Pejuang Troy [END]

Tigapuluh empat



Tigapuluh empat

0'Batraiku habis, jadi ponsel untuk sementara mati.' pesan itu masuk ke ponsel Troy saat dia sedang memimpin rapat dengan para eksekutif perusahaan.     

Dia hanya bisa tersenyum dan segera mengalihkan fokusnya ke rapat yang sedang berlangsung. Saat pembahasan makin serius karena adanya adu argumen tentang pembagian profit.     

Badan Troy memang ada di ruang rapat, tapi otaknya tidak ada disana. Dia sudah tidak sabar untuk segera pulang kerja dan membeli makan malam, lalu pulang untuk makan malam berdua dengan istrinya. Tanpa sadar Troy tersenyum sambil membayangkan. Troy tidak menyadari kalau semua peserta rapat menghentikan diskusi panas dan mengamati wajah bos mereka. Tersenyum saat sedang rapat bukanlah kebiasaan sang bos.     

Memecah keheningan, Mr. Khan mendehem keras. Mencoba mengembalikan kesadaran bosnya ke ruang rapat.     

"Apa sudah selesai?" tanya troy, berusaha menguasai jalannya rapat.     

"Sepertinya begitu, Sir." jawab salah seorang direksi yang mengenakan kacamata plus yang tebal.     

"Oke, rapat sampai disini. Kita lanjut besok." Troy melirik jarum jam ditangannya dan bergegas meninggalkan ruang rapat.     

Semua orang hanya bisa saling memandang aneh terhadap bosnya. Mereka tidak pernah melihat sang bos bertingkah aneh dengan tersenyum sendiri saat rapat tengah berlangsung.     

"Mungkin beliau sedang jatuh cinta. Biasanya begitu." salah seorang berkata penuh analisa.     

Meski mendengar pembicaraan dibelakang punggungnya, Troy tetap mengabaikannya. Benar kata orang, bahwa jatuh cinta mengubah kelakuan seseorang. Troy dulu sangat tidak suka bila ada bisik-bisik dibelakang punggungnya, tapi lihat sekarang. Dia bahkan tidak mau menanggapi omongan dibelakangnya. Karena semua itu fakta!     

Restoran seafood langganannya berjarak lumayan jauh dari rumahnya. Ditambah lagi arahnya berlawanan dengan jalan pulang ke rumahnya, tapi dengan senang hati Troy menempuh perjalanan itu demi Fenita. Apapun akan dia lakukan agar bisa memenuhi keinginan istrinya. Atau keinginan dia sendiri?     

Sayangnya, malam itu restoran cukup ramai, membuat Troy harus menunggu lebih lama. Dalam penantiannya, dia ingin mengabarkan kepada Fenita bahwa antrian cukup memakan waktu, tapi dia segera teringat pesan yang tadi sore diterimanya.     

"Sekalian beli apa ya? Sebagai permohonan maaf karena lama banget." sejenak Troy memikirkan.     

"Pesanan atas nama Troy." seorang pelayan meneriakkan namanya. Dengan sigap Troy mendekat. "Dengan Tuan Troy Mikhaila?"     

"Yes." jawab Troy mantab.     

"Pesanan anda, Sir." sang pelayan mengulurkan dua kantong berisi makanan pesanan Troy. Bau wangi masakan menggugah selera.     

"Terima kasih."     

Melaju dengan kencang tapi masih dalam batas wajar, Troy tak sabar untuk sampai ke rumahnya. Tak lupa, dia mampir ke toko bunga. Membeli rangkaian bunga yang paling indah untuk istrinya. Ini adalah kali pertama Troy membelikan Fenita bunga.     

"Kayanya aku harus sering beliin dia bunga." gumam Troy sambil menatap bunga yang diletakkan di kursi sampingnya.     

Satu belokan lagi dan dia akan sampai rumah. Rasanya hari ini adalah hari yang sangat sempurna. Haruskah dia melamar Fenita hari ini? Karena rasanya Troy begitu ringan dalam menjalani harinya. Dan hatinya dipenuhi debaran yang membuatnya terus memasang senyum.     

Apa kebanyakan orang yang jatuh cinta seperti ini kelakuannya?     

"Fe, aku pulang. Liat apa yang aku bawa buat makan malam." Troy memberitahukan kepulangannya. Tapi tak ada sahutan.     

Masuk ke dalam rumah, Troy tak mendapati seorangpun di rumahnya. Padahal semua lampu menyala.     

"Fe, kamu dimana?"     

Meletakkan semua barang bawaannya, Troy mencoba mencari istrinya di kamar. Kosong. Tak ada orang. Di kamar Fenita pun tak ada.     

Apa dia lagi keluar sebentar? Batin Troy mencoba berpikir tenang.     

Sambil menunggu kepulangan Fenita, Troy menyiapkan makan malam untuk mereka. Menata meja dengan sebaik mungkin dan membuat kejutan untuk istrinya dengan bunga.     

Semenit dua menit, Troy masih sabar menunggu. Dia masih menunggu kedatangan Fenita dengan sabar.     

Hampir setengah jam, rasa khawatir mulai dirasakan Troy. Berjalan keluar masuk rumah entah yang keberapa, Troy sudah tidak menghitung. Sampai ketika dia mengamati foto pernikahan mereka untuk mengamati wajah sumringah Fenita, dia menemukan ada sesuatu yang tidak seharusnya terletak disana.     

Sebuah pesan catatan.     

