Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Marah



Marah

0"Kalian semua orang jahat," Anya melotot ke arah Aiden dan Nico sambil berteriak dengan marah. "Aiden, aku tidak akan melupakan hari ini."     

Kali ini Anya benar-benar merasa marah. Sejak menikah dengan Aiden, ia selalu merasa takut dan berusaha untuk bersikap baik di hadapan Aiden. Ia menjaga perilakunya dan bertindak dengan hati-hati. Ia selalu menyesuaikan perilakunya dengan keinginan dan temperamen Aiden.     

Setiap hari, ia merasa seperti berjalan di atas es yang hendak meleleh. Saat Aiden pergi ke luar negeri, mungkin ia memang merindukannya, tetapi setidaknya Anya tidak harus bersikap berhati-hati.     

Saat Aiden ada di rumah, Anya harus menjaga perilakunya karena ia takut membuat Aiden kesal atau marah.     

Setelah Raka kembali ke Indonesia, Anya seperti menari di atas ujung pisau dan bersiap-siap untuk jatuh dan terluka. Hidupnya semakin tidak tenang karena Raka terus berusaha untuk mencarinya.     

Aiden tidak menyukai Raka dan sangat memedulikan masa lalunya. Anya hanya bisa menghindari Raka. Namun, sepertinya Raka tidak menyadari niatnya. Raka malah terus membuat masalah dan membuat Aiden marah padanya. Anya hanya bisa berusaha untuk menjauh.     

Meski demikian, Aiden masih tidak puas. Ia bahkan membuat sebuah kurungan dan meletakkannya di tengah taman bunga sehingga Anya bisa melihatnya setiap hari dan merasa ketakutan. Anya tidak bisa melakukan apa pun yang membuat Aiden kesal karena ia benar-benar takut. Hari-harinya seolah dipenuhi dengan ancaman.     

Ia tidak lagi menyukai taman bunga iris yang indah itu. Karena setiap kali melihatnya, ia akan selalu melihat sebuah kurungan yang mengganggu ketenangan di hatinya.     

Aiden mengatakan bahwa ia menghormatinya. Anya diperbolehkan untuk melakukan apa pun yang ia mau. Tetapi apakah benar Aiden menghormatinya? Apakah Aiden benar-benar mempercayainya?     

"Katakan sekali lagi!" Aiden juga marah saat mendegar kata-kata Anya.     

Melihat situasinya semakin buruk, Nico berusaha untuk menengahi.     

"Bibi, semuanya salahku karena aku tidak memberitahumu bahwa Raka ada di rumahku. Aku di sini untuk menebus kesalahanku. Jangan salahkan Paman," kata Nico.     

"Kamu tidak tahu bagaimana aku hidup akhir-akhir ini. Aku merasa seperti pendosa. Aku merasa sesak, sama sekali tidak bisa bernapas. Aku berusaha untuk berbaikan denganmu, tetapi kamu sama sekali tidak memedulikanku. Lalu apa yang kamu inginkan?"     

Anya terengah-engah saat mengatakannya. Ia benar-benar lelah, marah dan putus asa.     

"Bibi, Paman tidak pernah jatuh cinta. Ia tidak tahu caranya memperlakukan seorang wanita, tetapi aku yakin ia sangat peduli padamu. Contohnya saja hari ini. Aku bisa membantumu menjual bunga di pertemuan perusahaan karena Paman. Tanpa seijin Paman, mana mungkin aku berani melakukannya?" kata Nico. Ia berusaha untuk menunjukkan sisi baik Aiden.     

"Sudah seharusnya ia membantuku. Ia yang bertanggung jawab karena memetik semua bungaku seperti memangkas rumput liar," kata Anya dengan marah.     

"Pamanku tidak hanya membantumu untuk memetik bunga, tetapi juga membantumu menjualnya. Di mana kamu akan mendapatkan suami sebaik ini? Saat ia tahu kamu sedang mengadakan acara di Rose Scent, Paman langsung menyuruh tim marketing mall untuk membantumu dan mempromosikan acaramu. Paman selalu memperhatikanmu dan mendukungmu. Apa namanya kalau bukan cinta?"     

Nico terus berusaha untuk membujuk Anya, tetapi Aiden diam saja. Ia bungkam dan tidak mengatakan apa pun.     

"Itu katamu. Hanya Tuhan yang tahu apa yang ia pikirkan. Aku benar-benar menantikan hari ini. Hari ini adalah peluncuran parfumku. Aku pikir hari ini adalah hari yang tepat untuk berbaikan dengannya. Aku bahkan menyiapkan hadiah untuknya. Tetapi aku baru saja masuk ke dalam rumah dan ia langsung menjatuhkan bom di atas kepalaku dengan mengatakan bahwa ia membunuh Raka."     

"Semua orang mengatakan bahwa Aiden kejam, psikopat, monster, tetapi aku tidak percaya. Sekarang, aku percaya. Orang normal mana yang meletakkan kurungan di tengah taman bunga? Apakah orang normal menggunakan nyawa orang lain sebagai bahan bercandaan? Sekarang aku sudah lega Raka baik-baik saja. Aku akan pergi. Aku sudah muak dengan tingkah kalian!"     

