Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Tertipu



Tertipu

0Nico berhenti di tempat parkir Mid Valley Villa dan bertemu dengan Abdi. Ia langsung menanyakan arah yang Anya dan Aiden lewati.     

Abdi langsung menunjuk ke arah kiri. "Tuan dan Nyonya melewati jalur ini."     

"Apakah kamu yakin?" Nico menatap Abdi dengan curiga.     

Mid Valley terdiri dari beberapa gunung kecil dan lembah yang berbeda. Setiap jalannya akan menuju ke puncak gunung yang berbeda.     

"Mengapa kamu masih melamun? Ayo cepat berangkat!" kata Tara.     

"Ke mana ktia akan pergi? Apakah kamu tahu ke mana mereka pergi?" Nico kembali ke mobilnya dan memegang setirnya. Ia menatap dua jalur di hadapannya, tidak tahu harus mengambil jalan yang mana.     

"Bukankah supir Aiden baru saja bilang mereka pergi ke kiri? Ayo cepat kita ke kiri!" kata Tara.     

"Tidak! Aku tidak akan tertipu. Abdi menunjuk ke arah kiri, berarti mereka pasti menggunakan jalur yang kanan. Mereka takut kita akan mengacaukan kencan mereka sehingga mereka sengaja memberi arah yang salah." Nico langsung menginjak gas mobilnya dan menuju ke arah sebaliknya.     

"Apakah kamu yakin?" tanya Tara dengan ragu.     

"Tadi pagi, saat sarapan, saat aku bertanya ke mana mereka akan pergi, Anya menolak untuk menjawab. Ia takut aku akan mengganggu kencan mereka. Aku yakin mereka melewati jalur ini," Nico mengendarai mobilnya sambil tersenyum penuh kemenangan.     

Namun, Tara masih terlihat ragu. Dari kaca spion mobil, ia bisa melihat Abdi masih berdiri di tempat yang sama sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pasrah.     

"Nico, aku rasa supir Aiden tidak membohongi kita. Mereka tidak melewati jalur ini," kata Tara.     

"Sebentar lagi kita akan menyusul mereka. Tenang saja," kata Nico dengan santai. Kemampuan menyetirnya juga sangat baik sehingga ia bisa melewati jalan yang tidak rata tanpa ada masalah.     

Tara membuka jendela mobil dan memandang ke luar. "Jarang sekali aku bisa menikmati pemandangan seperti ini. Klinikku sibuk sejak awal tahun. Sesekali, aku juga harus membantu kakekku. Aku sangat sibuk mencari uang."     

"Jadi, kamu sekarang sangat kaya? Bagaimana kalau kamu menerimaku? Aku bisa menghangatkan tempat tidurmu di malam hari," kata Nico dengan bercanda.     

"Ah! Aku hanyalah pemilik klinik kecil. Mana mungkin aku bisa membayar seorang general manajer Atmajaya Group? Suatu hari nanti, aku hanya bisa membuka cabang klinik-ku atau mungkin membuka rumah sakit. Tetapi kamu akan menjadi presiden Atmajaya Group." Tara menertawai dirinya sendiri. "Nico, jaran antara kita akan menjadi semakin besar dan semakin besar. Apakah kamu masih akan berteman denganku nanti?"     

"Apa yang kamu takutkan? Apakah kamu takut kita tidak punya bahan pembicaraan lagi? Atau kamu takut aku akan membuangmu? Aku tidak seperti itu. Pamanku mendukung Anya untuk bekerja. Ia ingin menjadi parfumeur jadi ia membeli Rose Scent untuknya. Apa yang Pamanku bisa lakukan, aku juga bisa melakukan hal yang sama," kata Nico dengan tegas.     

Tara menggelengkan kepalanya. "Nico, aku tidak mau mempertaruhkan hubungan kita. Persahabatan memang bisa menjadi cinta, tetapi cinta tidak bisa kembali ke persahabatan. Aku tidak mau kehilangan temanku. Apakah kamu mengerti?"     

Sebenarnya, Nico tidak tahu apa yang ia rasakan pada Tara. Ia tidak tahu apa itu cinta. Ia hanya merasa nyaman bersama dengannya.     

Dengan Tara, ia merasa tenang. Tidak ada beban di hatinya. Tetapi ia tidak tahu apakah ini cinta atau bukan.     

"Aku tidak bisa menjanjikan apa pun padamu. Aku tidak bisa memastikan suatu hari nanti aku tidak berubah. Tetapi aku bersedia untuk memperlakukanmu seperti Pamanku menyayangi Anya. Tetapi jika memang itu maumu, kita bisa berteman saja," kata Nico dengan santai.     

"Baguslah!" Tara menghela napas lega dan langsung tersenyum.     

Melihat senyum Tara yang penuh kelegaan, sepertinya memang ia menganggap Nico sebagai beban.     

Nico kembali memusatkan perhatiannya pada jalan, tetapi sama sekali tidak menemukan mobil Aiden.     

Begitu ia tiba di puncak gunung, Tara melotot ke arahnya. "Mereka tidak ada di sini. Mereka tidak menipu kita."     

"Bagaimana mungkin aku bisa tahu bahwa mereka memang lewat sebelah kiri?" kata Nico dengan kesal.     

…     

Sementara itu, Aiden sedang menyetir dan membawa Anya menuju ke puncak gunung. Di perjalanan, pohon-pohon mulai terlihat berjejeran membentuk hutan, bunga-bunga liar di segala tempat dan burung-burung berkicau dengan keras. Anya menikmati semua itu sambil menyandarkan kepalanya di jendela mobil. Ia memejamkan mata saat angin bertiup mengacaukan rambutnya.     

