Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Mengadu



Mengadu

0"Itu hanya mimpi buruk. Jangan khawatir," kata Aiden sambil menepuk punggung Anya pelan, berusaha untuk menenangkannya.     

Anya menggelengkan kepalanya dan berkata sambil terisak. "Aku memiliki mimpi yang sama seperti sebelumnya. Kamu harus berhati-hati dan menjaga dirimu."     

"Mimpi selalu berkebalikan dengan kenyataan," Aiden menepuk-nepuk punggungnya seperti menenangkan anak kecil yang sedang sedih.     

"Aiden, aku benar-benar takut. Tolong jangan tinggalkan aku sendirian lagi," Anya memeluk Aiden erat-erat, takut kehilangan suaminya. Takut kehilangan seseorang yang telah menghangatkan hidupnya yang dingin.     

"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu," bisik Aiden sambil memeluk tubuh Anya. Ia berusaha untuk mengalihkan pembicaraan agar Anya tidak terus ketakutan. "Apakah parfumnya sudah jadi?"     

Sambil tetap terisak, Anya mengangguk. "Hmm … Kamu harus membantuku memilih botol parfum yang bagus. Aku punya banyak botol parfum, tetapi aku tidak tahu apa yang kakak iparmu sukai."     

"Foto dan berikan ke Nico. Biarkan ia yang membantumu memilihnya. Ketika terbangun, aku tidak bisa melihat lagi," kata Aiden dengan suara pelan.     

"Apa?" Anya terkejut dan langsung terbangun. Kepalanya terasa berdengung.     

"Tidak apa-apa. Ini sudah biasa." Kata Aiden sambil tersenyum padanya.     

Anya melihat ketidakberdayaan dan kesedihan di senyuman Aiden. meski ia berkata tidak apa-apa, Anya tahu pasti Aiden sangat sedih. Bagaimana rasanya saat cahaya yang menerangi duniamu tiba-tiba saja direnggut begitu saja?     

Siapa yang mau hidup dalam kegelapan? Hanya mengandalkan perasaan dan ingatan, tanpa bisa melihat indahnya dunia?     

Jika kamu tidak bisa melihat selamanya, mungkin kamu akan belajar untuk menerima kehidupan tanpa cahaya. Tetapi Tuhan seakan mempermainkannya. Tuhan membiarkan Aiden untuk mencicipi indahnya dunia dan merenggut cahaya itu kembali seolah hanya menggodanya.     

Ia memberikan harapan pada Aiden ketika Aiden sedang putus asa, kemudian membatalkan harapan itu tanpa alasan dan tanpa aba-aba.     

Anya berusaha untuk menghentikan tangisannya karena ia takut Aiden akan bertambah sedih. Seharusnya bukan Anya yang sedih, tetapi Aiden. Apa yang pria itu rasakan saat ini jauh lebih menyakitkan darinya.     

"Jangan menangis. Aku tidak apa-apa. Aku sudah cukup puas bisa melihat sesekali," Aiden mengulurkan tangannya dan menghapus air mata di pelupuk mata Anya.     

"Kamu begitu baik. tetapi mengapa Tuhan memperlakukanmu dengan begitu kejam?" Anya tidak bisa menahan air matanya.     

"Mungkin Tuhan cemburu karena aku mendapatkan wanita secantik kamu. Jadi ia sengaja mengambil cahaya dari mataku agar aku tidak bisa melihatmu," kata Aiden.     

Anya memeluk Aiden dan menangis di peluaknnya. Tangisan itu membuat hati Aiden terasa hancur.     

Ia tidak mau membuatnya sesedih ini sehingga ia memutuskan untuk mengatakan yang sejujurnya. "Anya, sebenarnya aku …"     

"Bukankah kamu bilang aku bisa membantumu untuk melihat lagi? Aku … Aku akan membantumu," kata Anya dengan gugup.     

