Ghost of School

Saat Tengah Malam



Saat Tengah Malam

0Gery mendobrak pintu brangkas, Pricil berada di sampingnya. Setelah beberapa kali percobaan, ruangan luas yang jarang digunakan itu akhirnya terbuka. Kedua insan itu masuk ke dalam gedung berdebu, dipenuhi banyak sarang laba-laba. Gery segera menuju ke lemari tua itu. Pricil mengekori langkah Gery, tanpa disengaja cewek itu menginjak sebuah diary bersampul putih dan terdapat gambar bunga lily.     

Tangannya berusaha meraih benda tersebut, ketika suara mengagetkannya. "Pricil, udah ketemu kuncinya. Sepertinya ini deh, kita coba dulu aja kali," ujar Gery, lalu cowok itu berjalan menuju ambang pintu.     

Tidak dengan Pricil yang masih berada di dalam. Niatnya ingin mengambil, setelah bergulat dengan pikirannya. Gadis itu meraih buku harian yang entah milik siapa? Karena rasa penasaran membuat Pricil harus mengambil buku harian tersebut.     

"Pricil, buruan!" teriak Gery mampu menyadarkan Pricil dari lamunamnya.     

"Eh, iya bentar, Ger."     

"Ngapain lama banget? Apa itu yang kau bawa?" tanya Gery sambil melirik sebuah benda pada tangan Pricil.     

"Ehm, aku hanya ingin membacanya," jawab Pricil, karena cowok itu tidak mempermasalahkan—akhirnya dia hanya manggut-manggut dan mengunci kembali ruangan brangkas tersebut.     

Keduanya segera berlari menyusul ke lantai tiga tempat keramat itu.     

"Ger, cepat bawa sini kuncinya!" teriak Egi, begitu mata tajamnya menangkap kedatangan Gery bersama Pricil yang berlari di samping cowok itu. Gery melemparkan kunci ke arah Egi hingga ditangkapnya. Dengan cepat, tangan bergerak untuk membuka borgol kunci berantai itu.     

Terbuka!!! Mereka berempat masuk ke dalam sana. Ada banyak ruangan berpintu berwarna cokelat. Di mana mereka tidak tahu keberadaan Calista dan Anggun sedang berada di sisi ruangan mana?     

"Terus, kita harus masuk di ruangan yang mana?" tanya Pricil terlihat bingung.     

"Aku rasa, kita masuk ke ruangan itu dulu!" tunjuk Nathan pada salah satu ruangan yang terletak di pojok, di mana dulu menjadi ruangan kelas dua belas.     

"Kau yakin, Elssa sama Anggun ada di ruangan itu?" tanya Egi sedikit ragu. Nathan mengangguk mantap.     

"Kita coba saja apa salahnya?" sahut Nathan percaya diri.     

Gery menengahi kedua belah pihak, hingga berada di tengah-tengah mereka. "Kalau gitu, tunggu apa lagi?" seru Gery, berjalan lebih dulu memimpin petualangan kali ini.     

Ciiiiittt...     

Tanpa mereka sangka, ruangan yang akan mereka hampiri berdecit keras. Suara decitan terdengar menggema di kala hari sudah hampir gelap. Malam tiba secepat waktu yang berjalan. Lampu di koridor itu mulai memberikan kesan disko, hingga membuat keempat manusia tersebut dibuat bingung. Seolah kedatangan mereka telah disambut oleh penghuninya. Rasa berdebaran di jantung mulai terasa berdenyut sampai ke nadi.     

Langkah mereka tak akan berhenti di tengah jalan, hingga menyerah secepat itu. Kaki keempat orang itu telah menginjak ke dalam ruangan temaram. Banyak bercikan darah serta tengkorak tulang berkeliaran di lantai. Tiba-tiba angin kencang berembus. Menyibak gorden bertiup ke kanan-kiri. Pintu ruangan tersebut tertutup keras hingga terdengar nyaring seolah memberontak. Jantung mereka rasanya ingin meloncat. Hawa dingin semakin menusuk kulit. Lampu yang awalnya menyala kini padam dalam sekejap.     

"Ehh, lampu mati!" pekik Pricil, sayang tidak ada respon.     

"Guys, pegangan tangan! Jangan ada yang pisah, kita tunggu sampai lampunya nyala," teriak Gery, memberikan yang lain intruksi.     

