Pejuang Troy [END]

Tujuh puluh sembilan



Tujuh puluh sembilan

0Rencana awal Fritz ke Brisbane hanyalah menengok Troy sebentar dan langsung pulang kembali ke Canberra. Dia tidak berniat untuk tinggal lebih lama disini. Tapi melihat bagaimana adiknya sangat emosional yang pada akhirnya akan mempengaruhi kesehatannya, Fritz lalu memutuskan untuk tinggal selama beberapa hari disini. Anggap saja dia memberi waktu lebih bagi adiknya agar bisa menghabiskan waktu bersama laki-laki yang mungkin berharga. Dan juga sang keponakan.     

Dia merasa dirinya tidak sejahat itu kepada adiknya.     

Ah betapa sekarang kelemahan Fritz terbagi menjadi dua. Adiknya dan calon keponakannya. Terlebih ketika mendengar Freya bercerita bagaimana sang bayi menikmati belaian ayahnya. Sungguh mengharukan. Karena sekian lama bayi itu hidup, yang bahkan belum melihat indahnya dunia, dia belum pernah bertemu dengan ayahnya. Mendengar suaranya pun belum. Padahal menurut dokter kandungan, rangsangan dari sang ayah bisa memberi dampak positif bagi ibu dan janin.     

Dan benar saja, hampir setiap hari Freya berkunjung ke rumah sakit. Sepertinya dia begitu menikmati berada disamping Troy, meski laki-laki itu tidak memberikan respon. Setiap kali dia berkunjung, dia akan mengambil tangan Troy dan mengeluskan ke perutnya seketika saja sang bayi akan bergerak dengan antusias. Seolah dia benar-benar tahu bahwa yang mengelus adalah ayahnya.     

Pagi ini, Freya datang ke rumah sakit lebih pagi. Hanya ditemani Paul, dia menyusuri lorong rumah sakit yang sepertinya sangat dia hapal.     

"Kamu datang." sapa Aaron yang kali ini menjaga Troy.     

"Kamu nggak kerja?" tanya Freya, menjawab pertanyaan Aaron dengan pertanyaan.     

"Minggu depan aku harus balik. Karena minggu depan aku sudah sebulan cuti."     

Sebulan cuti Aaron itu berarti dua minggu sudah Troy terbaring koma. Kehamilan Freya pun sudah menginjak usia 20 minggu. Sudah separuh jalan usia kehamilannya.     

"Kamu mau masuk?" tanya Aaron, memecah lamunan Freya. Dengan anggukan mantap, Freya berjalan ke ruangan yang biasa digunakan untuk menggunakan baju pelapis. Karena memang itulah tujuan kedatangannya.     

Seperti biasa, perawat akan membantu Freya mengenakan baju lapis dan membukakan pintu. Dan waktu kunjungnya selalu 5 menit. Tak pernah lebih.     

"Good morning. Kami datang berkunjung lagi." kata Freya.     

Kali ini dia tidak menangis. Freya sudah bisa mengendalikan emosinya sehingga dia tidak mudah mengeluarkan air mata. Satu motivasinya menahan semua gejolak emosinya. Dia ingin membuat kenangan yang menyenangkan antara Troy dengan bayinya. Meskipun hanya dalam bentuk belaian dan usapan dari tangan Troy yang Freya gerakkan.     

Entah memang benar apa yang dirasakan Freya bahwa tangan Troy mulai bergerak, atau itu hanya bayangannya. Karena kejadian itu hanya sekilas. Yah meskipun itu hanya bayangan, Freya tetap bahagia kalau Troy benar-benar menggerakkan tangannya. Itu berarti ada kemajuan besar yang terjadi. Dan arti lainnya adalah, Troy selangkah lebih maju dalam kesembuhan.     

"Aku nggak pernah ada niatan untuk berpisah sama kamu, bahkan sampai detik ini. Aku hanya ingin kita terus bersama. Dan aku berharap kamu mau menerima dia dengan senang hati." Freya mengusapkan tangan Troy ke perutnya, yang langsung disambut oleh gerakan penuh energi dari sang bayi. Membuat Freya tersenyum mendapati respon mengejutkan itu.     