Ia melupakan semua masalah yang terjadi di rumah Keluarga Atmajaya dan mulai bersenandung.     

Setelah tiba di puncak gunung, Anya kembali mengirimkan pesan ke grup chat.     

Anya : Aku sudah tiba di puncak gunung. Di mana kalian?     

Tara : Kami juga sudah di puncak gunung, tetapi gunung yang berbeda dengan kalian.     

Nico : Kami tidak mau mengganggu kencan kalian, jadi kami memilih arah yang berlawanan. Kita akan bertemu jam lima sore di kaki gunung.     

Aiden membalasnya dengan pesan suara.     

Aiden : Sepertinya kamu butuh sesuatu untuk meningkatkan kecerdasanmu.     

Nico begitu marah hingga tidak bisa mengatakan apa pun. Tetapi pada akhirnya ia hanya bisa menghela napas panjang. Memang ia sudah tertipu oleh jebakan Pamannya.     

Ia tidak bisa menyangkal apa kata Pamannya.     

Sementara itu, Tara sudah menyimpan kembali ponselnya dan memandang sekelilingnya dengan mata berbinar. Kakeknya mempelajari ramuan herbal sehingga ia pun ikut tertarik dalam bidang tersebut.     

Ketika mereka tiba di puncak gunung, segala sesuatu di tempat tersebut adalah harta karun untuknya!     

"Apakah kamu membawa peralatan di mobilmu? Ayo kita mengambil beberapa tanaman!" kata Tara dengan penuh semangat.     

"Tidak bisakah kita menghabiskan waktu dengan bersantai dan menghirup udara segar?" Nico mengomel, tetapi ia tetap membuka bagasi mobilnya.     

"Wow! Kamu membawa peralatan lengkap! Apakah semua ini untukku?" kata Tara dengan gembira.     

"Saat aku mengambil mobil di garasi rumahku, aku melihat peralatan ini. Aku pikir kamu pasti mau menggunakannya sehingga aku membawanya. Tidak perlu berterima kasih padaku!" kata Nico dengan bangga.     

"Aku akan mengambil tanaman yang bisa meningkatkan kecerdasanmu!" kata Tara, tidak memedulikan kata-katanya membuat Nico semakin kesal.     

Walaupun Nico tidak tertarik dengan tanaman, ia tetap mengikuti Tara dan berjalan menuju ke arah hutan.     

Aiden dan Anya duduk di mobil. Mereka tidak langsung turun karena mereka melihat seekor tupai menyeberangi jalan sambil membawa biji-bijian bersama dengannya. Melihat mobil mereka, tupai itu berhenti sebentar dan menatap ke arah mereka dengan bingung.     

"Lucu sekali!" kata Anya dengan penuh semangat. "Bisakah kita menangkapnya?"     

"Aku akan membantumu." Tidak tahu apa yang sedang terjadi padanya, tetapi Aiden tiba-tiba saja menawarkan diri untuk membantu Anya melakukan sesuatu hal yang membosankan.     

Apa lucunya tupai ini? Tupai itu sama sekali tidak lucu.     

Ia hanya ingin melakukan segala hal bersama dengan istrinya …     

Mereka berjalan mengendap-ngendap dari dua arah. Namun, tupai itu langsung berlari dengan cepat dan memanjat pohon yang tinggi.     

Anya tertawa saat mereka gagal menangkap tupai tersebut. Tawanya itu menular sehingga Aiden ikut tertawa kecil.     

Ia merangkul pundak Anya dan Anya langsung menyandarkan kepalanya di bahu Aiden. Mereka menikmati angin di puncak gunung, merasa nyaman saat menikmati pemandangan di hadapan mereka.     

"Lihat di sana. Itu adalah bianglala yang pernah kita naiki." Anya menunjuk ke salah satu arah agar Aiden mengikuti arah pandangnya.     

"Aku tidak bisa melihatnya," kata Aiden dengan tenang.     

Anya menatap Aiden dengan terkejut, "Apakah kamu rabun jauh?"     

"Tidak. Sepertinya, mataku terlalu tidak nyaman hari ini sehingga terlihat agak kabur." Aiden menarik tubuh Anya ke dalam pelukannya dan mencium keningnya. Kemudian, ia mencium ujung hidungnya dan bibir mungilnya.     

Jantung Anya berdegup dengan kencang. "Jangan di sini. Ada banyak orang."     

Di tempat itu, tidak hanya ada mereka. Beberapa orang juga naik dan turun dari gunung tersebut.     

"Biarkan mereka melihatnya. Mereka tidak bisa melarangku untuk mencium istriku sendiri," Aiden memegang wajah Anya dengan kedua tangannya dan menciumnya dengan lebih dalam.     

Mereka berdiri di atas gunung, di bawah langit biru dan gumpalan awan putih. Angin bertiup, membelai tubuh mereka, sambil mendengarkan nyanyian dari burung-burung yang berkicau. Kota terlihat sangat kecil di bawah kaki mereka.     

Tidak ada yang penting di tempat itu, selain mereka berdua.     

Hanya ada mereka …     

Anya terpana sesaat. Ia dimabukkan ciuman Aiden dan tidak bisa membebaskan dirinya dari sihir yang menjeratnya. Ia memeluk tubuh Aiden dengan erat dan membalas ciumannya.     

Sesekali, ia bisa mendengar suara langkah kaki orang lain. Namun, ia sudah tidak peduli.     

Hanya ada mereka berdua di sana. Dunia hanya milik mereka …     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.