Pejuang Troy [END]

Delapan puluh tiga



Delapan puluh tiga

0Begitu kembali kerumah, Fritz langsung menyuruh Taylor untuk menyiapkan pesawat. Dia ingin kembali ke Canberra secepatnya, kembali ke kediaman Mayer yang tenang dan nyaman. Beberapa hari ini pekerjaannya sangat padat ditambah urusan dengan Troy Darren. Membuat dia merasa lelah secara fisik dan mental. Mungkin dia harus mulai mengosongkan jadwalnya dan bersenang-senang. Tapi dia segera mengurungkan niatnya, mengingat ada adiknya yang sangat membutuhkannya.     

"Kenapa kita kembali sekarang?" tanya Freya, keheranan karena melihat Taylor sibuk penyiapkan pesawat.     

"Karena kita sudah terlalu lama disini. Dan aku yakin kamu sudah puas menikmati pantai." jawaban dari Fritz terdengar penuh sindiran.     

"Apa ini terakhir kalinya aku bertemu dengan Troy?"     

Fritz memandangi wajah adiknya. Ingin dia menjawab pertanyaan itu dengan anggukan tapi tidak semudah itu. Tentu akan sangat lucu bila Freya tahu bahwa dirinya sedang dijahili oleh kakaknya.     

"Kita lihat saja nanti." jawab Fritz, tetap sibuk memasukkan barang-barangnya ke koper. Dia tidak memandang wajah adiknya, karena takut akan ketahuan bahwa dia menahan senyum.     

Perlahan Freya keluar dari kamar Fritz, tanpa mengucapkan sepatah katapun. Kebungkaman Freya terus berlanjut sampai mereka tiba di Canberra. Meski merasa kasihan kepada adiknya, Fritz tetap melakukan aktingnya dengan baik.     

Dua hari berlalu sejak pertemuan terakhir Freya dengan Troy. Setiap hari dia akan mengeluarkan foto yang sengaja dia sembunyikan agar tidak diketahui oleh kakaknya. Foto penuh kenangan yang manis.     

"Baby, ini foto Mama dan Papa ketika kita berlibur ke pantai. Nanti kalau kamu sudah lahir, kita main ke pantai."     

Iya, pantai memang tempat yang penuh kenangan. Bisa dibilang kencan pertama dia dan Troy di pantai. Dan ketika akhirnya ada bayi yang sekarang tumbuh di dalam dirinya pun berhubungan dengan pantai. Mengingat hal itu, Freya sedikit tersipu malu.     

"Ya ampun, aku mikir apa sih." lalu Freya menyimpan foto itu lagi.     

Di perpustakaan, Fritz sedang sibuk dengan beberapa dokumen. Meski sudah malam, dia tetap berkutat dengan pekerjaan. Ketika pintu perpustakaan terbuka, Fritz yang tengah sibuk mendongakkan kepalanya. Dilihatnya Freya berjalan perlahan menuju ke arahnya.     

"Kok belum tidur?" tanya Fritz, melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 10 malam.     

"Aku baru kepikiran satu hal. Kapan aku bisa berbelanja kebutuhan Baby." jawab Freya.     

Fritz tidak langsung merespon perkataan adiknya. Dia hanya melihat ponselnya dan mengetuk beberapa kali sebelum meletakkan ponsel itu di meja.     

"How about next week?"     

"Sounds good." Freya menghiasi wajahnya dengan senyuman.     

"Sudah ada listnya?" Fritz terlihat antusias.     

"Auntie Jojo sudah membuatkan listnya. Dia akan memandu kita." jawab Freya.     

Setelah beberapa minggu tidak bertemu, Jovita meminta kompensasi karena sudah melewatkan waktu pemeriksaan keponakannya. Dia meminta agar Freya menyetujui semua agenda yang sudah dibuatnya, berbelanja kebutuhan bayi. Tak tanggung-tanggung, Jovita juga sudah mengirimkan daftar belanjaan melalui email. Sangat banyak dan rinci.     

"Oke. Kita memang perlu orang yang menguasai hal semacam ini." kata Fritz sembari tersenyum.     

Dia tidak pernah menyangka bahwa kehadiran sahabat adiknya yang dulu dia anggap gangguan, kini membawa berkah tersendiri. Berkat Jovita, Freya berhasil melewati masa sulit dalam hidupnya dan terus bertahan hingga saat ini. Dan hidupnya yang sepi menjadi sedikit ramai. Tiba-tiba saja dia menjadi sedih, memikirkan kalau Freya sudah tidak tinggal dengannya lagi. Dia akan merasa kesepian lagi.     

"Kenapa? Kelihatannya sedih." Freya yang menangkap raut wajah sedih kakaknya, merasa penasaran.     

"Aku berpikir, suatu saat nanti kita akan menjalani hidup masing-masing, dan aku akan sendiri lagi. Itu yang membuatku sedih."     