Doa dan harapan tak pernah lepas Freya panjatkan. Itu juga menjadi dorongan bagi Troy untuk terus berjuang entah didengar atau tidak.     

"Kami pamit." bisik Freya ditelingan Troy. Menyadari bahwa waktu 5 menit terasa sangat cepat berlalu.     

Setelah keluar dari ruangan, Freya tidak langsung pergi. Dia masih betah melihat Troy meski terhalang dinding kaca.     

"Minumlah." Aaron menyodorkan air mineral.     

"Apa Madam Vanesa tahu?" tanya Freya, pandangannya tak lepas dari Troy.     

"Belum. Kalau minggu depan belum ada perkembangan, aku dan Digta berencana memberitahu Mama." jelas Aaron.     

Ada alasan yang membuat kedua sahabat Troy tidak langsung memberi tahu masalah ini ke Mrs. Vanesa Darren. Apapun itu alasannya, Freya yakin itu yang terbaik untuk beliau.     

"Boleh aku tanya sesuatu?" suara Aaron yang terdengar ragu itu membuat Freya menolehkan pandangannya. Setelah lama tidak menjawab pertanyaan Aaron, akhirnya dia melanjutkan perkataannya. "Apa hubungan kamu dengan Fritz Mayer?"     

Padahal tadinya Freya berpikir tentang apa yang akan ditanyakan Aaron. Sesuatu yang rumit dan berbelit. Ternyata Aaron hanya menanyakan apa hubungan antara dirinya dengan Fritz Mayer. Menggelikan dan membuatnya menaikkan alis karena keheranan.     

"Dia kakakku." jawab Freya singkat.     

Terlihat Aaron yang terkejut mendengar jawaban Freya.     

"Serius?" Aaron mencoba memperjelas. Kemungkinan dia menganggap dirinya salah dengar.     

Freya hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum.     

Aaron menganga, tak dapat mempercayai apa yang Freya katakan. Well, mungkin memang sulit mempercayai kalau dia dan Fritz adalah kakak adik. Karena keduanya memang tidak begitu mirip. Tapi ada satu yang membuat keduanya mirip, ketika keduanya diam dan serius, keduanya akan terlihat sama.     

...     

Mimpi itu terus berulang. Dalam sehari, Troy bisa bermimpi dua hingga tiga kali. Apa hitungannya benar? Entahlah, Troy tak bisa memastikan. Yang dia tahu, dia sering melihat kedua bidadarinya dengan senyum yang terkembang. Menularkan kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.     

Terkadang mereka akan bergandengan tangan menyusuri taman cantik dengan berbagai bunga. Atau saat istri dan anaknya sedang bermain dan Troy hanya melihat dari sisi lain taman. Bahkan juga pernah mereka bertiga bermain kejar-kejaran dengan hebohnya.     

Hal-hal kecil yang tidak mewah dan biasa saja. Apapun yang mereka lakukan, ketiganya tampak bahagia. Senyuman selalu terukir di wajah mereka.     

Tapi kali ini berbeda. Mimpi yang dilihat Troy menampilkan adegan yang sedikit memilukan. Ketika Troy mengejar dua bidadarinya yang terus berjalan menjauhi dirinya, keduanya justru semakin menjauh. Hingga mereka mencapai sebuah pintu besar yang sangat cantik. Pintu itu tidak dapat disentuh oleh Troy, tapi mereka dengan mudahnya membuka pintu itu.     

Troy menangisi kepergian mereka. Entah apa yang salah pada dirinya, karena hanya dia seorang yang tak dapat melewati pintu itu. Sebelum benar-benar menghilang, putri kecilnya berlari ke arah Troy. Dia memeluk dan mencium Troy.     

"Papa tahu kami sayang Papa. Kami akan menunggu Papa." suara khas gadis kecil itu memenuhi telinga Troy. Memberikan semangat untuk terus melakukan yang terbaik agar dia bisa berkumpul dengan keluarga kecilnya lagi     

Entah apa maksudnya, tapi Troy menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Bahkan Fenita yang berada jauh di depan mereka pun menyinggungkan senyuman yang sangat manis. Hingga akhirnya mereka benar-benar menghilang dibalik pintu. Lalu semuanya menjadi gelap.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.