Ghost of School

Pulang Malam



Pulang Malam

0Tumpukan buku sudah beberapa kali menyambut sejuknya mata sayu Egi. Cowok itu menggerutu sendiri, hingga pukul lima sore mereka masih setia menemani Egi lembur di sekolah. "Tugas OSIS banyak banget, ya? Aku bantu aja, Gi. Biar cepat selesai, kasihan kamu udah lelah gitu kelihatannya," seru Calista yang menyerahkan diri untuk membantu pekerjaan Egi, bukan menyerahkan diri untuk diambil nyawanya, tapi diambil tenaganya.     

"Aku bilang kamu pulang," celetuk Egi. Calista tetap keukeuh mengambil posisi di samping Egi dan mulai mengisi data. Tak disangka Vano juga ikutan nimbrun. Ya, cowok itu belum pulang juga. Membuat Calista jadi sebal, salah satunya mendekati Egi agar Vano tak mengganggunya dan menunggu Egi sampai pulang.     

"Elssa, biar aku bantu juga sini," seru Vano, tak digubris oleh Calista. "Elssa, kamu itu nggak boleh capek-capek kata mama."     

Vano terus menasehati Calista hingga kupingnya memanas. "Vano mending pulang aja deh, aku lagi sibuk, tolong jangan ganggu aku!" pinta Calista memohon. Anggun, Pricil, Gery dan Nathan sedang berada di belakang sekolah. Katanya mau menikmati wifian dulu.     

"Nggak, pokoknya aku mau pulang sama kamu," keukeuh Vano keras kepala.     

Calista berdecak kesal. "Kamu itu ngapain, sih? Datang-datang buat aku makin enek tahu!" bentak Calista, membuat Vano tersentak. Ini kali pertamanya Calista membentak sosok Vano.     

"Kamu tega ya, bentak aku? Kenapa kamu kasar gini, Elssa? Yaudah, aku pulang."     

Vano meraih ranselnya, tatapannya jatuh pada Egi yang seperti tidak memperhatikan pertengkaran mereka. Pasalnya, Egi tidak ingin ikut campur jika ini tentang masalah mereka berdua. Sedangkan Calista, hanya bisa memalingkan wajahnya malas.     

"Kali ini kamu menang!" bisik Vano yang mendekati Egi.     

"Lomba kali menang," balas Egi sambil terkekeh kecil. Vano pergi, dengan wajah datar dan dendam di dalam dadanya tak akan hilang.     

"Aku pulang dulu, Elssa," pamitnya, seraya mengelus puncak kepala Calista. Usai kepergian Vano, Calista kembali membantu Egi.     

"Maaf, gara-gara dia jadi ribut," ujar Calista.     

Egi mengangguk paham, namun bibirnya tetap diam. "Kamu nggak marah, kan?" tanya Calista hati-hati.     

Egi menoleh sekilas, mengernyit bingung. "Marah kenapa?" tanyanya.     

Calista tersenyum, menggeleng samar. "Nggak kenapa-napa, kerjain lagi, yuk!" ajak Calista.     

Sebelum kamu kasih tahu ke aku masa lalu kamu, aku nggak bakal minta penjelasan ke kamu, batin Egi.     

***     

Di belakang sekolah memang lebih nikmat untuk belajar dengan suguhan taman dan angin malam, bintang bertaburan serta bulan yang melengkung indah, bahkan wifi sering dicari oleh mereka. Anggun dan Pricil duduk di salah satu meja yang memanjang dengan kursi berhadapan. Sedangkan Nathan dan Gery berada di dalam kelas, berdekatan dengan taman. Anggun sibuk mengetik tugas OSIS, sedangkan Pricil menulis anggaran bendahara. Suasana nampak sunyi, hanya ada beberapa anak OSIS yang masih bekerja keras. Lainnya sudah pulang, apalagi ini menunjukkan pukul delapan malam.     

Suara gundukan terdengar dari ruangan kelas yang ditempati oleh Nathan dan Gery. "Nath, diem dong! Aku konsentrasi game nanti bisa kalah," seloroh Gery kepada Nathan yang duduk berselonjor di kursi panjang pojokan. Tidak ada jawaban, suara gundukan juga tak terdengar lagi.     

"Ger, kamu merasa ada yang aneh nggak sama Vano?" tanya Nathan tiba-tiba.     

