Pejuang Troy [END]

Enam puluh tujuh



Enam puluh tujuh

0"Fritz, maaf, aku nggak bisa jagain Freya." dengan berurai air mata, Jovita menelepon Fritz.     

Saat tengah berada dalam rapat, Fritz menerima telepon dari Jovita. Suaranya yang bergetar karena menangis membuat Fritz merasa ada sesuatu yang terjadi.     

"Jo, tenang. Ngomong pelang-pelan biar aku paham maksud kamu." ucap Fritz, berusaha mengendalikan diri.     

"Freya pingsan. Sekarang dia ada di rumah sakit."     

"Oke, aku segera kesana." jawab Fritz cepat.     

Tanpa mempedulikan semua peserta rapat, Fritz langsung berjalan keluar ruangan dan memerintahkan asistennya untuk menyiapkan helikoter. Dia harus segera berada di samping adiknya. Kalau mengendarai mobil, tentu waktu yang dibutuhkan lebih lama, bisa mencapai dua jam.     

Hanya dalam waktu kurang dari 20 menit, helikopter telah siap untuk diterbangkan. Karena sedang panik dan tidak bisa berpikir jernih, Fritz meminta pilot untuk membawanya. Dia tidak mau membuat kesalahan yang akhirnya memperburuk keadaan.     

Kamu kenapa Freya? Masalah apa yang kamu pikirkan sampai kamu sakit begini?     

Ketika Fritz sampai di rumah sakit, Freya telah dipindahkan ke ruang rawat inap. Disana Jovita dan Paul menunggu dalam diam karena Freya sepertinya sedang tertidur.     

"Apa yang terjadi?" tanya Fritz, ketika dia melihat adiknya masih menutup mata.     

"Dia sekarang sedang tidur. Kamu mau ketemu dokternya?" mendengar saran dari Jovita, Fritz segera keluar ruangan menuju ruang dokter.     

Disana, kedua laki-laki beda usia itu membahas kondisi Freya yang tiba-tiba ambruk. Dokter menduga karena Freya kurang istirahat dan tidak mendapat asupan nutrisi yang tepat. Kemungkinan karena Freya mengalami stres.     

"Dan satu lagi Mr. Mayer, Miss Mayer hamil, dan usia kandungannya sekitar 10 minggu." dengan wajah berseri-seri Dr. Robinson menjelaskan. "Selamat ya."     

Ketika dokter itu menyalami Fritz, dia tidak tahu harus bereakasi seperti apa. Pikirannya kosong karena masih mencoba mencerna berita yang baru saja didengarnya. Freya hamil? Bagaimana mungkin? Dengan siapa?     

Butuh waktu bagi Fritz untuk bisa menenangkan diri. Dia sengaja tidak segera kembali ke ruang rawat karena ingin mencerna kalimat yang Dr. Robinson ucapkan. Oke, katakanlah Freya memang hamil, tapi kenapa dia bisa hamil? Dan siapa laki-laki yang sudah melakukan itu kepada Freya?     

Tanpa harus banyak berpikir pun sepertinya Fritz sudah menemukan jawabannya. Iya, siapa lagi kalau bukan Troy Darren. Tidak mungkin adiknya bermain-main dengan laki-laki lain. Karena dia tahu betul bagaimana adiknya bergaul.     

Hari sudah hampir gelap ketika Fritz kembali. Dilihatnya Freya telah sadar dan tengah duduk bersama Jovita, menikmati makan malam yang disediakan rumah sakit.     

"Gimana keadaan kamu?" tanya Fritz, langsung memeluk adiknya dengan sayang.     

"Sudah mendingan. Berkat Jovita dan Paul." jawab Freya, sembari melemparkan senyum. Berusaha menyembunyikan keadaannya yang sebenarnya.     

Fritz hanya mampu memandangi adiknya dengan sayang. Untuk saat ini dia tidak mau memberitahukan kondisi Freya yang sebenarnya, takut hal itu akan membuat Freya semakin stres yang akhirnya malah membuat kondisinya semakin down.     

"Kalian pulang lah. Biar aku yang menjaga Freya malam ini." ucapnya kepada Jovita dan Paul.     

Jovita awalnya menolak untuk meninggalkan rumah sakit. Dia merasa tidak tenang dan khawatir. Setelah Fritz berhasil meyakinkannya bahwa Freya aman disini karena ada dokter dan perawat yang akan merawatnya 24jam, Jovita akhirnya mengalah. Lagipula, tidak ada yang bisa dilakukan oleh Jovita disini, karena ada dokter dan perawat. Fritz pun akan dengan penuh perhatian merawat Freya. Diantar Paul, Jovita pulang ke rumahnya.     

"Aku pulang, kalau ada apa-apa, jangan sungkan menghubungi." kata Jovita ketika berpamitan krpada Fritz.     

"Hati-hati di jalan." balas Fritz.     

Ketika akhirnya Jovita menghilang setelah pintu lift menutup, Fritz kembali masuk ke dalam ruangan dan duduk di depan Freya.     

"Jojo udah pulang?" tanya Freya, masih merasa lemah.     

"Iya." jawab Fritz, membetulkan letak duduknya.     

Setelah mematikan ponselnya, Fritz kembali memasang wajah serius terhadap Freya. "Kamu baik-baik aja?"     