Aiden merasa sangat senang saat mendengarnya namun wajahnya tetap terlihat tenang. Ia tidak bisa mengungkapkan yang sebenarnya setelah mengetahui istrinya itu rela untuk menjadi penyembuhnya.     

Istrinya yang pemalu akhirnya membuka diri, meski sekarang Aiden menggunakan matanya sebagai alasan.     

Aiden mengangkat tubuhnya dari tempat tidur dan menekan tubuh Anya di bawahnya. "Anya, apakah kamu serius?"     

"Bisakah kamu melakukannya dengan lebih lembut? Aku takut sakit …" kata Anya dengan suara pelan. Suaranya terdengar sedikit gemetaran karena gugup.     

Anya memikirkan saat mereka harus pergi ke rumah Keluarga Atmajaya nanti. Hari ini adalah hari di mana Aiden akan pulang ke rumahnya. Sangat disayangkan jika ia tidak bisa melihat.     

Ditambah lagi, ini adalah pertama kalinya ia pergi ke rumah keluarga Aiden. Ia menginginkan perlindungan suaminya itu, agar ia bisa mengikuti langkah Aiden dan menuruti apa pun yang ia katakan. Ia butuh suaminya sebagai penopangnya saat bertemu dengan keluarga barunya. Terutama setelah melihat sikap ayah Aiden yang tidak menyukainya …     

"Aku akan berhati-hati," Aiden menggendong tubuh Anya dan membawanya ke kamar mandi.     

Ia masuk ke dalam ruang shower dan perlahan melepaskan satu per satu pakaian Anya. Setelah melepaskan pakaiannya sendiri, ia menyalakan air hangat. Air hangat itu membasahi tubuh mereka dan membuat mereka merasa lebih tenang.     

Aiden memeluk tubuh Anya dengan erat dan menciumnya dengan lembut di bawah guyuran air. Di tengah kepulan uap air hangat, ruangan itu menjadi lebih panas karena tindakan mereka.     

Terkadang desahan feminin terdengar, disusul dengan geraman rendah.     

Kali ini, Anya tidak pingsan seperti sebelumnya. Tidak ada rasa sakit sedikit pun pada tubuhnya. Tubuhnya telah sepenuhnya menerima Aiden dan menjadi satu dengan suaminya. Ia hanya merasakan kenikmatan yang luar biasa, membuat dirinya merasa menjadi wanita seutuhnya.     

…     

Anya bersandar di dinding kamar mandi dengan tatapan menerawang. Kenikmatan yang ia rasakan seolah membawanya terbang ke langit ke tujuh.     

Aiden mengambil sebuah handuk besar dan membalut tubuh istrinya, kemudian menggendongnya kembali ke kamar tidur mereka.     

Ia membaringkan Anya di tempat tidur dengan lembut. "Apakah aku menyakitimu?" tanyanya.     

Anya menundukkan kepalanya dengan malu dan tidak berani menatapnya. "Tidak. Aku tidak merasakan sakit sedikit pun," bisik Anya.     

Mata Aiden dipenuhi dengan rasa cintanya pada istrinya. Ia mengecup kening Anya dengan lembut. "Terima kasih, Nyonya Atmajaya. Sekarang, Tuan Atmajaya bisa melihat wajah istrinya yang sangat cantik."     

"Sungguh?" tanya Anya dengan terkejut.     

"Hmm … Hanya kamu yang bisa membuatku merasa seperti ini. Hanya kamu satu-satunya orang yang paling penting di hidupku." Kata Aiden sambil mengecup bibir Anya.     

"Kalau begitu seharusnya kamu bersikap baik kepadaku. Jangan kejam padaku, jangan marah padaku dan jangan cemburu buta. Kendalikan emosimu!" Anya langsung mengomel, mengutarakan seluruh kekesalannya sekaligus.     

Aiden hanya tertawa mendengarnya. "Baiklah."     

"Apakah kamu sesenang itu?" Anya tidak bisa mempercayai telinganya. Biasanya Aiden sangat pendiam. Ia jarang sekali berbicara, apa lagi tertawa di pagi hari seperti ini.     