"Aku nggak akan pernah meninggalkan kamu sendirian. Kalau aku nggak ada, Jojo pasti akan dengan senang hati menemani." entahlah, Freya tidak percaya dia akan mengatakan hal itu.     

Tapi jauh di dalam hatinya, dia ingin kakaknya mendapatkan seseorang yang sebaik dan sepeduli Jovita. Apa mungkin dia harus menjodohkan keduanya? Rasanya akan menyenangkan mengetahui bahwa sahabat kita menjadi kakak. Kakak ipar.     

Membayangkan itu membuat Freya tersenyum sendiri. Tidak ada salahnya jika dia mencoba hal itu. Apalagi keduanya sekarang sama-sama single.     

"Kenapa sekarang kamu tersenyum begitu? Mencurigakan." Fritz terlihat keheranan.     

"Rahasia." lalu Freya berjalan keluar perpustakaan. Membiarkan kakaknya yang kebingungan mengartikan senyum Freya.     

...     

Menginjakkan kakinya di Bandara Canberra, Troy tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Hanya ditemani oleh Mr. Khan, Troy melangkah perlahan menuju mobil. Dengan bantuan tongkatnya, Troy merasa sedikit kesulitan berjalan, tapi itu lebih baik daripada menggunakan kursi roda.     

"Apa apartemen sudah dibersihkan?" tanya Troy, tidak sabar untuk kembali ke apartemennya. Yang penuh dengan kenangan.     

"Yes, Sir." jawab Khan.     

Troy menimbang-nimbang, apakah dia akan langsung menuju apartemennya atau ke rumah keluarga Mayer. Jujur saja dia tidak sabar untuk bertemu dengan istrinya, mengingat Fritz Mayer sudah memberinya restu. Tapi dia masih merasa ragu. Pada akhirnya dia memutskan untuk kembali ke apartemennya.     

Benar kata Mr. Khan, apartemen itu bersih. Bahkan mungkin tidak ada debu yang berani menempel. Setelah merebahkan tubuhnya di sofa, Troy segera mengambil ponselnya dan melakukan panggilan.     

"Halo. Aku sudah sampai di Canberra." kata Troy, ketika sambungan teleponnya diangkat.     

"Besok, makan malam di hotel." jawab sang suara diujung sambungan.     

Pembicaraan singkat itu hanya bisa dipahami oleh mereka berdua. Meski begitu, Troy tetap senang mendengar kabar baik itu.     

"Sir, apa anda perlu seseorang untuk membantu anda?" tanya Mr. Khan setelah menyelesaikan pekerjaannya. Mr. Khan khawatir kalau Troy akan merasa kesulitan mengurus dirinya kalau sendirian.     

"Nggak, aku bisa sendiri." jawab Troy, sambil memandangi sekitarnya. "Khan, ambil libur beberapa hari. Aku tahu kamu pasti lelah selama aku nggak ada."     

Mr. Khan yang mendengar ucapan itu merasa tersentuh. Dia tidak menyangka bahwa bosnya yang terkadang sangat menyebalkan ternyata memiliki sisi lembut yang tidak diketahui banyak orang.     

"Yes, Sir, terima kasih." jawab Mr. Khan.     

Sepeninggalan Mr. Khan, apartemen terlihat sepi. Troy yang seorang diri mencoba mengelilingi apartemen yang sudah lama tidak dia kunjungi. Dengan bantuan tongkatnya, Troy berkeliling. Menyusuri setiap sudut apartemennya yang dulu pernah dia tinggali bersama dengan Fenita.     

Sampai di kamarnya, Troy merebahkan diri. Teringat sesuatu, Troy membuka dompetnya dan mengeluarkan kertas foto yang belakangan ini berada di dompetnya. Foto itu tidak menampakkan wajah ataupun pemandangan, hanya ada gumpalan yang berbentuk seperti anak kucing yang meringkuk. Meski Troy sedikit merasa aneh dengan bentuknya, tapi dia tetap merasa gambar itu adalah gambar yang paling indah yang pernah dilihatnya.     

"Hei Baby, apa kabar? Kamu baik-baik aja sama Mama?" Troy mengusap foto itu dengan lembut, seolah foto itu akan rusak bila dia memperlakukan dengan tidak baik. "Sabar ya, sebentar lagi kita akan bertemu."     

Senyum Troy terkembang. Hanya dengan memandangi foto itu, Troy merasakan kebahagiaan yang sangat besar. Seolah semua kesedihannya sirna, tergantikan oleh kebahagiaan karena gumpalan yang bergerak tak berarturan ketika dia menyentuh perut Fenita. Iya, Troy merasa menjadi orang yang sangat lebay di dunia. Meski baru pertama kali merasakan gerakan itu, Troy merasa dirinya sudah kenal lama dengan gumpalan itu. Ah, apakah ini yang dinamakan ikatan batin?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.