"Ehh, kalian ada di mana? Pricil, ini tangan kau kok dingin bener dah?" teriak Nathan, merasakan hawa dingin saat seseorang mengajaknya berpegangan tangan dan dia menerima karena suruhan dari Gery.     

Gery menyahut ketus. "Apaan? Orang Pricil sama aku."     

Pricil mengangguk refleks, meskipun tidak bisa melihat. "Aku sama Gery, kau bukannya sama Egi paling Nath."     

"Aku sendiri," jawab Egi santai.     

Nathan mendelik, tubuhnya merinding seketika. Perasaannya mulai campur aduk. Jika bukan temannya, lalu siapa gadis berkulit dingin halus itu?     

"Kau siapa?" tanya Nathan berani. "Kalau setan kau tidak mungkin bisa pegang aku, karena aku anti setan," lanjut Nathan.     

"Nathan... lukisan itu.... kau pegang." Suara di samping Nathan menyahut, suaranya lembut, kalem dan membuat bulu kuduk Nathan merinding. Ini bukan suara Pricil.     

"Pricil... kenapa dia bisa ngomong? HUAA, SETAN!" teriak Nathan heboh sendiri, sehingga dia langsung melepaskan cekalan cewek berambut panjang yang baru saja membelai lehernya dengan ujung rambut, hingga bisa merasakan aura mencengkeram.     

"Nath, kau jangan bercanda!" Pricil mulai panik.     

"Mana ada setan bisa pegang tanganmu itu?" sahut Gery.     

"Nath, kau di mana? Tolong jangan main-main," ujar Egi tetap berdiri tegap di posisinya. Hingga lampu, kembali menyala. Dan, salah seorang di antara mereka telah menghilang.     

"Akhirnya nyala, Nathan ke mana woi?" celetuk Gery, karena tidak melihat keberadaan Nathan di dekat mereka.     

"Lah, sianida Nathan malah cabut tuh orang?" cibir Pricil.     

"Yaudah tidak apa, kita nyari bertiga aja?" putus Egi.     

"Tapi, kita ganjil, Gi? Kalau kata cerita horor, ketiganya setan?" celetuk Pricil, dia menggigit bibir bawahnya dengan cemas. Entah kenapa, perasaan Pricil tidak enak.     

Gery mencoba untuk menenangkan kekasihnya dengan cara memeluknya. "Jangan khawatir, ada aku di sini, Pricil."     

Egi sudah berjalan mencari sosok Anggun maupun Calista di sekitar sudut ruangan yang terdapat banyak barang rongsokan berdebu dan rusak. Tiba-tiba, matanya menangkap sebuah tanda silang berwarna merah di dekat barang-barang bekas. Egi membungkuk untuk melihat benda kecil yang terasa tidak asing lagi. Ternyata itu adalah gelang milik Nathan yang menjadi kado persahabatan mereka dari kecil.     

Sekelebat bayangan yang dirasakan Pricil, membuat cewek itu mencengkeram erat baju Gery. Tubuh Pricil bergetar, dia terjatuh duduk. Gery langsung ikut panik, membuat Egi mengurungkan niatnya untuk mengambil gelang tersebut. "Arghhh! Nathan, pliss jangan!" jerit Pricil seperti orang kerasukan setan.     

"Pricil, kau kenapa?" tanya Gery panik sambil menepuk-nepuk pipi cewek itu untuk menyadarkannya. Pricil terus bergerak tidak tenang, kedua matanya terus memejam. Keringat dingin mulai membekas di dahi cewek itu, membuat Gery mengusapnya tidak tega. Hingga akhirnya, Pricil melemas. Cewek itu membuka mata samar-samar. Melihat Egi dan Gery bergantian.     

"Apa yang kau lihat?" tanya Egi penasaran, karena dia tahu Pricil bisa melihat apa yang terjadi tanpa pernah diduga.     

"Nathan, menghilang. Meninggalkan jejak dengan tanda silang di tempat itu!" ungkap Pricil seraya menunjuk ke tempat Egi menemukan tanda tersebut.     

Egi mengernyit heran. "Lah? Kok bisa masuk? Berarti Anggun dan Elssa juga masuk di dalam sana. Kalau kita tidak masuk juga, tidak akan menemukan mereka!" tukas Egi kesal.     

