Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Harus Memiliki Anak



Harus Memiliki Anak

0Melihat Nadine memasak dengan sangat hati-hati, Hana tertawa, "Nadine, tidak perlu terlalu berhati-hati seperti itu. Tadi para pelayan sudah mencucinya berkali-kali. Masakan rumahan akan terasa lebih hangat. Kalau makanannya terlalu mewah, itu akan membuat Tiara merasa tertekan."     

Nadine langsung menyadari. "Ibu benar. Aku tidak berpikir terlalu jauh," Nadine melihat alat makan mewah yang sudah ditata di atas meja, alat makan yang jarang mereka digunakan. Akhirnya, Nadine menyimpannya kembali.     

"Tema makan malam ini adalah kekeluargaan yang hangat. Jangan terlalu mewah. Nanti tamunya malah akan merasa tidak nyaman," kata Nadine, memerintahkan para pelayannya untuk membersihkan semua hiasan mewah yang sudah dipajang.     

Hana memandangnya sambil tersenyum dengan mengangguk dengan puas.     

Ia sangat mencintai menantunya itu. Nadine adalah wanita yang cerdas dan penurut. Selain tidak bisa mengandung, Nadine hampir tidak memiliki kekurangan apa pun.     

Hana juga seorang wanita. Ia bisa memahami kondisi Nadine dan ia juga sudah mempersiapkan diri. Kalau memang Nadine tidak bisa memiliki anak dan tidak bisa memberikan cucu untuknya, ia tidak akan memaksa.     

Siapa bilang sebuah keluarga harus memiliki anak?     

Selama suami istri bisa hidup dengan bahagia dan damai, hidup mereka sudah cukup indah.     

Nadine kembali ke dapur setelah selesai menata meja makan. Kemudian, ia mulai membuat salad buah.     

"Saat mencuci sesuatu, ingat untuk gunakan air hangat dibandingkan air dingin. Saat aku muda dulu, aku tidak tahu. Aku menyesal begitu tua. Saat aku muda, aku sering begadang untuk menggambar dan menyelesaikan pekerjaanku. Saat aku marah, aku suka minum air dingin untuk mendinginkan hatiku. Aku selalu menggunakan rok pendek dan sepatu hak tinggi. Sekarang setiap kali cuaca sedikit dingin, aku merasa lututku sakit dan tubuhku kedinginan," kata Hana sambil tersenyum.     

Nadine terkejut mendengarnya. Sebuah perasaan yang tidak bisa dijelaskan terasa di hatinya.     

Walaupun Hana sedang membicarakan dirinya sendiri, Nadine cukup cerdas untuk tahu bahwa Hana sedang mengajarkan bagaimana cara untuk mengurus tubuhnya dan kesehatannya.     

Ia tersenyum dan berkata dengan lembut. "Aku tahu, Ibu. Terima kasih sudah mengingatkan."     

"Kakiku sakit sekarang dan aku sudah tidak kuat berdiri. Kamu juga harus istirahat. Setelah membuat salad buahnya, pergilah untuk istirahat. Jangan terlalu kelelahan," Hana khawatir Nadine akan terlalu kepikiran sehingga ia memutuskan untuk pergi dengan alasan kakinya yang lelah.     

"Ibu, apakah kamu baik-baik saja?"Nadine melihat Hana benar-benar kesakitan. Mungkin Hana tidak sedang memperingatinya, tetapi memang benar-benar sakit.     

"Tidak apa-apa. Kakiku memang sakit. Aku menderita karena kebodohanku dulu. Itu sebabnya aku selalu memperingati bibimu untuk menjaga kesehatannya. Ingat untuk selalu memakai pakaian hangat," kata Hana.     

"Biar aku membantumu untuk duduk di sofa," Nadine meminta pelayan untuk menyiapkan salad buahnya dan ia membantu Hana untuk berjalan menuju ke sofa.     

