Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Katakan Siapa Namamu



Katakan Siapa Namamu

0"Paman Arka, Paman Aksa, kalau Sabrina menikahi salah satu dari kalian, aku tidak akan keberatan. Tetapi aku tidak terima kalau Sabrina menikah dengan Rio. Apakah kalian punya rencana untuk menyingkirkan Rio?" tatapan dingin terlihat di mata Mason yang dalam.     

Di ruang kantor CEO Atmajaya Group, Arka sedang duduk di sofanya sambil bersantai, memandang Mason dengan tatapan yang tajam. "Mengapa kamu repot-repot memikirkan anak kecil?"     

"Rio masih berusia 19 tahun," kata Aksa dengan acuh tak acuh.     

Wajah Mason terlihat semakin muram mendengar kata-katanya, "Bagaimana kalau Sabrina menyukainya?"     

"Mana mungkin ia menyukainya? Ia hanya belum bisa memilih siapa yang harus ia jadikan sebagai pendamping hidupnya. Oleh karena itu ia hanya bersenang-senang dengannya," kata Aksa.     

Arka memandang ke arah Aksa yang duduk di atas meja kerjanya. Ia mengambil sebuah dokumen dan melemparkannya.     

Seperti seseorang yang bisa membaca pikiran, Aksa langsung bereaksi dengan sangat cepat, melarikan diri dari lemparan itu dan terlihat sangat bangga. "Tidak kena! Tidak kena!"     

"Aku dengar anak kembar bisa telepati. Paman Aksa, apakah kamu bisa merasakan bahwa Paman Arka ingin menghajarmu?" tanya Mason.     

"Apakah kamu bisa merasakan bahwa Madison akan mencuri mobilmu dan menabrakannya?" Aksa balas bertanya.     

"Aku tidak bisa merasakannya. Tetapi sebelum ia menabrakannya, entah mengapa aku merasa sangat kesal," jawab Mason.     

"Kakakku dan aku memiliki kepribadian yang berbeda. Dan kami tidak punya waktu untuk berkomunikasi dari hati ke hati," Aksa menoleh dan memandang ke arah Arka. "Kak, aku memimpikan Sabrina kemarin malam."     

"Aku tidak mau mendengar mimpimu dan aku tidak ingin tahu," kata Arka dengan dingin.     

"Aku juga tidak mau mendengarnya," Mason juga menolak.     

"Mason, kamu pesankan sebuah restoran untuk kita makan malam dengan Sabrina malam ini. Aku juga akan menghubungi Rio dan juga Joanna," kata Arka. Jason adalah anak dari Jenny dan Jonathan, yang merupakan sepupu dari Mason.     

Aksa duduk di kursi kerja kakaknya dan menumpangkan kepalanya di atas kedua tangannya sambil tersenyum. "Kalau hanya laki-laki saja, Sabrina pasti merasa tidak nyaman. Aku akan mengajak Adel. Mason kamu ajak Maddy."     

"Maddy tidak menyukai Sabrina," Mason mengerutkan keningnya.     

"Lalu mengapa kamu masih mau bersaing dengan kami?" Aksa mendengus dengan dingin.     

"Paman, kita sudah setuju bahwa kita akan bersaing dengan adil. Mana mungkin aku tidak mengejar wanita yang aku sukai hanya karena adikku tidak menyukainya," kata Mason.     

Jari-jari Arka yang panjang mengetuk meja beberapa kali. "Ajak Adel dan Maddy."     

"Siapa yang akan mengajak Sabrina?" tanya Aksa.     

"Paman Arka saja. Sabrina takut padamu jadi ia tidak berani tidak datang kalau kamu yang meneleponnya," kata Mason.     

Sudut bibir Arka membentuk sebuah senyuman tipis yang tidak tahu apa artinya. "Mengapa ia harus takut padaku?"     

"Kak, terkadang kamu memang sangat serius dan menyeramkan," kata Aksa sambil menyeringai.     

"Benar …" Mason mengangguk.     

"Jadi maksud kalian, hanya karena Sabrina takut padaku, mustahil ia akan memilihku?" Arka bisa mengetahui maksud di antara mereka berdua.     

"Jangan terlalu banyak berharap. Semakin besar harapanmu, semakin besar juga kekecewaan yang akan kamu rasakan," Aksa terlihat seolah ia adalah pria yang akan dipilih oleh Sabrina.     