'Maaf aku nggak ngabarin terlebih dahulu. Aku pamit. Penerbanganku nanti jam lima sore. Jaga diri baik-baik, makan yang teratur dan jaga kesehatan. Berbahagialah karena sebentar lagi kamu akan menjadi laki-laki yang bebas, meski aku nggak pernah mengharapkan kita berpisah. Kalau kita berjodoh, suatu saat kita pasti akan bertemu lagi. Maaf sudah membuat hidupmu bagai di neraka dua tahun terakhir ini. Terima kasih karena kamu mau menahan semuanya demi dua tahun ini. Fenita.' (:loudly_crying_face::loudly_crying_face::loudly_crying_face:)     

Pikiran Troy terasa kosong.     

Apa maksudnya ini? Penerbangan? Minta maaf? Terima kasih?     

Kepanikan segera menyergap hati Troy. Dia meraih ponselnya dan segera memanggil nomor yang belakangan ini menjadi nomor favoritnya. Nomor Fenita. Terdengar dering sambungan ke nomor itu, tapi terdengar pula suara ponsel.     

Ponsel Fenita berdering. Tergeletak di atas meja yang terletak tepat di bawah foto besar itu, foto pernikahan mereka dua tahun yang lalu.     

"Ini nggak lucu." Troy membanting ponselnya ke sofa.     

Bergegas lari ke kamar, Troy membuka lemari bajunya, mencari baju Fenita. Tak ada. Surat-surat atas nama Fenita juga tidak ada. Berlari ke luar, berharap menemukan gadis itu sedang bersembunyi di suatu tempat, tapi tidak juga tampak.     

Dada Troy seketika sesak. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Matanya tiba-tiba perih, seolah ada sesuatu yang masuk kedalam matanya. Apa dia menangis?     

"Fe, jangan tinggalin aku." dalam kesendiriannya, akhirnya Troy menangis.     

Dia mengeluarkan air mata yang tak pernah keluar itu. Dadanya terasa sesak dan hampa. Menyadari bahwa kini dia sendiri dan ditinggalkan lagi.     

Apa ini balasan untuknya karena telah menyia-nyiakan orang yang menyayangi dirinya? Atau karena selama ini dia tidak pernah bersyukur kepada Tuhan dengan apa yang telah dimilikinya?     

Dalam tangisnya, dia mencoba tetep berpikir jernih. Dengan tangan yang tak hentinya gemetar karena menahan tangis, Troy menelepon namanya.     

"Ada apa Troy?" suara Madam Vanesa terdengar.     

"Mama tahu Fenita pergi?" suara tangisan itu tak dapat ditahan lagi.     

"Maksud kamu?" Vanesa bingung dengan pertanyaan putranya.     

"Fenita berangkat ke luar negeri hari ini. Tadi jam lima. Nggak ngabarin. Dia pergi sendiri." tangisan Troy pecah. "DAN DIA NGGAK NGASIH TAHU AKU DIMANA DIA KULIAH. MAMA TAHU ITU?!"     

Kekalutan menguasai dirinya. Ini batasan sabar yang bisa ditahannya.     

"Troy, kamu dimana? Mama kesana." suara Vanesa mulai terdengar panik.     

"A-aku di rumah." ucap Troy akhirnya. Dan panggilan telepon berakhir.     

Vanesa mencapai rumah Troy dalam waktu 15 menit. Begitu memasuki rumah, dia melihat putra semata wayangnya tengah meringkuk di dekat pintu, menunggu kedatangan seseorang.     

"Sayang, aku kita duduk di sofa." dengan lembutnya Vanesa memapah Troy.     

Perasaan sayang dan iba bercampur menjadi satu. Andai bisa menahan menantunya untuk tetap disini, Vanesa tentu akan melakukan apa saja agar gadis itu tetap disini. Dia benar-benar merasa sakit melihat putranya kembali menderita karena ditinggal perempuan. Yah walaupun kali ini kasusnya berbeda.     

Tapi dia juga percaya bahwa menantunya akan memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga untuk Troy. Membawa perubahan yang selalu dia coba lakukan untuk Troy.     

"Sayang, kamu tahu kan Fenita mau kuliah ke luar negeri? Kamu menyetujuinya kan?" perlahan Vanesa berkata. "Empat tahun nggak lama. Dan Mama yakin, dia akan pulang kesini kalau liburan."     

Dipelukannya, Troy hanya terdiam. Berat baginya mengatakan yang sebenarnya.     

"Gimana kalau dia nggak kembali? Gimana kalau disana dia punya kehidupan yang lebih baik? Gimana kalau disana dia punya seseorang yang menyayangi dirinya tanpa syarat?" pertanyaan itu meluncur tanpa bisa dicegah. Pertanyaan yang merupakan ungkapan kekhawatiran Troy.     

"Sweetheart, kamu tahu Fenita itu perempuan seperti apa. Dia pasti punya alasan kenapa melakukan ini." suara lembut Vanesa mencoba menenangkan putranya.     

Troy segera melepas pelukan mamanya dan berdiri. "Mama nggak tahu kan kalo menantu kesayangan Mama pergi dengan laki-laki lain? Apa aku sebegitu nggak berartinya buat dia sampai dia aja nggak bilang kemana dia pergi."     

"Apa maksud kamu? Laki-laki siapa yang kamu maksud?" perkataan Troy memicu kecurigaan Vanesa.     

"Dia pergi dengan Tuan Mayer. Fritz Mayer. Bahkan laki-laki itu yang mengurusi semua keperluan dan urusan Fenita untuk kuliah disana. Aku mengakui kesalahanku karena mengabaikan dia, tapi apa dia harus melakukan ini kepadaku? Apa Tuhan sanagt ingin melihatku lebih hancur dari kejadian kemarin?"     

Troy mengacak rambutnya lalu meninggalkan sang ibu di ruang tengah. Membiarkan mamanya dipenuhi pertanyaan yang belum bisa dia temukan jawabannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.