Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Salah Bicara



Salah Bicara

0Mungkin Aiden sama sekali tidak memedulikan ancaman Nico, tetapi Anya merasa seolah jantungnya berhenti berdetak. Ia langsung panik.     

Ia belum datang untuk mengunjungi keluarga Atmajaya, tetapi Nico sudah mau melaporkan bahwa ia dan Aiden bekerja sama untuk menindas cucu kesayangan dari Keluarga Atmajaya. Bagaimana kalau kakek dan nenek Nico mengetahui cucu kesayangan mereka ditindas oleh seorang wanita yang tidak mereka kenal?     

Melihat wajah panik Anya, Aiden langsung menegur Nico. "Mengapa kamu bersikap tidak sopan pada bibimu, padahal ia hanya sedang bercanda. Apakah kamu akan mengadu pada kakekmu hanya karena masalah kecil?"     

"Bibi, maafkanku," kata Nico. Ia langsung mengakui kesalahannya.     

"Aiden, Nico sudah mengaku salah dan meminta maaf. Maafkan dia ya?" kata Anya sambil berusaha menenangkan Aiden.     

"Tidak secepat itu. Berterima kasihlah pada bibimu," kata Aiden dengan tenang.     

"Terima kasih, Bibi. Bolehkah aku makan sekarang?" Nico tidak berniat melawan Pamannya. Ia tahu bahwa Aiden sangat memanjakan Anya. Jadi, lebih baik ia menuruti kata-kata Aiden agar semuanya cepat berlalu.     

Kalau ia bisa membantu hubungan antara Paman dan Bibinya, ia juga akan ikut senang.     

"Aiden, kamu bisa menurunkan aku. Ayo kita makan," Anya menepuk bahu Aiden dan suaminya langsung menurunkannya di salah satu kursi.     

Dari waktu ke waktu, Nico akan memandang mereka berdua. Anya membantu Aiden untuk mengisi piringnya sementara Aiden membantu untuk memotongkan sosis untuk Anya.     

"Paman, apakah kamu bisa melihat?" tanya Nico dengan terkejut. Apakah akhirnya Pamannya memutuskan untuk berhenti berpura-pura?     

"Hubunganku dengan Bibimu baik sehingga aku merasa senang dan mataku bisa melihat lebih jelas," kata Aiden dengan tenang.     

"Senang?" Nico melirik ke arah bekas ciuman di leher Anya. "Apakah kamu benar-benar pulih sepenuhnya atau untuk sementara saja?"     

Anya mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Nico. "Pamanmu masih belum stabil. Kadang-kadang ia bisa melihat, kadang-kadang tidak bisa. Jadi, kita memutuskan untuk merahasiakan pemulihannya sementara waktu dan memberitahu Keluarga Atmajaya ketika ia pulih sepenuhnya."     

Nico menatap ke arah Aiden seolah ingin memahami sesuatu.     

"Bibi, kamu yang bisa membuat Paman marah dan bisa membuat Paman senang. Hanya kamu yang bisa mempengaruhi suasana hati Paman. Tolong jaga Pamanku," kata Nico.     

Aiden menatap Nico dengan puas. "Hari ini aku akan membawa Bibimu ke rumah Keluarga Atmajaya. Kamu juga kembalilah ke rumah. Minta orang rumah untuk menelepon Tara agar ia datang dan memeriksa kondisi kakekmu."     

"Ah! Itu ide yang bagus!" Nico langsung mengeluarkan ponselnya dan meminta pelayan rumah Keluarga Atmajaya untuk menelepon Tara. Dengan itu, ia bisa bertemu Tara hari ini!     

Ketika Nico menelepon, Anya memakan sarapannya dengan santai.     

Anak rambutnya yang terurai terjatuh. Aiden langsung mengulurkan tangan dan menyelipkan rambut Anya ke telinganya dengan lembut, "Kalau ada Tara, kamu bisa lebih tenang."     

"Kamu sangat perhatian!" Anya menatap Aiden dengan senang.     

Setelah selesai menelepon, Nico menatap mereka berdua. Mata Aiden tampak penuh dengan cinta saat menatap ke arah Anya.     

"Siang nanti, aku akan pergi dengan Bibimu. Setelah pergi makan di rumah kakekmu, kamu bisa pergi berkencan dengan Tara. Kamu bisa menangkap kunang-kunang dengannya," saat mengatakannya, mata Aiden tampak enggan meninggalkan wajah Anya.     

"Ke mana kalian akan pergi?" tanya Nico.     

"Kalau kami memberitahumu, bukankah kamu akan mengganggu kencan kami?" kata Anya sambil menatap Nico dengan curiga.     

Nico tertawa, "Bibi, Paman adalah milikmu. Aku tidak akan merebutnya darimu. Kamu tidak perlu terlalu curiga seperti itu!"     

"Itu namanya bukan kencan jika kita pergi beramai-ramai. Seharusnya kami menikmati waktu kami berdua. Hari ini Pamanmu bisa melihat dan aku ingin membawanya ke suatu tempat. Jadi aku tidak akan memberitahumu," kata Anya.     

Nico mengedikkan bahunya. "Paman tidak punya pengalaman kencan dengan wanita. Aku rasa ia akan mengacaukan kencan kalian. Dengan adanya aku, kencan kalian akan semakin lancar."     