Arka tidak peduli pada adiknya itu. "Keluarlah. Biar aku yang menghubungi Sabrina."     

Setelah Aksa dan Mason keluar dari ruangan kantornya, Arka mengambil ponselnya di atas meja dan langsung menghubungi Sabrina.     

Sabrina baru saja selesai mandi dan sudah siap untuk tidur. Ia masih merasa jet lag dan sangat lelah setelah perjalanan yang panjang.     

Saat ia melihat nama di layar ponselnya yang berkedip, Sabrina merasa kebingungan.     

Apakah ia harus mengangkat panggilan ini? Atau membiarkannya saja?     

"Kak, mengapa kamu tidak menjawab teleponmu?" Samuel, adiknya, mengintip dari pintu kamar Sabrina, menunjukkan kepala kecilnya dengan tatapan penasaran.     

"Apakah kamu tidak ada les hari ini?" Sabrina memandang ke arah adiknya.     

"Aku ada les piano jam setengah dua, les bahasa inggris jam tiga dan aku akan pergi untuk bermain bola jam lima nanti," jawab Samuel.     

"Cepat pergilah," kata Sabrina.     

"Kak, jangan memilih Mason karena ia jauh lebih muda. Kalau kamu menikah dengannya, kamu harus memanggil Kak Arka dan Kak Aksa dengan sebutan paman. Kak Arka terlalu serius dan menyeramkan. Aku sarankan kamu memilih Kak Aksa saja. Ia baik dan memiliki karakter yang bagus. Aku juga menyukainya," kata Samuel sebelum berbalik dan pergi.     

Sabri mengambil handuk kering untuk mengusap rambutnya yang masih basah sambil memikirkan mengenai kata-kata Samuel.     

Bahkan adiknya yang masih berusia 6 tahun saja mengetahui bahwa menikahi Mason tidak mendatangkan keuntungan untuknya. Mason memiliki dua paman yang terus mengganggu dan menindasnya.     

Samuel juga mengatakan bahwa Arka terlalu serius dan menyeramkan. Namun, di mata Sabrina, sebenarnya Aksa dan Mason juga tidak sebaik yang Samuel pikirkan.     

Ponsel Sabrina masih berbunyi. Arka sangat sabar meneleponnya dan menunggu hingga Sabrina mengangkat panggilan tersebut.     

"Siapa yang mengganggu tidurku?" Sabrina berpura-pura mengatakannya dengan suara yang malas seolah ia baru saja bangun tidur.     

"Sabrina, aku akan menjemputmu untuk makan malam ke restoran biasanya," suara Arka yang seperti coklat itu terdengar dari seberang telepon. Suara itu terdengar manis dan hangat. Sabrina ingin menolak ajakan tersebut, tetapi saat ia ingin mengatakannya, yang keluar dari mulutnya hanyalah gumaman tidak jelas.     

"Hmm …" jawab Sabrina.     

Setelah panggilan itu berakhir, Sabrina meletakkan ponselnya di atas meja nakasnya dan mengisi baterainya. Ia berguling-guling di atas tempat tidur sambil berteriak.     

"Ahhhhhhhhhhhh …." Teriaknya dengan bantal yang menutupi wajahnya.     

Tiga tahun lalu, Sabrina terperangkap di antara tiga pria.     

Arka, Aksa dan Mason.     

Ia tidak bisa memilih salah satu dari antara ketiga sahabat masa kecilnya itu. sehingga pada akhirnya, ia memutuskan untuk melarikan diri ke luar negeri dengan alasan ingin melanjutkan kuliah desain.     

Ia mengambil jurusan desain produk dengan pendalaman pada materi mengenai perhiasan, untuk meneruskan jejak ibunya sebagai seorang desainer perhiasan.     

Tiga tahun kemudian, ia kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya lebih awal. Ia terkejut saat mengetahui ketiga sahabat masa kecilnya itu masih lajang dan menantikan ia kembali ke Indonesia.     

Sekarang, Sabrina sudah tidak bisa melarikan diri lagi.     

Ia harus memilih.     

Di pesawat saat perjalanan pulang kembali ke Indonesia, ia bertemu dengan Jason Srijaya, putra dari Jonathan dan Jenny. Jason kembali ke Indonesia setelah berlibur bersama dengan temannya, Rio Aditya.     

Pertemuan yang tidak disengaja itu membuat Sabrina diperkenalkan kepada Rio.     

