Ghost of School

Sebuah Perasaan



Sebuah Perasaan

0Kamu akan jatuh oleh pesonanya. Namun, seseorang telah lama mendambahkanmu. Semakin rumit masalah tanpa ada jeda, dia yang kembali dan merebut tahta di hatinya.     

***     

Egi, Calista, Anggun, Nathan dan Gery segera berlari di ujung lorong koridor dan berhenti di halaman belakang. Di sana mereka dapat melihat saudaranya sendiri terkapar di aspal. "Pricil?!" panik Gery yang langsung berjongkok untuk membangunkan pacarnya.     

Mata gadis blonde itu sudah terpejam, tubuhnya bersuhu dingin, dan wajahnya yang putih semakin terlihat pucat, bahkan dapat mereka rasakan tubuh mungil Pricil bergetar hebat. Gery membelah rambut lembut pacarnya dengan penuh kasih sayang. "Sayang, bangun. Ayo bangun, jangan buat aku khawatir!" Gery mengguncang badan mungil Pricil.     

Tak ada sahutan dari Pricil dan membuat Gery semakin panik, bulu kuduknya langsung naik bagai duri siap menyayat siapa saja yang sedang mendekat. Karena tak mau pikir panjang, Gery langsung membopong pacarnya ala bridge style.     

"Bawa dia ke UKS aja, Ger," ujar Egi cepat. Anggun hanya bisa menutup matanya, dia tidak akan menyangka akan terjadi sesuatu kepada Pricil. Dan, apa yang telah dilakukan oleh bapak tua tersebut?     

"Anggun, kamu kenapa?" tanya Calista yang tahu betul akan sikap gugup Anggun menatap ke taman gelap lurus itu. Tak ada cela apa pun yang dapat Calista lihat hingga membuat Anggun masuk dan tersorot oleh kegelapan itu.     

"Bapak itu, dia berbuat apa dengan Pricil? Jangan, tolong jangan bawa Pricil ke sana! Tidakkk!" Anggun tiba-tiba berteriak histeris. Panik, Nathan langsung memeluk tubuh Anggun yang terus meronta saat matanya menggeliat ke arah taman gelap dipenuhi oleh semak-semak rata.     

"Anggun sayang, kamu kenapa? Hei, sadar. Apa yang kamu lihat?" bisik Nathan, seraya membelai rambut Anggun ke belakang. Lemas, Anggun sempat menangis. Butiran bening kristal jatuh merembes ke pipi manisnya. Calista tidak bisa berdiam diri melihat Anggun seperti sedang dalam masalah besar tersebut.     

"Anggun, kamu santai dulu. Duduk sini dulu, yuk?" ajak Calista yang merebut Anggun dari dekapan Nathan. Kini, Anggun duduk di kursi yang tersedia di sana. Napasnya tersenggal, keringat bercucuran merembesi wajahnya hingga make up tipis semakin terlihat natural. "Kok malah di suruh duduk santai?" Egi berceletuk tanpa melihat kondisinya.     

Calista mengisyaratkan Egi diam dan menurut dengannya. "Anggun, sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Calista lembut, tangannya membelai rambut Anggun hingga terjatuh dengan gerakan cantik. Membuat Nathan yang berada di belakang Anggun menelan salivanya pelan.     

"Kau tahu Cal, bapak tua tadi kukira dia penjaga taman. Namun, karena aku memang sedang kebelet banget. Yaudah, aku pamit ke Pricil. Dan, aku baru sadar ketika kakiku sudah beranjak tak jauh dari tempat Pricil singgah di sini. Sangat disayangkan bapak tua itu sudah duduk tepat di depan Pricil, aku panik melihat dia tidak mempunyai kaki dan mengawang di udara seperti hantu. Memang hantu sih, terus aku kasih tahu Pricil lewat sms dan aku segera cari bantuan kalian... lalu kita kembali melihat keadaan Pricil seperti itu. Aku tadi juga melihat bapak itu di taman yang sangat minim pencahayaannya di sana," jelas Anggun menceritakan kronologis kejadiannya, namun dia sama sekali tidak menunjuk ke arah taman tersebut.     

