Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Kamar Tamu



Kamar Tamu

0Tubuh Aiden menegang saat Anya memeluknya. Tangannya mendarat di bahu Anya, hendak mendorong tubuh wanita itu untuk menjauh darinya.     

"Aiden, jangan mengusirku. Jangan menjauh dariku," Anya menguburkan kepalanya di dada Aiden dan tangannya memeluk Aiden dengan lebih erat. Aiden bisa merasakan bajunya mulai basah karena air mata Anya.     

"Aku tidak mengusirmu," kata Aiden dengan tenang.     

"Lalu?" Anya memandang wajah Aiden dengan mata penuh dengan air mata. "Nico bilang kamu menyuruhku untuk membereskan semua barangku dan meninggalkan rumah ini secepat mungkin. Kamu mengusirku."     

Aiden mengerutkan keningnya. Istrinya ini memang sangat mudah untuk dibohongi.     

"Kamu adalah istriku. Aku yang menentukan apakah kamu bisa tinggal atau pergi dari rumah ini." Mata Aiden tertuju pada kaki Anya. Wanita itu terburu-buru lari menyambutnya hingga kehilangan salah satu sandal merah mudahnya.     

Aiden langsung membungkukkan badannya dan sedikit menggendong Anya agar kakinya tidak menyentuh lantai.     

Anya merasa sangat senang saat Aiden membalas pelukannya. Apakah suaminya itu sudah tidak marah? Tangannya pindah ke leher Aiden dan memeluknya erat-erat.     

Hana segera mengikuti Anya dari belakang sambil membawa sandal merah muda yang ditinggalkan oleh Anya. Kemudian mereka masuk ke dalam rumah bersama-sama.     

"Tuan, Anya menunggumu untuk makan malam. Apakah Anda lapar? Apakah Anda ingin mencoba masakan Anya?" tanya Hana dengan penuh semangat. Ia juga ingin agar Aiden dan Anya segera berbaikan.     

"Kamu belum makan?" tanya Aiden pada wanita yang berada di pelukannya.     

Pelukan Anya semakin erat, seolah takut Aiden akan kabur begitu pelukan mereka terlepas. "Aku ingin makan bersamamu. Aku menunggumu pulang."     

"Aku sudah makan malam. Kamu bisa makan sendiri." Begitu tiba di dalam rumah, Aiden langsung menurunkan Anya. Hana bergegas memberikan sandal Anya yang terlepaas.     

Saat Anya masih memakai sandalnya, Aiden sudah berjalan menuju tangga. Ia bergegas mengejar Aiden dan memegang lengannya.     

Aiden menggoyangkan tangannya, melepaskan diri dari pegangan Anya. "Anya, aku butuh waktu untuk sendiri."     

"Aiden …" bisiknya lirih sambil tetap memegang tangan Aiden.     

Aiden ingin melepaskan lengannya dari pegangan Aiden, tetapi saat ini mereka sedang berada di tangga. Ia takut tidak bisa mengendalikan kekuatannya dan membuat Anya terjatuh.     

Anya sudah terluka cukup parah hari ini. Kalau sampai ia terjatuh dari tangga, seberapa besar rasa sakit yang harus ditanggung oleh tubuh mungilnya. Anya tidak akan bisa menahan semuanya.     

Aiden merasa semakin kesal. Ia benar-benar marah pada Anya, tetapi ia masih mencintai wanita itu sehingga tidak bisa mengabaikannya.     

"Aiden, hari ini aku masak untukmu. Kamu bilang kamu ingin mencicipi masakan buatanku. Apakah kamu mau mencobanya?" Anya masih berusaha memohon.     

Hana dan para pelayan lainnya sudah meninggalkan mereka agar Aiden dan Anya bisa menyelesaikan masalahnya.     

"Aiden, aku akan belajar menjadi istri yang baik. Aku tidak akan pernah menemui Raka lagi. Tolong maafkan aku kali ini. Beri aku kesempatan kedua," kata Anya sambil menggenggam tangan Aiden erat-erat.     

Aiden sangat mencintai Anya sehingga melihat Anya seperti ini ia juga merasa tidak tega.     

Namun, pada saat hatinya sudah mulai luluh, sebuah suara dari luar terdengar. Suara itu rasanya membuat jantung Anya ingin meledak karena begitu takut.     

"Anya, Anya! Apakah kamu ada di sana?" suara Raka terdengar dari pintu.     

Anya merasa kepalanya pening. Mengapa Raka datang ke rumahnya? Apa lagi yang Raka inginkan? Apakah Raka benar-benar ini Anya mati?     

Anya langsung menatap Aiden dengan panik. "Aku tidak memintanya untuk datang. Aku tidak menyuruhnya untuk ke rumah kita. Sungguh! Percayalah padaku!"     

