Ghost of School

Perasaan Cemas



Perasaan Cemas

0Pelajaran telah dimulai usai perkenalan murid baru. Semua murid sibuk membuka LKS sesuai halaman yang sedang dipelajari. Vano izin untuk pergi ke kamar kecil. Sebenarnya ini tidak ada yang dipermasalahkan, Calista tetap sibuk dengan acara belajarnya.     

Tiba-tiba, Egi melemparkan buntelan kertas yang sudah terlihat berkerut-kerut, membuat Calista melirik kertas itu sewaktu jatuh tepat di sebelah kaki kanannya. Dia mengernyit heran, menatap si pelempar, lalu mengambil kertas tersebut ketika Egi mengisyaratkan. Isi kertasnya... sebuah tulisan dengan tinta hitam.     

Kau mengenal cowok itu? Aku merasa dia aneh. Aku mendengarkan interaksi percakapan kalian. Jangan membohongiku, pasti ada yang kau sembunyikan lagi dariku dan yang lain. Jangan mencoba ceroboh, kita sudah menjadi ikatan untuk saling tahu dan tidak bisa memberi tahu orang baru atau orang lain!     

Begitulah pesan yang Egi sampaikan pada surat tersebut. Sebenarnya ingin tertawa, melihat tulisan itu sih, tidak lucu. Tapi, Ada apa dengan sosok Egi hari ini? Saat ingin tertawa, suara dari sebelah kanan berceletuk. "Calista? Kau sedang baca surat siapa? Kenapa tidak mengerjakan tugas saya dan malah main surat menyurat?" suaranya kalem, namun terdengar tegas itu milik bu Anin.     

Buset, tamat juga riwayat Calista sama si pengirim surat itu. Karena sekarang suratnya sudah berpindah tangan pada tangan bu Anin. Egi melotot tidak percaya, bahkan Calista hanya bisa cengo dengan tangan yang masih terbang di udara seolah memegang kertas tersebut, walaupun kenyataannya kertas itu sudah tandas di tangan guru killer tersebut.     

"Bu... Anin, hehehe, bisa dikembaliin kertas saya?" celetuk Calista tiba-tiba dengan cengiran khas polosnya. Bu Anin menggelengkan kepalanya, dia berdecak.     

"Ini dari siapa?" tanya bu Anin, wajahnya terlihat tegas dengan alis tebal badai.     

"Dari saya, Bu. Apa ada yang salah?" sahut Egi tiba-tiba mencuri perhatian seluruh murid, bahwan suaranya yang tegas dan lantang membuat guru itu menatap lurus ke arah Egi yang telah berdiri.     

"Egi? Kamu suka sama Calista?" pertanyaan selidik dari bu Anin, sontak membuat pusat perhatian seluruh penghuni kelas heboh.     

"Etdahh, si Egi beneran terpikat sama Calista? Wahh, bro, kamu harus traktir aku makan mie ayam tiga mangkuk waktu istirahat nanti!" pekikan itu dari siapa lagi jika bukan Nathan, macem cewek bawel emang.     

"Masuk Pak EKO! Jadian sama Egi, Cal? Kenapa nggak ngomong coba!" Pricil juga berceletuk kepada Calista.     

Egi menggeram kesal, karena kedua saudaranya itu tidak diam sejenak.     

"Diem! Nggak tahu ini lagi pelajaran?" sentak Egi membuat nyali murid yang ribut di kelas menjadi bungkam seketika. "Bikin surat begitu udah diasumsikan suka aja, bu."     

"Egi, kenapa kasar banget, sih?" bisik Calista, mendekat ke arah cowok itu. Egi tidak peduli, dia duduk kembali menghadap ke depan. Bu Anin hanya bisa geleng-geleng kepala untuk memaklumi muridnya yang telah beranjak remaja.     

Tak lama, Vano kembali dari kamar mandi. Pelajaran di mulai, meski masih ada gaduh dan keributan dari beberapa murid cowok.     

***     

"Hubungan kamu sama Elssa apa?" tanya Egi sedikit ketus.     

Vano menoleh ke arah Egi dengan tampang tak biasa. Karena keduanya memang sedang berada di perpustakaan untuk mencari buku Sastra. "Aku pacarnya dulu, kamu mau apa?" tukas Vano tak kalah ketus dengan wajah nyolot.     

Egi menatap Vano dengan tajam. "Dulu, kan? Sekarang jauhin dia!"     

Vano menatap Egi, lantas terkekeh geli. "Kamu bilang jauhin? Emang kamu siapa?" sahut Vano, tapi Egi mengabaikannya.     

Di sepanjang koridor, kedua manusia itu berjalan berdampingan. Egi dan Vano sama-sama membawa buku paket.     

"Eh, kamu mau tahu berita kenapa aku pindah?" Vano berceletuk, membuat Egi menatap penasaran.     

"Nggak penting!" pungkas Egi, memilih acuh. Padahal dalam hati dia penasaran, takut kalau ini ada hubungannya sama hal mistis.     

"Nggak penting?" goda Vano sambil melirik Egi yang terus memasang muka datar. "Tapi aku tetap ingin memberi tahumu," celetuk Vano sambil tersenyum miring.     

"Berita pertama, aku di suruh sama bokap dan nyokap Elssa. Berita kedua, aku itu calonnya Elssa. Berita ketiga, aku itu mau jemput Elssa buat di balikin ke Surabaya. Berita keempat, sepertinya aku butuh bantuan orang terdekat dia untuk bujukin supaya mau. Berita kelima, orang tua Elssa sedang dalam masalah besar dan katanya dia harus pulang jika masih ingin melihat keadaan kedua orang tuanya sehat walafiat—"     

"STOP!" sentak Egi, membuat Vano terkejut. "Aku nggak peduli, apa pun yang kamu katakan, aku nggak peduli!" pungkas Egi yang kemudian meneruskan langkah kembali ke kelas.     

Dia merasa, ada sosok yang mengawasinya. Bukan manusia, bukan bodyguard Vano juga. Melainkan, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata. Hanya sebagai perumpamaan, dia beraura hitam. Bentuk tubuhnya besar dengan kulit kopi hitam. Rambutnya gondrong, mata tajam berkilat. Ada garis di tubuhnya, entah dia siapa. Jelasnya, Egi melihat kalau dia sedang menguntit Vano. Baru saja dia memperhatikan di belakang cowok itu. Dia pun terkejut bukan main awalnya, kenapa sosok itu menampakkan diri.     

Dia sebenarnya tidak bisa melihat semacam itu. Mungkin hanya bisa merasakan sedikit. Tidak seahli Anggun, atau Pricil. Apa mungkin... dia itu... Egi jadi bergidik ngeri memikirkannya. Pantas saja, dari awal memang terlihat aneh. "Perlu di awasin!" gumam Egi pelan.     

"Kalau kamu nggak peduli, kenapa sikapmu menunjukkan rasa penasaran dengan bertanya padaku tadi? Jangan bilang kamu suka Elssa, atau kamu yang sebenarnya melindungi dia di Bandung, hm?" teriak Vano yang masih berada di belakang Egi.     

Egi paham, mungkin dia memang memiliki rasa penasaran kepada Elssa, tapi entah kenapa ada sesuatu bergerak dari hatinya untuk bersikap seperti tadi kepada Vano. Menyuruh Vano pula untuk menjauhi Elssa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.