Hanya saja mengisyaratkan mereka untuk menengok ke arah sana. Benar saja, Calista ngeri melihat di sana membuat bulu kuduknya bergidik. Pikiran Calista sudah berkenala, membuat Egi sadar dan menepuk pundaknya agar lebih tenang dan tidak tegang dalam mengatasi permasalahan ini. Bahkan, Anggun berbicara dengan formal bila dia benar-benar menunjukkan keseriusan dalam wajahnya.     

"Sepertinya, kita harus segera pergi menyusul Gery dan Pricil." Calista mengajak Anggun dan yang lain. Akhirnya, Anggun bersama Calista saling berpegangan seperti dua teletubies yang tak bisa terpisahkan. Egi dan Nathan hanya bisa mengawal dari belakang.     

Sesampainya mereka berempat di UKS, Pricil sudah sadar dalam dekapan Gery. Mereka menatap kedatangan saudaranya, terlihat jelas wajah Pricil sangat kusut.     

"Sepertinya, Pricil lelah. Sebaiknya kita semua segera pulang dari sekolah ini. Apalagi besok juga harus kembali bersekolah." Calista menyimpulkan, Pricil dan Anggun mengangguk setuju. Jujur saja, dilihat dari mereka mengangguk dan saling menatap seperti ada kecemasan serta rasa trauma mungkin. Tapi, bukankah mereka sudah terbiasa menyikapi masalah semacam ini?     

"Kita emang sudah biasa buat nyikapin masalah semacam ini. Tapi, Anggun dan Pricil seperti punya feeling yang kuat." Egi menjawab dari semua pikiran Calista. "Kau bisa membaca pikiranku sekarang?" tanya Calista heran, dan Egi mengangguk santai.     

"Itu karena kamu sedang banyak memikirkan sesuatu seperti ini. Dan, aku bisa membacanya. Kecuali kamu berpikiran tentangku, aku tak bisa membacanya," ujar Egi, membuat Nathan menggoda cowok itu.     

"Uhukkk, sepikannya Egi luar binasa. Bakal jadi kasmaran ini kalian," celetuk Nathan, membuat Calista tertunduk malu. Egi sendiri nampak tersenyum kikuk, tidak dengan tangannya yang melayangkan jitakan kepada Nathan setelah menggodanya.     

Hari semakin gelap, lorong koridor juga gelap, pepohonan yang sedang bermekaran segar menari ke kanan kiri akibat angin sepoi-sepoi begitu kencang. Hawa dingin menjadi suasana lebih memcengkram dari sebelumnya.     

'BUGH! BRUK!'     

"Suara apa itu?" keenam manusia yang sedang berjalan menuju ke parkiran nampak terkejut menengok ke belakang asal dari suara berada. Hening. Posisi mereka saling pandang curiga. "Cepat kita lanjut pulang," perintah Gery yang mulai tidak tenang.     

"Kamu takut, Ger? Ishh, kita harus melindungi para cewek sebagai pacar yang baik," cibir Nathan, membuat Egi melayangkan halus tangannya disertai tatapan malas Anggun.     

"Gocha! Maaf, cuyung," gurau Nathan lebay diselingi oleh cengiran khasnya. "Mulai gilanya ngeselin!" Anggun berdecak sebal sambil mengerucutkan bibirnya. Gery, Egi, Pricil, Calista, Anggun dan Nathan segera beranjak pergi. Melihat tidak ada lagi suara aneh, waspada juga dilakukan sebab ada suara mengerikan dari ruangan lab IPA.     

"Huwoo! Suara... mbah, eh, kaburrr!" Nathan histeris sendiri mendengarnya dan langsung kabur meninggalkan kelima saudaranya.     

"Lha, suwek ngatain orang takut dianya kabur?" Gery ternganga, lalu dia menepuk jidatnya.     

"Cepat, kita susul kabur!" Anggun, berlari kecil menyusul Nathan yang sempat kelupaan telah meninggalkan kelima saudaranya, termasuk Calista sudah mereka anggap seperti saudara.     

'BUGH!'     