"Pamanmu memang tidak pernah berkencan, tetapi aku pernah …" begitu mengatakannya, Anya sadar bahwa apa yang keluar dari mulutnya terdengar salah.     

Benar saja. Aiden langsung memandangnya ketika mendengar apa yang ia katakan.     

Dari wajahnya terlihat jelas bahwa ia sangat cemburu dan tidak senang dengan apa yang istrinya katakan.     

Anya menggigit bibirnya dan menelan ludahnya dengan gugup. Ia melirik ke arah Nico, meminta bantuannya.     

Namun, Nico malah berpura-pura mati dan menegak semua buburnya sekaligus. "Aku sudah selesai! Aku akan pergi dulu!"     

Keponakan yang tidak tahu diri ini melarikan diri setelah makan dan membuat keributan. Apakah ia tidak bisa melihat bahwa Pamannya sedang marah?     

Apa yang harus ia lakukan sekarang?     

Anya menatap ke arah Aiden dengan gugup dan berkata dengan suara pelan, "Suamiku, aku …"     

"Aku juga sudah selesai,�� Aiden tidak menunggu Anya dan segera meninggalkan meja.     

Anya benar-benar ingin menampar mulutnya sendiri. Aiden begitu memanjakannya sehingga membuatnya begitu senang, sampai-sampai ia lupa diri. Ia lupa bahwa Aiden sebenarnya adalah seorang pria yang dingin dan kejam. Ia memiliki batasan yang tidak boleh disentuh sedikit pun.     

Aiden bisa memanjakannya dan menyenangkannya hingga melayang ke langit ke tujuh, tetapi ia juga bisa menyadarkan Anya kembali dan membuatnya jatuh ke tanah.     

Anya hanya bisa mengutuk dirinya sendiri. Hanya karena ia senang, ia melupakan segalanya.     

Ia memang tidak berniat apa pun. Ia bukannya mengenang masa lalunya dengan Raka, atau merindukan Raka. Ia benar-benar telah melupakan Raka.     

Anya hanya ingin mengatakan bahwa ia memiliki pengalaman berkencan. Namun, pria mana yang ingin mendengarkan pengalaman kencan masa lalu dari istrinya?     

Nico melarikan diri begitu cepat. Sekarang, Anya tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa untuk membujuk Aiden.     

"Anya, berikan teh ini untuk Aiden. Ini teh untuk menenangkan hatinya dan untuk relaksasi agar matanya cepat pulih," kata Hana sambil menghampirinya.     

"Bu Hana, apa yang harus aku lakukan jika aku salah berbicara?" kata Anya dengan penuh penyesalan.     

"Anya. Kamu masih muda. Aiden pasti akan mengerti," hibur Hana.     

"Aku tidak tahu harus berbuat apa untuk membujuknya. Aku tidak mau Aiden marah padaku," kata Anya dengan panik.     

Hana tersenyum saat melihatnya. "Meminta maaflah pada Aiden dengan tulus. Jangan biarkan ia mengira bahwa kamu tidak merasa bersalah."     

"Baiklah," Anya naik ke lantai dua sambil membawa cangkir teh yang diberikan Hana.     

Ia melihat pintu ruang kerja Aiden terbuka sehingga ia segera menuju ke ruangan itu sambil membawa cangkir teh tersebut. Aiden sedang duduk di depan mejanya, membaca sebuah dokumen.     

Anya hanya bisa diam berdiri di ambang pintu dan menatap ke arahnya.     

"Mengapa kamu hanya berdiri di sana saja?" tanya Aiden dengan dingin.     

Aiden berubah begitu cepat! Tadi pagi, ia benar-benar lembut terhadapnya. Namun sekarang, ia berbicara padanya dengan nada yang sangat dingin.     

Anya benar-benar menyesali mulutnya yang bodoh!     

"Aku membuatkan teh untukmu. Apakah kamu mau meminumnya?" tanya Anya dengan hati-hati.     

"Bawakan ke sini," kata Aiden dengan wajah datar.     

Wajah Anya terlihat panik saat meletakkan cangkir yang dibawanya di atas meja.     

"Aku mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak kukatakan. Aku telah membuatmu marah dengan kecerobohanku. Aku minta maaf," kata Anya sambil menundukkan kepalanya. Jari-jari tangannya terjalin dengan rapat dan jantungnya berdegup kencang karena gelisah.     

"Tidak ada yang salah dengan kata-katamu," Aiden mengatakannya tanpa ekspresi, menyembunyikan isi hatinya yang sesungguhnya.     

"Tidak. Aku salah," kata Anya.     

"Apa yang salah?" bibir Aiden tersenyum, tetapi senyuman yang terlihat di wajahnya sangat dingin. Tangannya memegang dagu Anya, mengangkat kepalanya agar menatap ke wajahnya.     

"Ah?" Anya tertegun sejenak. Ia memutar otaknya, mencari jawaban yang tepat. Tetapi kegugupannya membuat ia tidak bisa berpikir. Bagaimana cara menjelaskan semuanya pada Aiden?     

Melihat wajah Aiden yang semakin dan semakin muram, jantung Anya ikut berdetak semakin kencang.     

Apa yang harus ia lakukan? Apa?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.