Istri Simpanan

Bab 105 - Membuat puisi



Bab 105 - Membuat puisi

0Villa Pyeongchang-dong     

Dae Hyun dengan sempoyongan turun dari ranjang kemudian melangkahkan kakinya menuju balkon meski tubuhnya masih terasa lemas. Dipandanginya Soo Yin yang sudah meninggalkan villa menggunakan taksi. Sebegitu marahnya sehingga istrinya tidak mau diantarkan oleh Chung Ho.     

Dae Hyun berjalan mondar-mandir sambil berpikir bagaimana caranya untuk meluluhkan istri kecilnya. Dia sungguh tidak sanggup jika hubungan mereka renggang seperti ini. Padahal rasanya baru kemarin bersenang-senang ketika berada di pulau Jeju. Tidak disangka setelah pulang justru sedikit ada masalah. Ini semua gara-gara Kim Soo Hyun. Jika dia tidak menunjukkan puisi yang sama maka dirinya tidak akan ketahuan seperti ini.     

"Haruskah aku melakukan hal yang sama seperti Kim Soo Hyun?" gumam Dae Hyun sembari meletakan tangannya di dagu.     

Baginya merayu wanita dengan sebuah puisi adalah sesuatu yang menjijikkan. Tapi jika itu bisa meluluhkan hati istrinya rasanya tidak masalah.     

Dae Hyun kembali ke dalam kamar. Ia melangkahkan kakinya mendekati nakas untuk mencari sesuatu yang terdapat di dalam laci. Di sana ia menemukan pena dan buku. Jika Kim Soo Hyun saja bisa membuat puisi seharusnya dirinya juga harus bisa. Sejak kecil ia lebih pintar dari Kim Soo Hyun.     

Setelah menemukan apa yang dicari Dae Hyun segera masuk ke dalam ruang kerjanya agar bisa berkonsentrasi memikirkan sebuah kata-kata indah yang sama sekali tak terpikirkan olehnya. Ini adalah hal konyol yang baru pertama kali ia lakukan. Dulu ketika pelajaran bahasa ia tidak pernah mengerjakan tugas membuat puisi yang diberikan gurunya. Alhasil ia selalu terkena hukuman.     

Dae Hyun duduk di kursi depan meja di depannya. Ia mulai menulis pada secarik kertas. Menggoreskan pena menuliskan sesuatu yang ada di benaknya.     

Setelah dibaca berulang-ulang ternyata kata-kata itu sepertinya sangat memalukan. Dae Hyun membuang kertas itu secara berserakan di lantai. Berulang kali ia menulis kemudian meremas kertas tersebut lalu membuangnya.      

Dae Hyun memegang kepalanya yang terasa semakin pusing. Ternyata membuat kata-kata itu tidak semudah yang dibayangkannya terlebih lagi dirinya yang tidak menyukai sastra. Ia segera menghubungi Chung Ho agar segera menuju ke ruang kerjanya.      

Demi Soo Yin dia harus melupakan sejenak tentang Aeri. Semoga saja Aeri sudah meninggalkan rumah karena ia tidak dapat memeriksanya sekarang. Dia akan mengurus masalahnya dengan Aeri setelah hubungannya dengan Soo Yin kembali baik. Baginya itu adalah hal yang paling penting.     

Tok … tok … tok ….     

Terdengar suara ketukan pintu dari luar.     

"Masuk!" seru Dae Hyun yang masih berkutat pada secarik kertas di depannya.     

"Ada apa memanggil saya, Tuan?" tanya Chung Ho. Ia menaikkan sebelah alisnya melihat remasan kertas yang berserakan.     

"Apa kau pernah menulis puisi untuk kekasihmu?" tanya Dae Hyun sembari mendongakkan wajahnya. Meletakan kembali pena yang dipegangnya di atas kertas.     

"Saya?" Chung Ho melongo mendengar pertanyaan bosnya yang menurutnya ke luar dari jalur pekerjaan.     

"Cepat katakan apa kau pernah mengirimkan puisi pada kekasihmu?" desak Dae Hyun yang sudah tidak sabar ingin mengetahuinya. Jika Chung Ho pernah melakukannya maka ia akan belajar sedikit dengannya.     

"Tidak pernah, Tuan," sahut Chung Ho dengan jujur karena ia tidak pernah ada waktu untuk berkencan.     

"Ya sudah, sebaiknya kau pergi saja," ujar Dae Hyun. Percuma saja menyuruhnya untuk datang ke ruangan jika Chung Ho tak pernah membuatnya. Kini waktunya terbuang dengan percuma.     

"Apa anda tidak butuh sesuatu lagi?" Chung Ho merasa bingung kenapa Dae Hyun justru mengusirnya sebelum dia melakukan apapun. Padahal dirinya tadi sangat terburu-buru pergi ke ruangan kerjanya karena barang kali ada sesuatu yang mendadak yang harus dilakukan olehnya.      

Chung Ho juga merasa aneh karena bosnya berada di rumah padahal istrinya sedang pergi. Ini sesuatu yang sangat jarang terjadi.     

"Pergilah, aku tidak membutuhkanmu lagi," ujar Dae Hyun dengan nada datar.     

Chung Ho segera menutup pintu kemudian pergi.     

"Ternyata sangat menyebalkan membuat kata-kata seperti ini," gerutu Dae Hyun sembari meremas kertas yang ada di tangannya. Kini lantai itu sudah penuh dengani kertas yang berceceran.     