Sabrina mendapatkan sebuah ide saat ia berkenalan dengan pria tersebut. Ia memanfaatkan Rio, berpura-pura menjadikannya sebagai kekasih, dan mengunggah foto kedekatan di antara mereka di media sosialnya.     

Ia pikir tiga sahabat kecilnya itu akan menyerah setelah mereka tahu bahwa Sabrina sudah memiliki kekasih. Siapa yang tahu mereka berniat untuk langsung menjemputnya begitu ia tiba di Indonesia.     

Sabrina merasakan firasat yang cukup kuat bahwa ini bukanlah sebuah pesta kecil, namun sebuah acara yang cukup besar!     

Ia memejamkan matanya dengan kesal, terjebak di antara tiga pilihan yang tidak bisa ia buat.     

…     

Panas …     

Sekujur tubuh Sabrina terasa sangat panas seperti sedang dipanggang di atas api.     

Sabrina memegang kerah bajunya dan melihat seorang pria berdiri di samping tempat tidurnya. Pria itu terlihat oleng seolah tidak bisa berdiri dengan tegak. Atau mungkin ia yang tidak bisa memandang pria itu dengan lurus.     

Ada apa dengan kepalanya saat ini?     

"Panas. Apakah ada air? Aku haus sekali," Sabrina mengulurkan tangannya ke arah pria itu.     

Pria tersebut membawakan segelas air dan menopang tubuh Sabrina dengan menggunakan lengannya untuk menyuapkan minuman padanya. Namun, setengah dari gelas itu tetap tumpah dan membasahi leher serta bajunya.     

Sabrina seperti seseorang yang sudah lama tidak pernah minum air. Tidak peduli seberapa banyak air yang ia minum, ia tetap merasa haus.     

"Aku ingin lagi," kata Sabrina.     

"Apa yang kamu inginkan?" pria itu terlihat menggelengkan kepalanya. Karena Sabrina terus mengayunkan tangannya, tanpa sadar tangannya itu menyenggol gelas yang pria tersebut pegang, membuat gelas itu terjatuh ke lantai.     

"Kamu … Kamu terlihat sangat tampan. Wajahmu sangat menawan seperti seorang dewa," Sabrina tersenyum seperti orang yang tidak waras, memandang ke arah bibir pria itu seolah ingin menciumnya.     

Ia merasa hanya memikirkannya saja, tetapi ternyata Sabrina benar-benar menciumnya.     

Begitu Sabrina mengambil inisiatif untuk menciumnya terlebih dahulu, bibir pria itu seolah menyambutnya dan membalasnya lebih agresif. Sabrina tidak bisa menyaingi keagresifan pria itu dan hanya bisa menerima serangan demi serangan dalam diam.     

Ciuman itu membuat tubuh Sabrina merasa semakin dan semakin panas. Ia merasa seperti akan kehilangan kendali.     

Ia merasa wajahnya terasa panas, seperti sedang disinari oleh matahari siang.     

Dahinya mengeluarkan bulir-bulir keringat dan matanya tidak bisa memandang dengan jelas. Ia seperti bunga yang dihempaskan oleh air hujan, tidak bisa berbuat apa-apa.     

Sabrina merasa tidak nyaman, tetapi ia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya sendiri.     

Sampai tangan pria itu mengelus wajahnya dan bibirnya mengecup bibir Sabrina. Akhirnya, Sabrina tahu apa yang ia butuhkan.     

Sabrina langsung membalas ciuman tersebut dan reaksi dari Sabrina itu membuat sang pria merasa senang.     

"Sabrina, jadilah milikku malam ini," bisik pria itu di telinganya.     

Sabrina berusaha keras untuk mempertahankan kesadarannya, tetapi rasanya sangat sulit. Ia seperti tenggelam dalam pasir dan tidak bisa naik ke atas lagi.     

Kesadarannya terasa semakin dan semakin menghilang. Sementara itu tubuhnya terasa seperti melayang di atas awan.     

Ia merasa seperti berada di atas kapal saat gelombang ombak menggoyangkannya dengan lembut. Ia hanya bisa memegang tangan pria itu dengan erat, berharap ombak tersebut tidak menelannya hidup-hidup.     

Ia berusaha untuk tetap membuka matanya. Dan sebelum tertidur, ia bertanya. "Siapa kamu?"     

" …. Atmajaya.     

"Siapa? Katakan sekali lagi siapa namamu. Katakan sekali lagi!" Sabrina tiba-tiba saja terbangun dari mimpinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.