Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Apakah Kamu Bisa Melihat?



Apakah Kamu Bisa Melihat?

0Anya terdiam sejenak saat mendengarnya dan akhirnya tetap memutuskan untuk membakar ikan. Selain bagus untuk mata Aiden, ia juga ingin membantu agar Aiden bisa mengalahkan masalah psikologisnya.     

Bima masih tetap duduk di tempatnya. Ia tidak mau berpanas-panasan di luar dan menikmati AC yang bertiup di ruangan tersebut. Tetapi ia akan memandang ke arah taman dari waktu ke waktu.     

Nico dan Tara sedang duduk di salah satu sisi sambil makan dan berbincang-bincang.     

Aiden duduk dengan tenang di bawah sebuah pohon teduh sambil tetap mengenakan kacamata hitamnya. Tetapi arah pandangnya selalu tertuju pada Anya.     

"Ayah, apa yang kamu inginkan? Aku akan menyuruh Nico membuatkannya untukmu," kata Maria, menghampiri Bima sambil tersenyum.     

"Apakah menurutmu penglihatan Aiden sudah pulih?" tanya Bima dengan serius.     

Maria memandang Aiden sambil mengamatinya dengan seksama. Matanya tertuju ke arah Aiden. Tetapi Bima dan Maria tidak bisa melihat dibalik kacamata hitam itu. Mereka tidak tahu apa yang sedang Aiden lihat dan apa yang Aiden pikirkan.     

Pada saat itu, wajah Aiden terlihat datar dan tanpa ekspresi seolah tidak tahu bahwa Bima dan Maria sedang memandangnya. Setelah mendengar suara Anya, ia menoleh dan memandang ke arah datangnya suara itu.     

"Kalau Aiden bisa melihat, ia pasti memberitahuku," kata Maria dengan tenang.     

"Apakah kamu juga menyalahkan aku?" Bima menghela napas panjang.     

"Aku juga punya hati nurani," Maria tidak mengatakan apa pun lagi dan berjalan menuju ke taman.     

Ia telah menikah dengan Ardan dan menjadi bagian dari Keluarga Atmajaya lebih dari 20 tahun. Ketika ayah mertuanya tidak dalam suasana hati yang baik, ia akan selalu berusaha untuk menghiburnya.     

Ketika putrinya diculik, ia menelan kemarahannya dan berbesar hati untuk membesarkan putri haram dari suaminya tanpa berkomentar.     

Ayah Aiden sama sekali tidak mencintai siapa pun sehingga tidak ada satu pun yang memperhatikannya. Hanya Maria saja yang peduli padanya.     

Namun, Maria tidak menyangka bahwa Aiden akan mengalami penculikan. Ia bahkan harus duduk di atas kursi roda selama enam bulan.     

Aiden tidak akan berakhir seperti ini jika Bima tidak memedulikan kepentingannya sendiri. Sayangnya, di hatinya, dirinyalah yang nomor satu. Hubungan keluarga, termasuk putranya, tidak sepenting itu baginya sehingga ia tidak mau mengeluarkan uang untuk membayar uang tebusan.     

Pernah ada sebuah berita mengenai pria terkaya di Hongkong yang anaknya diculik. Penculiknya menginginkan uang tebusan sebesar satu milyar.     

Pria itu berjanji tidak akan menelepon polisi dan akan memberikan uangnya selama putranya kembali dengan selamat.     

Ketika putranya diculik, ia memutuskan untuk tidak melapor dan membayar uang tebusan itu. Ia takut penculiknya akan membunuh putranya sehingga ia rela mengeluarkan berapa pun biayanya agar darah dagingnya itu kembali.     

Seharusnya, itu adalah reaksi normal dari orang tua.     

Tetapi Bima tidak ragu untuk menelepon polisi ketika penculik Aiden meminta uang tebusan tinggi.     

Meski ia mengkhawatirkan Aiden, ia memikirkan situasi keseluruhannya dan menganggap bahwa itu adalah keputusan terbaik. Ia merasa dirinya tidak bersalah mengambil keputusan tersebut.     

Setelah kejadian itu, hubungan ayah dan anak menjadi semakin buruk. Mereka bukan hanya seperti orang asing, tetapi seperti musuh bebuyutan.     

Jika bukan karena Anya, Aiden tidak akan pernah menginjakkan kakinya di rumah ini.     

Bima menatap ke arah Aiden yang mengenakan kacamata hitam dan menikmati sejuknya udara di bawah pohon yang rindang. Ia berkata dengan suara pelan. "Aku tidak bersalah."     

Maria berjalan menuju ke taman dan melihat Anya sedang menyemprotkan sesuatu pada ikan bakar.     

"Anya, apa yang kamu semprotkan? Aku mencium bau lemon," tanya Maria.     