Gery menggeleng, bibirnya masih komat-kamit untuk memenangkan game pada ponselnya tentang negara api menyerang negara kapuk. "Aduh ish, ini kenapa begini, ayo dong cepat lawan!" seru Gery lebih enak asyik sendiri dari pada merespon Nathan yang tidak jelas.     

"Eh, aku merasa dia ada hubungannya sama Calista, kalau nggak pasti si Calista nggak bakal dekat-dekat banget gitu sama Egi. Aku melihat Calista seperti menghindar dari Vano," ujar Nathan, matanya memandang langit-langit kelas, tanpa tahu sedang berbicara sendiri saat tidak ada respon dari Gery.     

"Terus Vano itu tadi ngelihatin aku pas lagi merhatiin Calista, dia nggak suka kalau aku lihatin Calista gitu. Jadi ngeri aku bayanginnya," seloroh Nathan lagi, bergidik ngeri.     

"Ger, bener nggak sih? Woi, tong, kamu tega nggak merhatiin aku ngomong panjang lebar tadi?" teriak Nathan, geram sendiri. Gery justru tiduran dengan posisi sambil bersandar di dinding dan kaki naik di atas meja.     

"Hm," gumam Gery sebagai jawaban Nathan. "Yaaa, kalah bray!" pekik Gery spontan.     

'Tekkk!'     

Suara buku tulis melayang tepat mengenai kepala Gery. "Aww, sakit bego kamu punya dendam setan sama aku?" sengit Gery dengan mata melotot ke arah Nathan, seraya mengusap kepalanya.     

"Hah? Apa woi? Aku lagi istirahat sambil merem ini." Nathan spontan membuka matanya karena setelah Gery asik sendiri dengan ponselnya.     

"Serius deh, jangan bercanda. Ya, maaf nggak ngerespon kamu ngomong, tapi ya, jangan gini-gini amat!" ujar Gery seraya mengusap tengkuk lehernya sedikit merinding.     

Nathan melongo, suasana menjadi hening saat Nathan dan Gery saling pandang. "Hehe, kamu emang demen bercandain orang kasep, Ger. Nyari kopi, yuk? Biar nggak ngantuk. Ke kantin aja buat sendiri gimana?"     

Awalnya Gery masih berpikir aneh-aneh, namun karena dia malas langsung menepis pikiran buruk tersebut. Gery pun menyetujui saran Nathan yang seolah paham langsung mengalihkan ke topik lain. Kantin malam ini sudah pasti tutup.     

***     

Tak biasa terdengar suara lonceng di malam hari. Egi langsung tersentak kaget begitu lonceng dibunyikan tepat pukul sembilan malam. Mereka belum juga pulang ke rumah, rasanya betah berlama-lama di sekolah. Padahal bisa menggarap tugasnya di rumah, namun dia berkata lebih baik di sekolah lebih efektif dan efisien.     

"Elssa, kamu dengar suara lonceng? Tumbenan bunyi jam segini, katanya kalau bunyi setiap tengah malam," celetuk Egi cuek tanpa menatap lawan bicaranya.     

Calista mengernyit bingung, sejak tadi dia tidak mendengar suara lonceng sekolah yang berbunyi nyaring atau bahkan sampai ke ruangan OSIS ini. "Lonceng apaan? Dari tadi aku nggak dengar, aku lagi masang musik ini mau ikutan dengarin juga? Emang kamu pernah di sekolah sampai tengah malam?" Calista mencopot salah satu earphone-nya dan memasangkan ke telinga Egi satu.     

Awalnya Egi menolak, tapi melihat mata Calista yang begitu jernih dan memancar tulus, Egi dapat melupakan sejenak tentang suara lonceng yang sejak tadi mengganggu konsentrasinya. "Pernah, waktu ada acara persami di sekolah dulu," jawab Egi sambil berdeham pelan. "Kamu sama Vano itu kenapa?" tanya Egi, tiba-tiba.     

Calista menoleh, hingga wajah mereka saling berdekatan. "Hm? Kenapa apa? Kamu dibilangin sama Vano aneh-aneh, ya? Jangan dengerin pokoknya. Dia cuma mau ganggu hidup baru aku," seloroh Calista masih berusaha menutupi masa lalunya.     

"Oh, yaudah kalau gitu, aku percaya sama kamu," jawab Egi, seraya tersenyum simpul.     

