Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Otak Kotor



Otak Kotor

0"Sampai kapan kamu mau seperti ini?" kata Aiden dengan tenang. "Kamu sudah pernah jatuh ke dalam lubang, tetapi kamu jatuh ke lubang yang sama. Bukankah itu sama saja dengan bodoh?"     

Anya hanya bisa bungkam saat mendengar Aiden memarahinya.     

"Aku dijebak. Seseorang sengaja berusaha menghancurkan hubungan kita. Aku paham kalau kamu marah padaku," katanya.     

"Apakah kamu tahu siapa yang menjebakmu?" gumam Aiden.     

"Aku dengar Raisa menyukaimu," kata Anya dengan berhati-hati.     

"Jadi?" Aiden mengangkat alisnya seolah tidak peduli.     

"Kamu menyuruh Nico untuk menikah dengan Raisa, tetapi orang yang disukai oleh Raisa adalah kamu. Ia merencanakan semua ini untuk memisahkan kita berdua agar ia bisa mendapatkanmu. Aku juga korban," kata Anya dengan sedih. Semua ini terjadi karena Raisa menyukai Aiden. Kalau begitu bukankah Aiden juga bersalah?     

Aiden menoleh dan menatap ke arah Anya. "Jadi, apakah menurutmu ini adalah salahku?     

"Aku juga salah. Aku tahu Raisa tidak menyukaiku tetapi aku tetap mengikutinya. Aku tidak bisa berhati-hati. Kita semua punya kesalahan masing-masing. Tolong jangan marah padaku," Anya benar-benar berharap semua masalah ini segera selesai.     

Bibir Aiden menipis dan ia memandang Anya dengan senyum pahit. "Tidak semudah itu."     

Anya tertegun. Ia menggigit bibirnya sambil menahan tangis. "Apakah kamu mau menceraikan aku?" tanyanya dengan suara lemah.     

Aiden benar-benar ingin melihat apa sebenarnya yang ada di otak Anya. Mengapa sekarang istrinya itu membahas mengenai perceraian?     

Kemarin, Anya ingin melepaskan posisinya sebagai istri Aiden kepada Keara. Apakah sekarang ia ingin agar Aiden bersama dengan Raisa?     

"Menurutmu?" suara Aiden semakin dingin saat mengatakannya.     

"Aku tidak mengkhianatimu. Aku tidak berselingkuh. Kamu tidak boleh menceraikan aku," kata Anya dengan wajah bersimbah air mata. Ia menatap Aiden dengan tatapan sedih, berharap suaminya itu luluh dan mau memaafkannya.     

"Kamu kira kamu tidak menyakitiku? Menemui Raka di belakangku. Bahkan tidur di tempat tidur yang sama dengannya? Apakah itu bukan pengkhianatan?"     

"Aku dijebak," kata Anya dengan suara pelan.     

"Apakah itu artinya kamu tidak bersalah kalau kamu dijebak? Jangan menempatkan dirimu sebagai korban. Aku lah orang yang paling tersakiti hari ini," kata Aiden dengan kesa. "Aku baru saja kembali dari luar negeri dan di kantor banyak pekerjaan yang menumpuk. Namun, aku meninggalkan pekerjaan itu untukmu, untuk menemanimu ke rumah sakit. Apakah ini caramu membalasku?"     

Air mata mengalir satu demi satu di wajah Anya, tetapi tidak ada satu patah kata pun yang bisa ia lontarkan untuk menjawab Aiden.     

Abdi yang berada di kursi depan juga gelisah. "Tuan, kita sudah sampai," katanya dengan suara pelan.     

"Keluarlah dari mobil!" kata Aiden dengan dingin. Ia sama sekali tidak memandang ke arah Anya.     

Abdi segera keluar dari mobil dan membuka pintu belakang, membantu Anya untuk keluar dari mobil. Anya menggigit bibirnya, menahan rasa sakit di kakinya, tanpa mengucapkan apa pun.     

"Ada apa? Apa yang terjadi padamu, Anya?" seru Hana dengan panik saat melihat kondisi Anya. Ia segera menghampiri Anya untuk membantunya berjalan.     

"Aku hanya terjatuh. Aku tidak apa-apa," setelah mengatakannya, Anya berbalik, melihat ke arah pintu mobil yang ditutup. Setelah itu, mobil Aiden kembali menderu, meninggalkan rumah mereka.     

Hana bisa merasakan suasana yang tegang di antara Aiden dan Anya. Ditambah lagi, Aiden tidak berbuat apa-apa saat Anya terluka seperti ini. Pasti ada sesuatu yang terjadi di antara mereka.     

Hana membantu Anya menuju ke kamarnya, kemudian ia menelepon Aiden. "Tuan, Anya terluka. Apakah tidak perlu dibawa ke rumah sakit?" kata Hana.     

