Pejuang Troy [END]

Lima puluh dua



Lima puluh dua

0Selepas Jovita meninggalkan hotel, kini yang tersisa hanyalah Freya dan Troy. Keduanya melewatkan waktu dengan kesibukan masing-masing. Sebenarnya malam ini Freya tidak sedang menunggu jemputan. Dia akan memanfaatkan waktu yang ada dengan berbicang dengan Troy, membahas masalah mereka yang belum terselesaikan. Apalagi kalau bukan tentang pembatalan perceraian yang beberapa kali disebutkan Troy.     

Tapi Freya bingung harus memulai dari mana. Ditambah lagi, Troy terlihat masih sibuk dengan beberapa hal yang menyita perhatiannya. Dengan patuhnya Freya menanti laki-laki itu menyelesaikan pekerjaanya.     

Hingga tanpa sadar dia tertidur. Ketika menyadari bahwa dia sudah berpindah tempat, Freya segera menegakkan badannya, memasang sikap siaga. Tak ingin mengulang kesalahan yang beberapa hari dia lakukan karena mabuk.     

"Tenang aku nggak akan macam-macam. Kenapa kamu belum dijemput?" Troy yang duduk dibelakang kemudi bertanya dengan lembut.     

"Aku nggak dijemput." jawab Freya singkat.     

"Oke, kalo gitu aku antar. Tapi aku nggak mau mendapat pertanyaan menyelidik dari kepala pelayan keluarga Mayer." saat mengatakan itu, wajah Troy tampak kusut, seolah dia akan terkena masalah besar kalau sampai bertemu dengan Brendan. Tak ayal, itu membuat Freya tersenyum.     

"Brendan orang yang baik." Freya berusaha menenangkan.     

Menganggukkan kepala, Troy lalu mengemudikan mobilnya menuju kediaman keluarga Mayer. Terlihat troy sangat hapal dengan jalan menuju kediamannya, membuat Freya sedikit curiga.     

"Dari mana kamu tahu tempat tinggalku?" akhirnya pertanyaan itu terlontar dari mulut Freya.     

"Aku pernah menguntit kamu. Ingat kan?" jawaban Troy diluar perkiraan. Sepertinya laki-laki itu bangga memamerkan bahwa dia pernah menguntit seseorang.     

Tentu saja Freya mengingat semua itu. Hari dimana dia bertemu dengan Troy setelah sekian bulan pergi meninggalkan suaminya tanpa kabar. Reaksi Freya waktu itu adalah kaget dan takut. Benar-benar tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaannya waktu itu.     

"Maaf, seharusnya aku menunggu kamu pulang. Membiarkan kamu mengantar ke bandara." Freya tak berani menatap wajah itu.     

Banyak hal tak bisa diungkapkan ketika Freya menatap wajah teduh Troy, mata Troy yang penuh dengan semangat dan hasrat.     

"Its okay, itu masa lalu. Sekarang, aku ingin memulai lembaran yang baru. Kita bersama." Troy meletakkan tangannya diatas tangan Freya. Gerakan yang tak terduga terjadi, Freya menarik tangannya dan langsung membuang muka.     

Ketika menyadarinya, mereka ternyata telah sampai di depan rumah keluarga Mayer. Tanpa berkata, Freya langsung keluar dari mobil. Dia sudah tidak mampu menahan air mata yang akan keluar.     

Begitu masuk ke kamar, Freya menjatuhkan diri di tempat tidur dan membekap wajahnya dengan bantal. Menangisi Troy lagi untuk kesekian kalinya.     

Bukan kata-kata serapah seperti yang biasanya dia ucapkan kala sedih dan tertekan karena memikirkan Troy. Kali ini penyesalan dan kata maaf terus terucap dari bibirnya. Sebenci apapun Freya terhadap Troy, tidak akan mengubah fakta bahwa hatinya tetap menyimpan cinta untuk laki-laki itu. Bagaimanapun cara yang sudah dia lakukan untuk melupakan Troy, bayangan akan dirinya tetap eksis di kepalanya.     