Detik itu, Calista terpana melihat senyuman Egi. Bukan hanya itu, ucapan Egi mungkin datar, tapi terdangar lembut. "Percaya sama yang di atas, Gi. Bukan sama aku," kekeh Calista.     

Drrrttt...     

Suara musik berhenti, membuat Calista mengecek ponselnya ketika lagu sudah hilang dan tidak terputar. Jemarinya men-scroll untuk mencari daftar lagu kesayangannya.     

"Musiknya mati?" tanya Egi begitu sadar tidak ada iringan musik mengalun di telinganya. Calista mengangguk, tak lama musik mengalun lagi.     

Lingser wengi...     

Lirik lagu itu mengalun merdu, membuat Calista tersentak, bahkan Egi sampai melepas earphone-nya.     

"Loh?" pekik Calista dan Egi bersamaan.     

"Beneran aku nggak punya lagu itu, Gi. Kenapa ada di musikku?" gumam Calista sambil mencengkram lengan Egi tanpa sadar. Egi berusaha tenang dan mengambil alih ponsel Calista untuk mengecek kesalahan yang tiba-tiba muncul dari iklan radio barang kali, meskipun mereka sedang menyalakan musik pribadi bukan radio.     

"Kamu ngoleksi foto setan nggak di hape?" celetuk Egi, membuat Calista melotot dengan bibir menganga lebar.     

"Nggak ada setan di hape aku, Egi!" pekik Calista mulai panik, tapi dia sama sekali tidak merasa ada sosok dunia lain atau melihatnya.     

"Hm, kamu tahu sendiri kelebihanku apa? Kita lanjut dengerin lagu," seloroh Egi. Calista menaikkan alisnya bingung.     

Egi menatap Calista, mereka terdiam sambil menerawang pikiran masing-masing.     

"Kenapa?" tanya Egi membuat lamunan Calista tersentak.     

Calista tersenyum kikuk. "Ngghhh... nggak apa kok. Kamu udah mulai suka sama aku belum?"     

"Hah?" Kali ini Egi yang mengerjapkan matanya sambil melongo.     

Calista terkekeh geli melihat wajah Egi yang begitu polos. "Iya, kamu udah suka aku belum, sih? Kok kamu sekarang udah nggak cuek trus mau di deketin sama aku seperti ini?" kata Calista seraya menggerakkan ekor matanya ke bawah untuk menunjukkan jarak di antara mereka hanya terpaut tipis.     

Otomatis Egi langsung menggeser duduknya sampai earphone di telinga Calista terlepas. Egi melirik sekilas, Calista hanya diam memperhatikan pergerakan Egi. Dengan hal ini, Egi menghela napasnya perlahan, kemudian dia menggeser duduknya lagi untuk mendekat sambil memasangkan kabel earphone yang terjatuh di telinga Calista.     

"Kamu beneran mau nginep sini?" tanya Egi setelah mereka memilih sibuk kembali pada pekerjaannya. Secara murid di sekolah ini banyak sekali. Hal ini membuat pekerjaan Egi banyak, dia tidak suka menunda pekerjaan.     

"Emang nginep? Ah, nggak percaya. Egi pasti ngibul mau nakutin aku, kan?" celoteh Calista seraya menowel-nowel lengan Egi.     

Egi terdiam. Dia sibuk melanjutkan tugasnya. Tak lama kemudian...     

Suara lonceng itu berbunyi lagi, buku yang berada di atas meja lainnya terombang-ambing dan jatuh berantakan di lantai tanpa ada dorongan dari Egi maupun Calista.     

"Eh, ada siapa woi? Nggak permisi kalau mau lewat?" celetuk Calista parno sendiri. Calista dan Egi pun saling pandang, menandakan firasat mulai tidak nyaman. "Maaf, saya cuma bercanda kok, kamu siapa? Kenalan yuk," seru Calista sambil tersenyum menatap langit-langit. Sungguh tindakan yang konyol.     

Egi jadi bingung sendiri menatap Calista yang malah mengajak kenalan sama bentuk tak berwujud itu. "Astagfirullah," gumam Egi sambil mengelus dadanya sabar.     

'JDARRRR'     

"YA ALLAH, AMPUNI HAMBA, NGGAK MAU MATI SEKARANG!" Calista menjerit, bersembunyi di belakang Egi, membuat Egi berdecak kesal.     

"Berisik! Kamu bisa diam nggak?" desis Egi seraya menyuruh Calista tetap tenang di sampingnya. Tapi cewek itu terus menarik-narik baju seragamnya seakan meminta punggung cowok itu untuk melindunginya.     