Lebih baik melakukan perhitungan yang sangat sulit dari pada harus membuat sebuah puisi. Ia lebih suka menghapalkan banyak rumus dari pada membuat satu kalimat puisi.     

===============================     

Soo Yin segera menghampiri Jean dan Jae-hwa setelah turun dari taksi. Mereka berada di depan sebuah cafe yang Lokasinya tidak jauh dari salah satu universitas terbaik di kota Seoul.     

Soo Yin menghampiri kedua sahabatnya yang tampak tengah berbincang begitu hangat. Sesekali Jean memukul bahu Jae-hwa sambil tertawa. Entah apa yang mereka bicarakan hingga mereka tidak menyadari kedatangan Soo Yin.     

"Maaf, menunggu lama," ujar Soo Yin.     

"Soo Yin? akhirnya kau datang juga," ujar Jae-hwa yang melebarkan senyumnya melihat Soo Yin sudah datang.     

Begitu Soo Yin datang Jean justru Lang langsung menutup mulutnya rapat-rapat. Jean malah memalingkan wajahnya ke arah lain saat Soo Yin memandangnya dengan tersenyum.     

"Jean, bagaimana kabar ibumu?" tanya Soo Yin. Terakhir kali ia mendengar kabar jika ibunya Jean masuk rumah sakit. Setelah itu ia tidak ingat untuk menanyakannya lagi pada Jean.     

"Baik," sahut Jean singkat. Jean tetap tidak mau memandang wajah Soo Yin.     

Soo Yin merasa jika akhir-akhir ini sikap Jean terhadapnya sedikit dingin. Tapi Soo Yin selalu berprasangka baik barang kali suasana hati Jean yang sedang buruk.     

"Cepatlah jika ingin masuk ke dalam universitas," ujar Jean yang langsung berjalan mendahului Soo Yin dan Jae-hwa. Ia berjalan di depan sendiri dengan jarak beberapa meter dari kedua sahabatnya yang masih di belakang.     

Soo Yin ingin sekali mengobrol dengan Jean sehingga ia mempercepat langkahnya agar bisa berjalan berdampingan dengan Jean. Namun selalu saja Jean mempercepat langkahnya untuk menjauhi Soo Yin.     

"Jae-hwa, apa terjadi sesuatu pada Jean? dia bersikap sedikit berbeda padaku," ujar Soo Yin dengan raut wajah sedih. Ia merasa Jean menjauhi dirinya padahal hanya Jean sahabat yang dia punya.     

"Benarkah? mungkin itu hanya perasaanmu saja," ujar Jae-hwa. Mereka berjalan secara berdampingan.     

"Entahlah, akhir-akhir ini kami menjadi tidak dekat," ujar Soo Yin.     

"Mungkin Jean sedang banyak pikiran sehingga bersikap seperti itu," ujar Jae-hwa.     

"Hmmm," ujar Soo Yin.     

Tidak berapa lama kemudian mereka sudah sampai di depan pintu masuk ke Seoul National University. Soo Yin dan Jae-hwa begitu terperangah karena bisa melihat gedung kampus dari jarak dekat.     

Jean sudah berjalan terlebih dahulu. Ia berkeliling kampus sendirian meninggalkan kedua sahabatnya di belakang. Sebenarnya dia hanya datang ke sana hanya untuk menemani Jae-hwa saja. Dia tidak mempunyai biaya jika harus kuliah. Untuk makan sehari-hari saja ia harus banting tulang. Namun jika ada pilihan tentu saja dirinya sangat mau kuliah lagi.     

Namun nasib Jean sangatlah tidak beruntung. Ia juga tak cukup pintar untuk mendaftar dari jalur prestasi agar mendapatkan beasiswa.     

Soo Yin dan Jae-hwa mengelilingi fakultas kedokteran hanya berdua saja. Soo Yin bahkan tidak tahu untuk apa berkunjung ke sana. Meski Dae Hyun menyuruhnya untuk kuliah namun Soo Yin merasa tidak yakin. Uang di tabungannya tidak akan cukup untuk mendaftar di sana.     

"Apa kau jadi untuk mendaftar di sini? aku sangat berharap kita bisa bersama," ujar Jae-hwa yang tampak sangat senang sembari matanya memandang keliling area kampus.     

"Aku tidak memiliki uang sebanyak itu," ujar Soo Yin sembari mendesah panjang. Matanya menerawang jauh berkelana.     

"Kau pasti bisa mendapatkan beasiswa," ujar Jae-hwa untuk menyemangati Soo Yin agar tidak putus asa.     

"Aku bahkan tidak sepintar dirimu. Aku merasa tidak yakin," ucap Soo Yin.     

"Soo Yin, kau tidak boleh menyerah. Aku yakin kau pasti bisa," ujar Jae-hwa. Jika dirinya tidak satu universitas dengan Soo Yin pasti akan terasa sangat sedih.     

"Pokoknya kau harus ikut mendaftar bersamaku," sambung Jae-hwa.     

"Akan kupikirkan nanti," ujar Soo Yin sembari tersenyum tipis mendengar pernyataan Jae-hwa yang begitu bersemangat. Ia bukan seorang wanita yang masih sendiri sehingga bisa sesuka hatinya untuk melakukan sesuatu. Seandainya ia belum menikah mungkin dia akan berusaha sedikit lebih keras lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.