Kali ini Aiden benar-benar marah. Suara Raka seolah membuatnya menjadi gelap mata. Ia menarik tangannya dengan kasar, membuat tubuh Anya terdorong dan menabrak railing tangga. Anya hanya bisa meringis kesakitan.     

Aiden berhenti melangkah dan ingin menghampiri Anya, ingin melihat lukanya. Tetapi mendengar suara Raka di luar pintu, ia menahan dirinya dan kembali berjalan ke kamarnya tanpa melihat ke belakang.     

Setelah kembali ke kamar, ia langsung menelpon Nico, "Kalau kamu tidak mau mengambil mayat temanmu, cepat bawa temanmu itu pergi dari sini."     

"Aku akan segera ke sana," Nico tidak berani bercanda. Ancaman Pamannya itu benar-benar nyata. Jika ia terlambat, Aiden benar-benar akan membunuh Raka.     

Tubuh Anya merosot di tengah tangga. Ia menyandarkan punggungnya di railing tangga dan memegang kepalanya sambil menahan kesakitan. Kepalanya terasa pusing saat mendengar teriakan Raka dari luar.     

Apa sebenarnya yang diinginkan Raka? Mengapa ia tidak bisa membiarkannya hidup dengan tenang?     

Hana bergegas muncul dan melihat Aiden sudah tidak ada di tempat tersebut. Ia langsung menghampiri Anya yang duduk sendirian di tengah tangga dan menghiburnya. "Jangan khawatir. Aku akan menyuruh Raka pergi."     

"Anya, aku tahu kamu di dalam. Keluarlah!" Teriak Raka.     

Hana seperti ibu singa yang ingin melindungi anak-anaknya. Ia berjalan keluar dan melotot memandang Raka. "Tuan Raka, Anda mengganggu istirahat Tuan dan Nyonya saya. Anda bisa kembali lain kali jika memang ada perlu. Tolong jangan membuat keributan."     

"Bu Hana, ada hal penting yang harus aku bicarakan pada Anya. Tolong minta Anya untuk keluar dan menemuiku," pinta Raka.     

"Raka, apa yang kamu lakukan di sini?" Nico bergegas menarik Raka agar menjauhi rumah Aiden. "Sudahlah! Lupakah Anya. Hubungan kalian sudah berakhir. Ayo ikut denganku!"     

"Tetapi ada yang harus aku katakan …"     

"Tidak. Kamu bisa menyampaikannya padaku!" Nico menarik tubuh Raka dan membawanya ke dalam mobilnya, lalu pergi dari rumah Aiden.     

Akhirnya setelah kepergian Nico dan Raka, rumah kembali tenang. Anya mengangkat kepalanya dan memandang ke arah meja makan dengan tatapan kosong. Aiden bahkan tidak melihat ke arah meja makan itu sama sekali.     

"Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Hana sambil membantu Anya berdiri.     

"Aku tidak apa-apa. Aiden tidak mau makan. Biarkan aku makan sendirian," kata Anya.     

"Duduklah. Aku akan menghangatkan makanannya untukmu," kata Hana.     

Anya duduk di meja makan itu sendirian, tanpa ekspresi. Matanya tertuju ke arah jam di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas lebih.     

Aiden telah menghukumnya dengan membuangnya ke tengah jalan. Tanpa mengeluh, ia mengakui kesalahannya dan menerima hukuman Aiden.     

Ia berusaha untuk masak agar meredakan kemarahan Aiden. Namun apa yang terjadi?     

Aiden tahu bahwa Anya dijebak dan ia tidak punya hubungan apa pun dengan Raka. Tetapi Aiden sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka.     

Anya sudah berusaha untuk meminta maaf dan bahkan memohon. Ia memasak untuk menyenangkan hati Aiden.     

Tetapi kesabaran Anya juga ada batasnya. Ia bukannya tidak tahu diri dan tidak berusaha. Ia sudah berusaha keras untuk memperbaiki hubungan mereka.     

Lalu apa lagi yang bisa ia lakukan untuk mengembalikan semuanya seperti semula? Apakah ia harus terus memohon? Apakah ia harus sujud di hadapan Aiden hingga ia tidak memiliki harga dirinya lagi? Lalu apa yang tersisa dari dirinya?     

Hati Anya terasa sakit …     

Anya mengangkat sendoknya. Makanan yang hangat sudah tersaji di hadapannya, tetapi nafsu makannya tidak ada sama sekali. Ia menyendok makanan itu, sementara air matanya jatuh menetes ke atas piring.     

Hana merasa cemas saat melihatnya. Diam-diam ia naik ke lantai dua untuk mencari Aiden.     

Aiden baru saja keluar dari kamar mandi. Handuk mandi masih melingkari lehernya dan rambutnya masih basah.     

"Tuan, Anya duduk sendirian di atas meja sambil menangis. Meski kamu tidak lapar, duduklah sebentar bersamanya. Kamu bisa sedikit mencicipi masakan buatannya," kata Hana.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.