"Iya, Kak. Aku menyemprotkan jus lemon agar bau amis dari ikannya menghilang dan rasa ikannya lebih sedap," kata Anya sambil membalikkan ikan tersebut dan menyemprotkan jus lemonnya lagi di bagian belakang.     

Nico tertegun saat melihat Anya melakukannya. Ia tidak menyangka ada cara seperti itu.     

"Bibi, kamu hebat!" katanya sambil mengangkat dua jempolnya.     

Anya tertawa saat melihatnya. "Apakah kamu ingin belajar sesuatu dariku"     

"Bibi bukan pandai memasak! Bibi hanya seorang pecinta makanan, sehingga mengetahui cara seperti ini," kata Nico.     

"Dasar anak ini. Jangan bicara seperti itu kepada Bibimu. Pangkatnya lebih tinggi darimu, tidak peduli ia lebih muda atau lebih tua," tegur Maria.     

"Tidak masalah, Kak. Kami memang biasa bersikap seperti teman, tidak perlu terlalu sopan."     

Dua ikan yang dibakar oleh Anya mulai berasap. Bau yang sedap tercium darinya dan penampilannya terlihat begitu menggoda.     

Ia mengambil botol bumbu-bumbu dan membumbui dua ikan tersebut dengan berhati-hati.     

Walaupun ada payung dan kipas di sekitar sana, wajah Anya masih memerah karena terlalu panas.     

"Ikan bakar buatan Anya sudah siap untuk dimakan. Itu terlihat sangat lezat hingga membuat air liurku mau menetes." Tara menghampiri dan menatap ke arah ikan Anya.     

"Kalau kamu mau, aku akan membuatkannya untukmu. Aku tidak bisa memberikan ini padamu!" kata Anya dengan malu.     

"Mana mungkin aku berani mencuri ikan milik Aiden. Ia begitu menyeramkan," Tara meringkuk mundur, menahan rasa laparnya karena ketakutannya jauh lebih besar.     

"Kak, bisakah kamu memberikan ikan ini pada kakek Nico?" Anya meletakkan satu ikan di atas piring dan memberikannya pada Maria.     

"Anya, kamu membuatnya khusus untuk ayah?" Maria baru menyadarinya.     

"Hmm … Aiden tidak terlalu menyukai ikan. Tetapi ia bilang ayahnya menyukai ikan bakar. Jadi, aku membuat dua," jawab Anya sambil tersenyum malu.     

"Kamu begitu perhatian. Ayah hanya belum menyadari kebaikanmu. Lama kelamaan ia pasti akan memahaminya." Maria memegang piring tersebut dan berjalan menuju ke tempat Bima.     

Setelah itu, Anya membawa ikan yang satunya untuk Aiden.     

Aiden melirik ke arah piring yang dibawa Anya sambil berkata dengan sinis. "Aku merasa milik ayahku jauh lebih enak."     

"Ikannya dibakar bersama-sama, dengan api yang sama. Aku yang membakar keduanya. Bagaimana bisa ada yang lebih enak?" kata Anya sambil melotot marah pada Aiden.     

"Tetap saja menurutku itu yang lebih enak!" kata Aiden, merajuk seperti anak kecil.     

"Kalau kamu tidak mau, aku akan memberikannya pada Tara. Ia sudah hampir meneteskan air liurnya saat melihat ikan ini," kata Anya sambil berbalik.     

Aiden langsung mengulurkan tangannya dan menghentikan Anya. "Suapi aku."     

"Kamu punya dua tangan sendiri. Mengapa aku harus menyuapimu?" kata Anya dengan kesal.     

"Aku tidak bisa melihat. Bagaimana jika tulang ikannya tersangkut di tenggorokanku." Aiden ingin Anya yang menyuapinya, tidak mau tahu apa pun alasannya.     

Mengingat bahwa Aiden pernah sampai dioperasi gara-gara tulang ikan, akhirnya Anya memutuskan untuk duduk dan menyuapkannya pada Aiden. "Apakah enak?" tanyanya dengan penuh harap.     

"Tidak buruk. Suapi aku lagi," kata Aiden dengan senang.     

Anya cemberut saat mendengarnya. Aiden bahkan tidak mau memujinya sedikit pun. "Aku lapar. Tidak bisakah kamu makan sendiri?"     

"Tidak bisa. Aku mau lagi," kata Aiden.     

Anya hanya bisa menyuapi suaminya yang manja itu sambil cemberut.     

Lima menit kemudian, Maria datang menghampirinya. "Aku bilang pada ayah bahwa Nico yang membuat ikan bakar itu. Ia menyukainya dan bahkan memujinya. Ayo kita buat lagi?"     

"Bukankah Nico sedang membakar ikan? Bawakan saja ikan itu. Tidak perlu menyuruh Anya memasak," kata Aiden.     

Maria menatap ke arah panggangan dan melihat dua ikan dengan paprika hijau dan daun bawang di atasnya.     

"Aiden, apakah kamu bisa melihat?" tanya Maria dengan terkejut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.