"Tapi, gimana kita bisa masuk kalau bukan dari mereka sendiri yang mau mengambil kita?" gumam Gery pelan dan lirih.     

Pricil yang berada di sampingnya mendengar. "Maksud kamu, Ger?"     

'DEPP!'     

"HUAAAA!" teriak Pricil, Gery dan Egi secara bersamaan.     

Hantu itu menyeringai penuh kemenangan, setelah berhasil membuat sebuah portal tanpa ketiga manusia itu sadari. Tepat sebelum ketiga manusia itu hilang memasuki portal jebakannya, di tempat mereka berdiri sudah terdapat tanda silang. Hantu itu benar-benar pandai mengelabuhi penglihatan Pricil. Kalau bukan karena ancaman cowok itu, pasti dia tidak akan tega melakukan ini semua.     

***     

"NATHAN? PRICIL? GERY? EGI? Kalian ke sini juga?" tanya Anggun, begitu dia melihat sahabatnya terjatuh entah dari atas mana. Ketiga cewek itu telah masuk ke dalam sel penjara, sehingga membuat ketiga cowok bingung jika mereka tidak ikut terkurung. Penjaranya hanya ada tiga, mereka tidak tahu kalau penjara itu telah direkayasa untuk ketiga cewek tersebut.     

"Elssa, kau tidak kenapa-napa?" tanya Egi cemas, dia mendekati sel penjara Calista.     

Calista mengangguk sambil menatap Egi yang juga menatapnya dengan sorot mata sendu dan teduh. "Kau mencariku?" tanya Calista lirih dan pelan, Egi tidak menjawab.     

"Lah? Kenapa kalian bisa ada di dalam penjara ini?" celetuk Gery, heboh sendiri.     

"Lah? Iya, kenapa kalian pada ada di kurungan ayam?" Nathan pun sama bingungnya, namun tangannya masih memeluk lukisan cewek itu. Terakhir kali, Nathan ingat jika ada tangan yang berusaha menariknya. Memaksanya untuk ikut, sehingga Nathan jatuh di sini.     

"Nath, keluarin aku dari sini," pinta Anggun dengan wajah memelas.     

"Aku bingung, kenapa aku bisa masuk ke penjara juga sama kalian? Padahal, aku jatohnya bareng sama Gary, Nathan dan Egi." Pricil menggigit bibir bawahnya getir. Jantungnya mulai memompa tidak teratur. Buku harian itu berada dalam dekapannya.     

"Aku merasakan ada yang memegang tanganku. Tiba-tiba, dia menarikku, dan aku tidak tahu lagi di mana ini?" gumam Nathan.     

Egi mengangguk. "Ada tanda silang di atas sana. Kita masuk lewat situ, tapi yang lebih penting, kita harus keluar dari sini?!" seloroh Egi, mata cowok itu tidak lepas menatap Calista yang tampak terlihat bingung sendiri.     

"Kenapa Elssa?" tanya Egi menatap Calista tidak biasa.     

Calista hanya menggeleng pelan sambil tersenyum lebar. "Tidak, aku senang kau banyak bicara seperti ini. Kau pasti jadi makin khawatir, ya, sama aku? Ngaku, dong!" seru Calista sambil berpegang dengan sel penjara.     

Egi mengerjap bingung, dia sadar dengan apa yang telah dia lakukan untuk Calista. Perasaan cemas itu muncul saat Calista hilang, rasa penasaran untuk mencari cewek itu. Tetapi untuk kali ini, dia tidak ingin membalas eksistensi cewek itu. Dia hanya diam memperhatikan cewek itu dengan raut wajah datarnya. Senyuman Calista membuat hati Egi sedikit lega.     

"Pricil, kau membawa apa?" tanya Anggun.     

Pricil menoleh ke arah Anggun, lalu menunduk untuk melihat apa yang sejak tadi dia bawa. "Ini buku harian yang aku temukan di gudang belakang," jawab Pricil sambil mengangkat buku tersebut. Semua pasang mata memperhatikan buku kusam itu, bukunya polos. Seperti buku tulis, namun tidak terlalu tebal juga.     

"Coba baca isinya, aku penasaran!" celetuk Anggun yang terlihat antusias.     

Semua mata saling pandang begitu Pricil menyanggupi. Pricil mulai membaca buku harian yang dia bawa. Semua anak memilih diam dan mendengarkan Pricil secara saksama.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.