"Jika istriku yang memintanya, tentu saja sebagai suami aku akan menurutinya," kata Aiden.     

"Aiden, setelah pergi ke rumah keluargamu, ayo kita berkencan. Aku akan menunjukkan sebuah tempat bagus padamu," kata Anya dengan semangat.     

"Aku akan menyerahkan semua jadwalku hari ini pada Nyonya Atmajaya," kata Aiden sambil mengecup pipi Anya.     

Anya langsung bangkit berdiri dari tempat tidur, ingin segera berganti pakaian. Tetapi sepertinya ia terlalu percaya diri pada kekuatannya. Begitu kakinya menapak ke tanah, ia serasa kehilangan seluruh tenaganya dan merosot ke lantai.     

Aiden langsung menggendongnya dan menatapnya dengan cemas. "Ada apa? Mana yang sakit? Apakah kamu merasa tidak nyaman?"     

"Ini semua salahmu. Kakiku terasa lemas," gumam Anya dengan kesal.     

Aiden langsung tertawa dengan senang saat mendengarnya, membuat Anya semakin kesal.     

"Kamu masih bisa tertawa," katanya sambil cemberut.     

Aiden menggendong tubuh Anya kembali ke tempat tidur dan memijat kakinya. "Kamu terlalu lemah. Kamu harus meningkatkan kekuatanmu."     

"Bagaimana aku bisa pergi ke rumah keluargamu seperti ini?" kata Anya dengan cemas.     

"Aku akan menggendongmu," goda Aiden.     

"Tidak! Mana bisa aku membiarkan ayah dan kakak iparmu melihatnya!" Anya memukul bahu Aiden dengan sedikit keras. Namun, pukulan itu hanya terasa menggelitik bagi Aiden. Ia malah tertawa.     

Ia membantu Anya memilihkan baju dan mempersiapkan dirinya.     

Tiba-tiba saja, mereka mendengar suara ketukan pintu. "Tuan, sarapannya sudah siap."     

"Kami akan segera turun, Bu Hana," jawab Anya. Setelah mendengar langkah kaki Hana yang semakin menjauh, Anya menghadap ke arah Aiden. Ia merentangkan kedua tangannya dan berkata pada Aiden dengan manja. "Gendong aku!"     

Aiden tertawa melihat sikap manja istrinya. Tanpa protes, ia langsung menggendong Anya dan berjalan turun untuk sarapan.     

Nico baru saja hendak duduk setelah menarik kursi di ruang makan. Saat melihat Aiden sedang menggendong Anya, ia mengerutkan keningnya. "Bibi, kemarin rasanya kepalamu yang terluka, bukan kakimu."     

"Aku pusing, aku tidak bisa berjalan sendiri!" Anya melotot ke arahnya dengan mala.     

"Benarkah?" pandangan Nico tertuju pada leher Anya, melihat ada jejak-jejak hasil bercinta Aiden dan Anya. "Apakah kamu yakin bisa pergi ke rumah Keluarga Atmajaya hari ini?"     

Pipi Anya langsung merona. Ia menguburkan wajahnya di dada Aiden dan protes. "Aiden, Nico menertawakanku!"     

"Bu Hana, suruh Nico pergi!" Aiden langsung mengatakan satu kalimat itu dengan suara yang dingin.     

Wajah Nico menjadi memelas dan ia segera memohon, "Bisakah aku sarapan dulu?"     

"Tidak!" kata Aiden dan Anya pada saat yang bersamaan.     

Nico menatap sarapan yang sudah tersaji di meja sambil menahan air liurnya. "Aku ingin makan masakan Bu Hana! Jika kalian tidak mau memberikannya kepadaku, aku akan memberitahu kakek bahwa kalian berdua bersekongkol untuk menindasku. Jika kakek tahu, ia akan memarahi Paman dan Bibi!" katanya seperti anak kecil yang ingin mengadu pada orang tuanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.