"Elssa," panggil Egi dengan suara lembut. "Kamu tenang dulu, ya? Kita keluar dari sini sambil nyari yang lain. Sepertinya kita lelah, mungkin ini hanya sugesti kita."     

"Apa kamu bilang? Sugesti kita? Kalau nggak kelihatan di depan mata terus kita panik sendiri itu bisa masuk akal, tapi ini? Ada di depan kita dan pada ngelihat sendiri? Gimana cara nyebutin kalau itu hanya sugesti Egi?" Calista menggerutu sendiri, membuat Egi pusing sambil mengusap wajahnya kasar.     

"Yaudah ayo, kamu mau keluar apa tetap di sini?" celetuk Egi, membuat Calista ikut beranjak dari duduknya.     

Ketika ingin berjalan mendekati pintu keluar kelas saja, Calista mencengkram erat lengan Egi. Cewek ini benar-benar takut atau cuma mencari kesempatan dengan Egi. Tapi Egi tetap santai sambil berjalan dengan ekspresi datarnya.     

"DORRRR!"     

Suara itu, ternyata milik kedua cowok iseng. "NATHAN, GERY!"     

"Kalian dengar lonceng bunyi nggak di luar? Atau kalian yang mainin lonceng, ya?" tanya Egi mengintimidasi. Nathan dan Gery malah cengar-cengir tidak jelas, tapi dia juga menggelengkan kepala jika tidak mendengar suara apa pun sedari berada di luar koridor tadi.     

"Lah, terus siapa yang mainin lonceng malem-malem gini?" Mereka semua menggeleng pelan dan saling pandang. Jangan-jangan...     

***     

"Ya ampun, aku laper banget ini. Mana si Gery katanya mau nyari makan lama banget baliknya," gerutu Pricil yang sudah mulai mengeluh. Anggun masih sibuk mengetik di Microsoft Word.     

"Sabar Pricil, ini udah jam sepuluh malam tahu, kamu kira nyari makan sekitar sini gampang jam segini?" jawab Anggun, sama sekali tak melirik ke arah Pricil.     

"Alhamdulillah, selesai juga. Sekarang mau wifian dulu aja sambil nunggu makanan," seru Anggun dengan senyum mengembang. Pricil masih menggerutu karena tangannya sudah pegal-pegal dari tadi menulis anggaran uang, menjumlahnya hingga puluhan juta pula. Apalagi ini bukan uang sendiri, milik sekolah. Kalau punya sendiri pasti bakal selalu semangat.     

Namun, tiba-tiba datang seorang bapak tua dari arah taman ujung yang tidak ada penerangan cahaya. Samar-samar Anggun mulai memperhatikannya. Merasa tidak enak, dia pamit ke toilet meninggalkan Pricil yang masih sibuk nulis di sana. Mata Anggun tak sengaja menangkap hal janggal, melihat bapak tua tersebut tanpa memiliki sepasang kaki. Dia ngawang? Setan dong?     

Setelah di koridor sempat kepikiran dan hatinya mulai tidak tenang karena meninggalkan Pricil sendiri, ditambah lagi bapak itu sudah duduk di depan Pricil. Cepat-cepat Anggun berlari mencari pertolongan, tak lupa dia mengambil ponselnya untuk mengirim pesan pada Pricil.     

Anggun Permata (Jutek) : Pricil, awas di depan kamu ada bapak tua.     

Pricil yang mendapat sms itu langsung melihat di depannya dan menyapa bapak tua tersebut dengan ramah. "Hai bapak, malem begini belum pulang, ya?" sapa Pricil ramah. Bapak tua hanya tersenyum. Tak lama, masuk lagi pesan dari Anggun.     

Anggun Permata (Jutek) : Tadi aku lihat dia seperti hantu, nggak punya kaki. Hati-hati, aku mau cari bantuan yang lain.     

'BRUAKKK'     

Ponsel Pricil sontak terjatuh ke rerumputan hijau. Dia kaget, mencoba memastikan sambil mengambil ponselnya. Dengan mata kepala sendiri Pricil melihatnya. Hendak ingin kabur dari sana, sang bapak tua berhantu itu malah berbisik. Suaranya terdengar halus, namun bikin merinding panas.     

"Mau pulang karena sudah malam, atau sudah tahu, nak?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.