Pikiran Nadine melayang saat ia sedang duduk. Ia memikirkan mengenai Tiara dan ibunya yang telah menyelamatkan Hana dan Harris dari kematian. Ia benar-benar berterima kasih pada mereka, tulus dari lubuk hati terdalamnya. Kalau mereka tidak menyelamatkan Harris dan Hana, apa mungkin ia bisa bertemu dengan Harris?     

Sebenarnya, ada sebuah masalah yang terus menerus mengganggu benak Nadine. Harris adalah pria yang baik, tetapi sayang sekali tubuh Nadine tidak cukup kuat untuk memberi Harris keturunan …     

"Nadine, apa yang kamu pikirkan? Kalau kamu lelah, istirahat saja. Ibu bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Kamu jangan sampai sakit," Hana melihat ekspresi Nadine yang tidak fokus dan berpikir bahwa menantunya itu terlalu kelelahan.     

Melihat Hana yang sangat perhatian padanya, khawatir ia terlalu lelah, hati Nadine terasa semakin hangat.     

Ia tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Ibu. Aku tidak lelah. Aku harus menyiapkan semuanya untuk tamu yang akan datang kerumah."     

"Aku merasa lebih lega karena memiliki kamu yang membantuku," kata Hana sambil mengangguk dan memandang Nadine dengan sayang. Ia sudah menganggap Nadine seperti putrinya sendiri, bukan hanya menantu.     

Nadine tersenyum malu dan merasa sangat gembira mendengar pujian dari mertuanya. "Ibu, biar aku mengambil minyak dan memijatmu. Terakhir kali aku keseleo, minyak itu membuatku sembuh lebih cepat."     

"Biar aku saja yang mengolesi kakiku dengan minyak. Takutnya tamu kita akan segera datang. Dan sebenarnya, ibu sudah lapar," kata Hana sambil tertawa.     

Hana tahu bahwa ibu dan mertua sangatlah berbeda. Di hadapan ibu, seorang anak bisa berbuat jujur, tetapi di hadapan mertua, mereka tetap harus menjaga sikap. Hana ingin lebih dekat pada Nadine, ingin agar hubungan mereka tidak sebatas mertua dan menantu, tetapi ibu dan anak.     

Hanya itu yang ia inginkan …     

"Tadi kita hanya makan sedikit saat siang. Aku lihat sup ayamnya sudah hampir selesai. Bagaimana kalau aku membuatkanmu mie ayam? Aku bisa membuat mie yang enak," kata Nadine.     

"Boleh," Hana mengangguk.     

Hana biasanya sangat sibuk dan Nadine pun memiliki pekerjaannya sendiri. Meski lelah, Hana tidak mau menyuruh menantunya itu mengerjakan pekerjaan rumah.     

Tetapi hari ini, ia melihat Nadine benar-benar bekerja keras untuk membantunya. Ia ingin melakukan lebih sehingga Hana memutuskan untuk membiarkannya.     

Setelah pernikahan mereka, Nadine dan Harris selalu menumpang makan bersama dengan Aiden. Karena hanya tinggal berdua, mereka terlalu malas untuk memasak sendiri.     

"Tunggu sebentar. Biar ibu bisa merasakan masakanku," Nadine bangkit berdiri dan kembali ke dalam dapur.     

Tidak butuh waktu lama, dua mangkuk mie yang harum sudah disajikan di atas meja.     

"Nanti malam kita akan makan malam, jadi aku tidak masak terlalu banyak. Biar aku menemani ibu makan," Nadine menggandeng tangan Hana dengan lembut dan membantunya berjalan ke meja makan.     

Hana menepuk punggung tangan Nadine. "Kamu benar-benar perhatian."     

Di mangkuk itu, mie yang Nadine sajikan terlihat sangat menarik, terutama karena ada sayur-sayuran yang menghiasinya. Selain itu, aromanya sangat harum sehingga membuat nafsu makan mereka semakin meningkat.     

Hana memakan mie itu dengan sangat gembira. "Kamu pandai memasak juga."     