Freya menganggukkan kepalanya perlahan walaupun sebenarnya dia masih sedikit pusing dan mual, tapi itu lebih baik ketimbang tadi pagi. "Kenapa?"     

"Kata dokter kamu stres. Apa yang kamu pikirkan sampai stres seperti itu?" dengan perlahan Fritz bertanya. Jangan sampai adiknya tertekan yang akhirnya makin membuat Freya semakin stres.     

"Aku nggak tau, aku cuma berusaha seperti biasanya. Tapi anehnya aku merasa aneh." Freya menjawab. Benar-benar berusaha seperti biasanya.     

"Kamu tahu aku selalu ada buat kamu. Kamu bisa cerita apa aja ke aku." Fritz menggenggam tangan Freya. "Jangan anggap aku orang asing, karena kamu satu-satunya keluargaku."     

Perkataan Fritz sungguh mengusik hati Freya. Benar apa yang dikatakan oleh kakaknya itu, bahwa mereka hanya mempunyai satu sama lain sekarang. Mereka adalah keluarga. Dia bisa menumpahkan segala masalahnya kepada kakaknya, begitupun sebaliknya. Tapi Freya tidak tega kalau harus menambah beban kakaknya. Karena dia tahu, selama ini kakaknya sudah dipenuhi pemikiran tentang pekerjaan.     

"Im fine. Mungkin aku hanya kelelahan."     

Fritz bangkit dari duduknya. Dia mengusap wajahnya dengan kesal. Dalam keadaan seperti ini pun Freya masih tidak mau berkata jujur tentang semua yang dipikirkannya.     

"Freya, aku benar-benar berharap kamu mau jujur, cerita semua masalah kamu. Aku nggak mau hanya menjadi orang yang memiliki nama yang sama tapi tidak pernah kamu anggap." bahkan Fritz tidak bisa memandang wajah Freya ketika mengatakan hal itu. Hatinya terlalu sakit mengetahui adiknya belum bisa percaya kepada dirinya sepenuhnya.     

Dalam keheningan Freya memikirkan apa yang barusan dikatakan oleh kakaknya. Dia menangkap maksud pembicaraan itu, tapi dia tidak mau menjadi beban. Dan bertekad bahwa dia akan bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.     

...     

Hampir jam 10 malam ketika akhirnya Troy keluar dari ruang kerjanya. Ada beberapa hal yang harus dia kerjakan dengan segera, karena kantor yang ada di Brisbane mengalami masalah. Mau tidak mau dia harus segera kesana.     

Berapa lama dia telah meninggalkan Australia? Sepertinya itu belum ada 3 bulan, tapi rasanya sudah bertahun-tahun.     

Sebelum meninggalkan parkiran, Troy mengecek ponselnya terlebih dahulu. Memastikan tidak ada panggilan ataupun pesan yang terlewat.     

Hanya ada beberapa pesan di ponselnya yang belum sempat terbaca. Itu pesan dari Aaron dan Digta, yang menunggu Troy di klub biasanya untuk bertukar kabar. Tanpa ragu Troy langsung menjalankan mobilnya menuju klub dan berkumpul dengan teman-temannya.     

"Ini dia bos kita sudah datang." sambutan teman-temannya bergema ketika Troy memasuki ruangan yang sudah penuh itu.     

Setelah memberi salam, Troy lalu duduk disamping Digta yang tengah sibuk mengobrol dengan temannya.     

"Hai bos, apa kabar? Pulang lembur kah?" Digta mengalihkan pandangannya ke arah Troy.     

"Kenapa bising?" hanya itu jawaban yang diberikan oleh Troy.     

"Michael-Angelo ulangtahun, dia merayakannya dengan membooking seluruh klub." jawab Digta.     

"Mana Aaron? Ayo kita pindah aja." Troy segera bangkit dan meninggalkan kerumunan. Diikuti oleh digta.     

Dengan anggukan singkat dari Digta, Aaron yang sudah mengerti akan maksud dari kode itu, segera bangkit dan mengikuti kedua sahabatnya.     

Mereka berpindah ke apartemen Digta, yang lebih luas dan lebih tenang ketimbang di klub.     

Sang tuan rumah langsung mengambil 3 gelas dan sebotol tequila dari lemari penyimpanannya. Biasanya mereka akan menghindari tequila, tapi entah kenapa malam ini Digta sangat ingin minum minuman itu.     

"Ayo kita liburan bertiga. Ke Brisbane." ucap Troy, ketika dia selesai mengosongkan gelas minumannya.     

"Kenapa tiba-tiba?" tanya Digta. Jelas dia tertarik.     

"Aku ada urusan pekerjaan disana. Akan sangat membosankan kalau aku sendirian kesana."     

"Yakin?" Aaron kini yang angkat bicara. "Apa kabar waktu kamu ke Canberra selama 6 bulan? Apa itu membosankan?"     

Andai tidak sedang dalam suasana hati yang buruk, Troy akan dengan senang hati melempar gelas ditangannya ke wajah Aaron. Beruntungnya dia masih membutuhkan gelasnya untuk minum.     

"Kita kan udah lama nggak liburan bareng. Cuma dua minggu aja."     

"Sounds good." hanya Digta yang masih memberi tanggapan positif.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.