"Adawww!" teriak Anggun yang sempat terjatuh, namun dengan sigap Nathan mendekapnya hingga masuk ke dalam pelukan.     

"Maaf, sayang. Pintu di depan terkunci semua. Katanya, kamu sudah memastikan jika tidak terkunci. Ke mana kamu bawa kuncinya? Serahkan padaku, Gi. Biar aku yang membuka pintu gerbang agar kita bisa mengeluarkan mobil secepatnya." Nathan menghela napasnya lelah.     

"Lah? Kok bisa gitu, tadi aku benar mengecek semua kalau tidak terkunci, serius!" jawab Egi meyakinkan saudaranya.     

"Ya Allah, jangan ribut, kita langsung pergi saja. Sepertinya, penghuni sekolah tidak suka dengan anak sekolahan yang masih nongkrong," jawab Calista, kemudian dia mengambil minum di dalam ranselnya.     

"Eh, aku kebelet nih, temenin aku ke kamar mandi, dong!" celetuk Pricil, membuat mereka menatap Pricil intens. Gadis berwajah putih salju itu hanya bisa nyengir kuda.     

"Yaudah, cepetan lima menit. Calista hati-hati jaga diri. Kita tunggu di sini, kalau ada apa-apa langsung teriak namaku aja.. eh, maksudnya teriakin kita." Mendengar ucapan Egi secara refleks, membuat Calista mengulur senyumnya, bahkan Nathan mulai menggoda lagi.     

"CIEEE, Egi sudah berani main godain cewek, ya? Akhirnya, saudara gue bukan seorang gay," celetuk Nathan, mendapat hadiah jitakan dari Egi.     

"Jadi, teriakan nama EGI.. EGI.. TOLONG AKU? AH, CEPAT DATANGLAH PENYELAMAT CINTA!" Nathan masih sempatnya terbahak atas candaan garingnya itu. Egi semakin gemas sendiri melihat banyak tingkah saudaranya, Nathan. Dia sudah sangat serius dan malah ditertawain lagi.     

***     

Di saat itu, Calista pergi ke kamar mandi untuk menemani Pricil. Sepertinya udah di ujung banget sampai dia menggeliat geli. "Yuk, kita harus buru-buru pergi dari sini!" perintah Calista. Terlambat sudah, di depan perjalanan mereka ada jalanan yang licin sehingga Calista dan Pricil berjatuhan. Sedangkan suara para saudaranya sudah berteriak sebal, entah apa yang telah terjadi.     

Pricil berlari lebih dulu meninggalkan Calista, tali sepatu gadis itu lepas. Calista menunduk dan mengikatnya rapi, dia tidak ingin terjatuh atau terserimpet. Pricil tidak berniatan meninggalkan Calista di belakang, hanya saja dia tidak tahu jika temannya masih berhenti sejenak membenarkan tali sepatu.     

Calista menggeram ketika mendengar suara asing mendekat. "Wouu, Pricil ke mana lagi?" gerutu Calista sebal.     

Kami memberitahukan kepadamu. Terima kasih sudah menolong kami. Kau harus berhati-hati karena ada seseorang sedang mengawasimu.     

Tulisan dari kertas itu berwarna merah, semakin membuat leher Calista seolah dicekik. "Siapa yang mengirim surat ini?" seru Calista heran, sosok lain menjawab dengan desiran angin hebat. "Aku..."     

Calista hampir saja tidak bisa bernapas melihatnya. Entah sejak kapan dia menolongnya, bahkan dia bingung akan pesan tersebut. "Ka-uu... sia-pa?" tanya Calista setelah dia membeku dalam beberapa detik.     

Dia adalah makhluk lain, dulunya sama seperti kita. Namun, dia sudah berbeda dan hanya bisa menyeringai seram. Membuat mata yang melihat jadi meringis, kulit sudah mulai berjalan mendapati bulu kuduk berdiri merinding. Baru saja Egi memeriksa jika seluruh gerbang ditutup dan dia tidak membawa kuncinya. "Va-no..."     

Calista tercengang, kenapa dia menyebutkan nama Vano? Apa namanya memang Vano? Atau ada maksud lain?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.