"Itu karena ibu yang mengajariku."     

"Tidak. Itu karena kamu yang pintar dan cepat belajar!"     

Setelah makan, mereka berdua kembali mengerjakan pekerjaannya.     

Saat Jenny dan Tiara tiba di rumah, Harris masih belum selesai bekerja. Begitu mereka tiba di dalam rumah, mereka melihat Hana sedang mengajari Nadine memasak.     

"Rebus udang ini di air mendidih. Setelah warnanya kemerahan, cepat angkat, jangan membiarkannya terlalu lama. Setelah itu …" Hana mengajarkan semuanya satu per satu sambil menunjukkan contohnya pada Nadine.     

Nadine mengangguk dan memperhatikan ibu mertuanya dengan sangat hati-hati. Semua orang tahu bahwa masakan Hana sangat lezat. Itu sebabnya, Nadine ingin belajar lebih banyak.     

"Aku iri sekali. Kakak punya ibu mertua yang bisa melakukan banyak hal!" kata Jenny, sambil bersandar di pintu dapur.     

"Jenny, kamu sudah datang! Apakah kamu juga ingin membantu untuk memasak? Atau coba masakan ini. Apakah ini kurang manis?" kata Hana sambil tersenyum.     

"Menurutku sudah sangat pas! Kalau terlalu manis, nanti malah akan membuatku gendut. Aku harus diet!" jawab Jenny.     

"Apakah Tiara bilang kapan ia akan datang?" tanya Nadine.     

"Dia datang bersama denganku! Bu Hana, apakah aku boleh minta dua mangkuk? Aku akan menyuruh Tiara untuk mencicipinya!" Jenny sangat rakus. Mencicipi makanan saja tidak cukup untuknya. Ia meminta satu mangkuk dan tidak melupakan temannya.     

Hana tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. "Nadine, tolong ambilkan dua mangkuk untuk mereka. Ibu akan keluar dulu dan menemui Tiara."     

"Baik, Ibu. Hati-hati, jangan terlalu cepat jalannya. Nanti kaki ibu sakit lagi," Nadine memikirkan mengenai kaki Hana yang masih sakit.     

Hana bergegas keluar dari dapur dan melihat Tiara sedang mengenakan gaun berwarna putih yang baru saja dibelinya. Ia terlihat putih dan tinggi seperti peri, bukan lagi gadis desa yang kecil dan kurus seperti yang ada di benaknya saat mereka masih berada di desa.     

"Apakah kamu Tiara?" Hana memandangnya dengan gembira.     

"Bibi, sudah lama aku tidak melihatmu. Bibi sama sekali tidak berubah, masih cantik seperti dulu," Tiara melangkah maju dan tersenyum.     

"Tiara, kamu pandai berbicara," kata Hana sambil tertawa. "Aku sudah tua dan rambutku sudah beruban semua. Tidak seperti kamu yang bertambah cantik! Ibumu pasti sangat senang kalau bisa melihatmu," Hana melangkah maju dan menggenggam tangan Tiara. "Bagaimana keadaanmu? Di mana kamu tinggal sekarang?"     

"Aku baik-baik saja, Bibi. Setelah ibuku meninggal, bibiku yang mengurusku. Sekarang aku tinggal bersama dengan keluarga bibiku. Paman dan bibiku tidak memiliki anak perempuan, jadi aku adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga mereka," Tiara menjelaskan keadaan keluarganya secara singkat.     

"Dulu, aku bercanda dengan ibumu, bilang bahwa saat kamu besar nanti, kamu akan menjadi menantuku. Tetapi aku tidak bisa menemukanmu. Dalam sekejap mata, kamu sudah dewasa dan Harris sudah memiliki wanita yang dicintainya. Tiara, kamu tidak bisa menjadi menantu bibi. Tetapi apakah kamu mau menjadi anak bibi?" Hana memandangnya dengan senyum yang hangat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.