Istri Simpanan

Bab 183 - Simbol cinta abadi



Bab 183 - Simbol cinta abadi

0Hampir setengah bulan Soo Yin tidak bertemu dengan Dae Hyun. Tidak ada telepon ataupun pesan singkat, tepat seperti keinginannya. Soo Yin memang meminta agar Dae Hyun jangan menghubunginya terlebih dahulu karena jika sudah siap, dirinya yang akan menghubungi lebih dulu.     

Kini ia tengah duduk di bawah pohon cemara di halaman belakang villa. Setiap sore hari Soo Yin selalu ada di sana bersama bibi Xia yang setia menemaninya. Di sanalah tempat untuk merenungkan bagaimana rencana untuk ke depannya. Perutnya juga sedikit menonjol meski belum terlihat. Namun Soo Yin bisa merasakan jika bentuk perutnya sudah mulai berubah.     

Bibi Xia yang setiap hari menemani merasakan jika ada kerinduan yang mendalam Soo Yin untuk Dae Hyun. Dengan tidak ada rasa bosan,  wanita paruh baya itu menanyakan bagaimana perasaan Soo Yin setiap hari. Namun mata Soo Yin tak dapat menyembunyikan rasa rindu itu meski dengan tegas selalu menolak mengakui perasaannya.     

"Nona, apa anda tidak merindukan tuan?" tanya bibi Xia memberanikan diri. Sudah beberapa hari yang lalu Soo Yin menjawab dengan kata tidak. Barangkali hari ini ia sudah berubah pikiran.     

Soo Yin menghela nafas pelan. Matanya menerawang jauh ke pepohonan hijau yang tampak jauh di pegunungan. Tak bisa dipungkiri, ia bahkan sudah merindukannya ketika Dae Hyun mengizinkannya untuk menenangkan diri. Namun hatinya menolak untuk mengakuinya.     

"Bibi, apakah dia masih menginginkanku?" ucap Soo Yin lirih. Wajah yang selalu ceria beberapa hari ini berubah menjadi muram.     

"Tentu saja, tuan Dae Hyun pasti menginginkan dan selalu mencintai Nona," ujar Bibi Xia sembari menyisir rambut panjang Soo Yin dari belakang.     

"Bagaimana jika dia sudah bosan dengan semua sikap burukku?"     

"Itu tidak benar, tuan akan selalu menyayangi Nona. Jika tidak, mana mungkin hampir setiap jam tuan ingin mengetahui kabar Nona," ujar bibi Xia sembari tersenyum.     

Soo Yin menoleh dengan dahi berkerut.     

"Apa maksud Bibi?" tanya Soo Yin.     

Bibi Xia segera merogoh ponsel dari saku celananya. Kemudian menyodorkannya kepada Soo Yin. Itu sebagai bukti jika yang Soo Yin khawatirkan tidaklah benar. Ia sengaja tidak menghapus semua pesannya untuk dijadikan sebagai barang bukti.     

Soo Yin membaca begitu banyak pesan yang sudah masuk ke ponsel bibi Xia. Ia senyum-senyum sendiri bagaimana memang hampir setiap jam Dae Hyun menanyakan keadaannya kepada Bibi Xia. Padahal ia pria yang sangat sibuk tapi kenapa harus repot-repot seperti ini.     

"Nona, percaya kan dengan apa yang Bibi katakan?" ujar bibi Xia sembari mengulum senyum ketika melihat wajah Soo Yin tampak berbinar.     

"Haruskah aku tetap bertahan, Bibi?" tanya Soo Yin ingin meminta pendapat agar hatinya menjadi semakin kuat dan tidak tergoyahkan oleh rintangan yang mungkin lebih besar akan menghadang.     

"Tentu saja, bibi juga ingin suatu hari nanti Nona dan Tuan menjadi keluarga yang bahagia," sahut bibi Xia. Sebisa mungkin dirinya akan membuat kepercayaan diri Soo Yin kembali lagi seperti sedia kala.     

Tiba-tiba Soo Yin teringat oleh ucapan seorang wanita tua ketika mereka pergi ke Busan. Wanita itu mengatakan hubungannya kelak akan seperti bunga Edelweis.     

"Bibi, apa maksud simbol cinta bunga edelweis?" tanya Soo Yin begitu penasaran. Waktu itu belum sempat untuk menanyakannya.     

Bibi Xia berpikir sejenak sebelum menjawabnya.     

"Bunga edelweis adalah bunga yang hanya tumbuh di gunung dengan ketinggian 2.000 kaki. Itu adalah simbol keabadian cinta. Tumbuhan ini sering disebut sebagai perlambang cinta, pengorbanan, ketulusan serta keabadian. Kenapa Nona tiba-tiba menanyakannya?" ujar Bibi Xia setelah memberi sedikit penjelasan.     