Anya berteriak dengan histeris, menumpahkan semua perasaannya yang terpendam akhir-akhir ini. Ia berpikir bahwa Paman dan keponakan ini bersekongkol dan saling bekerja sama untuk membohonginya. Semakin ia memikirkannya, ia merasa semakin marah dan kesal.     

Anya mengabaikan akal sehatnya. Tidak peduli siapa yang ia hadapi saat ini. Ia sudah tidak bisa menjaga tutur kata dan perilakunya karena ia benar-benar marah. Ia meneriakkan semua kekesalan dan penderitaannya selama beberapa hari terakhir.     

Aiden diam saja saat mendengarnya, menerima semua unek-unek Anya dengan sabar. Setelah Anya mengutarakan semuanya sambil terengah-engah, Aiden menghampirinya dan menggendongnya dengan lembut.     

Anya berontak di dalam pelukannya. Air mata menggenang di pelupuk matanya dan ia berteriak dengan penuh kemarahan. "Apa yang kamu lakukan?"     

"Membawamu pulang ke rumah," kata Aiden dengan suara dalamnya.     

Anya menangis sejadi-jadinya. Ia benar-benar sudah muak dengan semuanya. Ia terus meronta dan berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan Aiden. "Pulang ke mana? Aku tidak punya rumah."     

"Kamu boleh saja marah, tetapi harus tahu kapan berhenti. Tidak ada orang yang suka bertengkar tanpa alasan!" kata Aiden sambil membawa ke tempat parkir mobil.     

Anya memukul dada Aiden dengan marah. "Kamu bisa marah seenaknya, tetapi aku tidak bisa? Aku benar-benar membencimu Aiden. Kamu bilang kamu percaya kepadaku, tetapi aku mengujiku dengan menggunakan nyawa Raka. Ketika kamu bilang kamu tidak ada hubungan dengan Keara, aku percaya kepadamu. Tetapi saat aku bilang bahwa hubunganku dengan Raka sudah berakhir, mengapa kamu tidak bisa mempercayaiku?"     

"Jika aku tidak mempercayaimu, apakah kamu pikir kamu masih bisa berdiri di hadapanku seperti ini?" Aiden mengatupkan bibirnya rapat-rapat.     

"Bibi, Paman memang terlihat keras, tetapi sebenarnya hatinya lembut. Ia benar-benar peduli padamu," kata Nico.     

"Jangan ikuti aku. Kamu pulanglah dengan sepeda bibimu," kata Aiden.     

"Aku? Pulang dengan sepeda?" Nico menatap sepeda Anya dengan jijik.     

"Aku harus berbicara dengan bibimu. Jangan ikuti aku!" dengan bantuan Abdi, Aiden membawa Anya kembali ke mobil.     

Namun, begitu Aiden menurunkan Anya dan gendongannya, Anya berbalik dan melarikan diri dari Aiden.     

"Aku tidak mau pulang denganmu," Anya berlari menuju ke sepedanya.     

Nico baru saja mau menaiki sepeda itu. Sebelum ia tahu bagaimana cara menggunakan sepeda listrik itu, Anya sudah mengusirnya. "Pergi kamu. Ini sepedaku!"     

"Bibi, aku tahu ini sepedamu. Aku akan membawanya pulang untukmu," kata Nico.     

"Kamu juga berengsek. Apakah kamu senang membohongiku padahal aku sungguh-sungguh mempercayaimu?" teriak Anya dengan marah.     

Nico berdeham pelan sambil menggaruk-garuk kepalanya, "Tadi … Saat aku menerima teleponmu, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jadi aku memastikan dulu apa yang terjadi, kemudian baru mencarimu."     

"Raka ada di rumahmu. Untuk apa memastikannya? Tidak perlu menjelaskannya, aku tahu apa yang kalian lakukan. Penjelasanmu hanyalah alasan belaka!" teriak Anya.     

Malam ini, Paman dan keponakan ini telah membuat Anya ketakutan setengah mati dengan menggunakan kematian Raka sebagai alasannya. Mereka sudah bersikap keterlaluan.     

Tetapi hasil yang didapatkan sangat memuaskan. Anya tidak hanya khawatir terhadap kematian Raka, tetapi ia juga takut jika Aiden dihukum karena telah membunuh seseorang. Di hati Anya, ia benar-benar memedulikan Aiden.     

Nico berusaha untuk menahan bibinya agar tidak pergi, memberi waktu bagi Aiden untuk berpikir apa yang harus ia lakukan untuk membujuk Anya.     

Aiden tidak tahu bagaimana cara menghadapi seorang wanita. Ia tidak tahu bagaimana cara menyenangkan hati wanita dan menenangkan mereka saat marah.     

Anya benar-benar takut malam ini. Namun, selama Aiden mengatakan beberapa kata-kata yang lembut dan mengajaknya pulang, kemarahan Anya bisa diredam dengan mudah.     

Sesekali, Nico melirik ke arah Aiden. Ia merasa panik karena tidak bisa menahan Anya lebih lama, namun Pamannya masih diam di tempatnya. Apa yang harus ia lakukan?     

"Paman, kemarilah. Jika kamu tidak kemari, bibi akan marah padamu!" teriak Nico.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.