Dengan tangan gemetar Freya melakukan panggilan. Setelah dering ke empat, telepon tersambung.     

"Kapan pulang? Aku kangen." hanya kata itu yang berhasil diucapkan.     

"Kamu kenapa? Apa yang terjadi?" suara diujung telepon terdengar khawatir.     

Bagaimana tidak, beberapa hari mereka hanya bertukar kabar lewat pesan karena kesibukan. Dan ketika akhirnya mereka saling mendengar suara masing-masing, salah satu diantara mereka malah menangis.     

Tak mempedulikan waktu, Fritz segera memesan penerbangan terpagi. Jam berapapun penerbangan itu, dia akan melakukannya. Bahkan dia rela tidak tidur agar tidak terlewatkan penerbangannya. Karena orang yang sangat berharga dalam hidupnya sedang menangis dan sedih.     

...     

Andai waktu bisa diputar, Troy ingin kembali ke masa-masa dirinya bersama dengan Fenita. Dia hanya ingin mengubah perilakunya agar lebih baik kepada istrinya. Mencintai dan memuja istrinya dengan sepenuh hati. Memberikan perhatian dan kasih sayang yang berlimpah. Seandainya saja dia bisa.     

Jujur saja Troy sudah putus asa dengan usahanya. Bisa dibilang berbagai cara sudah dia tempuh agar bisa bersama lagi dengan istrinya, tapi apa hasilnya? Cara halus yang dia lakukan saat ini, bahkan juga cara kasar dengan menguntit yang dia lakukan dulu. Semakin dia dekat dengan Fenita, gadis itu semakin takut dan menjaga jarak dengannya. Apa dia semenakutkan itu? Apa dia begitu tak pantas untuk dimaafkan?     

Dalam renungannya yang paling dalam, suara ponselnya berdering. Mengagetkan sekaligus menyadarkannya dari lamunan.     

"Mrs. Darren?"     

"Troy sayang, gimana kabar dosen mama yang paling ganteng?" seperti biasa, mamanya adalah orang paling heboh sedunia yang pernah dikenalnya. Tak peduli waktu, beliau akan selalu penuh semangat.     

"Baik, Ma. Tumben Mama telepon, ada apa?"     

"Mama mau tanya. Kamu disana buat ketemu sama Fenita kan?" kali ini Vanesa to the point. "Gimana?"     

"Darimana Mama tahu?" Troy tidak pernah memberitahukan tujuannya ke Canberra kepada siapapun. Bagaimana Mama bisa tahu?     

"Asal kami tahu ya, intuisi seorang mama itu tidak pernah salah. Kalau salah, kembali ke pasal dimana perempuan tidak pernah salah. Jadi gimana? Ada kabar apa soal menantu mama?"     

Dulu, dua tahun yang lalu, Troy sudah pernah melatih diri untuk memberitahukan kepada mamanya bahwa dia akan berpisah dengan Fenita. Dialog itu dia ucapkan setiap hari sampai hapal agar saat waktunya tiba, dia tidak melakukan kesalahan saat mengatakannya. Namun kini semua dialog yang pernah dia hapalkan mengilang. Dan bahkan keberanian itu ikut menghilang.     

"Troy Mikhaila Darren, kamu masih disana?" suara Mama mengagetkan Troy.     

"Mama percaya sama aku kan?" meski mengucapkan kalimat itu, tak ada nada yang dipenuhi rasa percaya diri dalam diri Troy.     

"Mama percaya, kalian akan hidup bahagia. Kalau memang akhirnya kalian nggak hidup bareng, Mama selalu mendoakan yang terbaik buat kalian."     

Mendengar kata-kata yang diucapkan mamanya membuat Troy merasa sedikit tenang. Paling tidak, saat dia merasa berada di bagan hidup paling bawah, ada Mama yang akan selalu mendukungnya.     

"Terima kasih, Ma. Aku akan berusaha yang terbaik."     

Apa yang akan terjadi selanjutnya? Troy tidak tahu, dan dia tidak berusaha mencari tahu. Biar Tuhan dan para malaikat yang bekerja untuk menciptakan sandiwara baru dalam hidupnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.