"Tidak, aku hanya ingin tahu saja," ujar Soo Yin. Benarkah kelak cintanya kepada Dae Hyun akan seindah bunga Edelweis? Apakah harus begitu banyak pengorbanan yang harus dihadapinya terlebih dahulu?     

"Bibi yakin cinta kalian akan abadi," ujar bibi Xia.     

Soo Yin tersenyum tipis mendengarnya. Apakah perjalanan cinta mereka memang harus melewati lika liku hidup yang berat untuk mencapai keabadian cinta. Entahlah, Soo Yin sekarang tidak ingin memikirkannya.      

Setelah hati dan pikirannya tenang serta mendapat penjelasan dari bibi Xia, Soo Yin sudah memutuskan untuk tetap bertahan bagaimanapun caranya. Dirinya sudah terlambat untuk mundur. Meski banyak rintangan, dengan tekad bulat ia tidak akan serapuh ini. Ia harus memperjuangkan Dae Hyun demi anak yang dikandungnya. Jika besar nanti dia tidak anaknya bernasib sama seperti dirinya.     

"Bibi, apa tubuhku sekarang terlihat gendut?" tanya Soo Yin sambil berdiri kemudian memutar tubuhnya beberapa kali.     

"Wanita hamil memang wajar jika tubuhnya sedikit berisi," ujar Bibi Xia dengan lembut.     

"Lalu, bagaimana jika nanti suamiku tidak menyukainya?" Soo Yin merasa khawatir dan tidak percaya diri dengan kondisi tubuhnya.     

"Setiap pria akan mencintai wanitanya ketika sedang hamil meski bentuk tubuhnya berubah. Tuan Dae Hyun bahkan selalu bertanya apakah perut Nona sudah membesar atau belum. Dia berkata jika sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan Nona," ujar bibi Xia. Sebisa mungkin ia akan meyakinkan kembali kepercayaan Soo Yin pada Dae Hyun karena ini semua demi kebaikan mereka berdua.      

Bibi Xia tidak ingin melihat mereka berjauhan seperti ini. Tak mampu jika melihat Soo Yin yang terkadang mengeluarkan air mata. Saat hamil muda seperti ini, dia perlu mendapatkan kasih sayang dan perhatian lebih.     

"Benarkah suamiku berkata seperti itu? Bibi tidak sedang membohongiku, kan?" Soo Yin menyipitkan matanya meski ada sedikit bunga yang mengembang di hatinya.     

"Tentu saja benar, tidak mungkin bibi berbohong. Nona bisa membuktikannya sendiri," ujar bibi Xia.     

"Jika sampai ucapan Bibi bohong maka aku akan benar-benar pergi," ancam Soo Yin.     

"Besok pagi berikan tuan kejutan dengan cara pergi ke hotel. Dia pasti senang jika melihat Nona," ucap bibi Xia. Sepertinya suasana hati Soo Yin sudah membaik sehingga ia menyarankan seperti itu.     

"Akan kupikirkan nanti," sahut Soo Yin.     

Mereka mengobrol dan bercanda sampai matahari terbenam di ufuk barat. Mereka seperti pasangan anak dan ibu. Soo Yin begitu nyaman mencurahkan isi hatinya kepada Bibi Xia karena wanita paruh baya itu selalu mampu menenangkan hatinya yang goyah.     

Langit kini sudah semakin gelap, sehingga bibi Xia mengajak Soo Yin untuk masuk ke dalam rumah. Tidak baik seorang wanita hamil berada di luar rumah di saat matahari terbenam.     

Setelah menghabiskan makan malamnya Soo Yin segera pergi ke kamar lebih awal. Seperti rutinitasnya setiap malam Soo Yin akan berdiri di balkon hingga larut malam. Namun tidak dengan kali ini, Soo Yin segera masuk ke dalam kamar setelah puas melihat bintang yang bertebaran mengisi langit di angkasa. Berniat ingin tidur lebih awal agar tidak terlambat untuk bangun. Jangan sampai niatnya besok pagi harus gagal.     

Tidak terbiasa tidur cepat, mata Soo Yin enggan terpejam meski sudah berusaha dengan keras. Membayangkan hari esok, rasanya dirinya sudah tidak sabar ingin bertemu dengan suaminya. Ia ingin waktu cepat berputar untuk segera cepat pagi.     

Hingga akhirnya tubuhnya lelah sendiri karena berguling ke sana kemari. Barulah Soo Yin bisa tertidur setelah hampir pagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.