"Suruh Tara datang ke rumah dan memeriksanya," kata Aiden dengan dingin, kemudian ia langsung menutup teleponnya.     

Hana langsung menelepon Tara dan memintanya untuk datang mengobati Anya.     

Tara merasa tidak senang mendapatkan panggilan dari rumah Keluarga Atmajaya. Ia berkata dengan enggan. "Bu Hana, aku adalah dokter gigi, bukan dokter umum. Jika lukanya serius, lebih baik kirimkan saja ke rumah sakit agar bisa segera dioperasi."     

"Dokter Tara, Anya sudah sangat baik kepadamu. Ia selalu membawakan makanan dan bahkan mengirimkan ubi panggang untukmu tadi pagi. Tolong lihat lukanya terlebih dahulu. Jika lukanya memang sangat serius, aku akan langsung membawanya ke rumah sakit. Kalau tidak, kamu bisa mengobatinya," kata Hana.     

Tara hanya bisa menghela napas. Namun, sebelum menyetujuinya, ia harus mengetahui satu hal. "Apakah Aiden ada di rumah?     

"Tidak. Tuan baru saja kembali dari luar negeri kemarin dan banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan di kantor. Ia telah kembali ke kantor," kata Hana.     

Mendengar bahwa Aiden tidak ada di rumah, Tara menghela napas lega. "Baiklah kalau begitu. Aku akan segera ke sana."     

Anya kembali ke kamarnya setelah mandi air hangat. Ia mengganti pakaiannya dan makan sup ubi manis yang sudah dibuatkan oleh Hana untuk menenangkan dirinya.     

Ia merasa seluruh tubuhnya lelah. Untung saja ia tidak jatuh sakit setelah berjalan sangat jauh di bawah terik matahari.     

Ia pikir Aiden sama sekali tidak memedulikannya dan meninggalkan begitu saja di tengah jalan. Siapa sangka suaminya itu ternyata masih mengikutinya dari belakang dan menolongnya saat ia sudah tidak kuat berjalan.     

Pada saat itu, tiba-tiba saja suara Tara terdengar dari koridor. "Anya! Apakah Aiden memukulimu hingga babak belur?"     

Hana hanya melotot ke arah Tara sambil mengetuk pintu. "Anya, ada Dokter Tara ingin memeriksa lukamu."     

"Masuklah," jawab Anya. Ia tidak bisa berdiri untuk membukakan pintu karena lututunya sangat sakit. Ia duduk di atas sofa sambil bersandar, terlalu lelah untuk bergerak sedikit saja.     

Tara mendorong pintu kamar tersebut sambil membawa kotak obat dan melihat Anya sedang duduk di sofa dekat jendela. Semangkuk sup ubi manis masih tersisa di atas meja, menarik perhatiannya.     

"Bu Hana, apakah ada sup ubi manis lagi?��� mata Tara berbinar saat melihat makanan lezat itu.     

Anya hanya tertawa lemah. "Tara, kamu datang untuk makan atau untuk mengunjungiku?"     

"Jika aku tidak makan, aku tidak akan punya tenaga untuk memeriksa dan mengobatimu," kata Tara dengan tidak tahu malu.     

Hana juga ikut tertawa saat mendengar Tara yang blak-blakan. Ia mengambil mangkuk sup Anya yang tidak habis dan berkata, "Dokter Tara, tolong obati Anya dulu. Aku akan mengambilkan semangkuk sup untukmu di bawah." Setelah itu, Hana meninggalkan Tara dan Anya di dalam kamar.     

"Mana yang sakit?" tanya Tara pada Anya dengan penasara.     

Anya menunjuk ke arah lututnya. Ia terlalu lelah untuk mengatakan apa pun. Suasana hatinya sedang sangat buruk.     

"Aiden baru saja kembali kemarin, tetapi hari ini kamu sudah terluka. Ia benar-benar pria yang kejam,"kata Tara dengan serius sambil memandang wajah Anya.     

Anya hanya menjawab dengan tenang. "Aku terjatuh sendiri. Ini tidak ada hubungannya dengan Aiden."     

"Terjatuh? Apakah kamu bercanda? Kamu sudah umur berapa. Tidak mungkin kamu terjatuh begitu saja. Lukamu pasti ada hubungannya dengan Aiden, kan?" Tara menatap luka Anya dengan serius, kemudian senyum nakal muncul di wajahnya. "Memangnya, posisi apa yang kalian gunakan sehingga terjadi seperti ini?"     

Anya melotot memandang otak kotor Tara. "Itu tidak seperti yang kamu pikirkan! Mengapa hanya ada hal-hal kotor saja di otakmu," katanya dengan wajah memerah.     

Tara hanya mengedipkan matanya. "Aku tahu Aiden terlalu kuat. Lebih baik kalian berhati-hati dalam melakukannya. Lihat saja lututmu sampai terluka seperti ini."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.