Tiba-tiba saja, cowok yang tadi dikejarnya menghilang. Nathan tidak sadar, tempatnya saat ini ada di koridor yang jarang sekali dilewati oleh murid-murid. Sepatu hitam Nathan, seperti menginjak sesuatu yang dia kenali. Kunciran Anggun? Sebelum mengambilnya, Nathan melihat ke kanan kiri, tidak menemukan tanda-tanda lain. Kunciran itu ada di anak tangga pertama. Kepala Nathan mendongak, di depannya adalah tempat terlarang untuk dikunjungi.     

Merasa teringat sesuatu, Nathan meneguk salivanya dengan kasar. "Tidak mungkin Anggun ada di atas sana, kan?" gumam Nathan, keningnya berkernyit heran. Pintu itu digembok, lorongnya gelap, sepi, dan tidak ada tanda-tanda kehidupan.     

Koridor nampak sepi, hanya ada suara kecil samar-samar, berhasil membuat pikiran Nathan terpecah. Suara isak tangis cewek. Tapi, bukan suara Anggun, sehingga membuat suasana menjadi menegangkan. Nathan tidak takut sama sekali, dia tetap berdiri menatap tajam pada lantai tiga yang tidak lagi terpakai itu.     

"Siapa yang nangis di sana?" teriak Nathan, tidak ada sahutan. Suara cewek itu semakin terdengar jelas. Tetapi, Nathan tak kunjung menemukannya. Karena rasa penasaran Nathan tinggi, dia tidak bisa menahan ini sendirian. Maka, Nathan segera berbalik badan menghampiri saudara-saudara lainnya untuk membantu kasus ini. Setelah Nathan berjalan untuk pergi dari sana...     

PRANGGG!!     

Sebuah suara membuat Nathan menghentikan langkahnya. Dia berbalik ke asal suara, dan mendapati sebuah lukisan kanvas terjatuh dari anak tangga paling atas. Namun, Nathan tidak melihat ada orang yang menjatuhkannya. Dia lalu mendekati lukisan itu, dan ternyata adalah lukisan yang tadi Anggun pegang ketika Nathan sedang ke toilet.     

"Lah? Lukisan itu ada di Anggun, kenapa ada di sini? Apa Anggun yang jatuhin dari langit? Ahh, ngacau ini!" Nathan bermonolog sendiri, dia kira matanya salah melihat, sehingga mencoba untuk mengucek terlebih dahulu. Kepalanya yang dikira habis terbentur, dia pukul-pukul. "Sakit bego, aku nggak mimpi ternyata," umpatnya.     

Nathan pun, mengambil lukisan itu dengan tangan gemetar. Mata hitam gelapnya, menangkap tulisan berwarna merah, biasanya juga tahu-tahu muncul di lukisan terus ngilang. Seolah pesan dari seseorang tak berwujud, memberikan jalan petunjuk dengan sangat misterius.     

Kamu harus membawa lukisan ini kepada dia.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.