Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Skor



Skor

0Anya menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Aiden. Selama ini, ia merasa Aiden sama sekali tidak pemilih soal makanan sehingga ia tidak tahu apa yang Aiden sukai atau tidak sukai.     

Ketika melihat istrinya yang kebingungan, Aiden menunduk dan berbisik di telinganya, "Aku maunya kamu."     

Wajah Anya langsung memerah hingga telinganya ikut panas. Aiden terus menggodanya!     

"Tidak, ayo cepat berangkat. Pak Abdi sudah menunggu," Anya menggandeng tangan Aiden dan mengajaknya ke arah pintu depan.     

Setelah masuk ke dalam mobil pun, wajah Anya masih merah. Aiden terkekeh melihat istrinya yang manis ini.     

"Tanganku sakit. Pijat aku," Aiden memegang tangan Anya dengan lembut.     

Anya hanya melihat ke arah luar jendela dan tidak mau berbicara padanya. Aiden sengaja menciumnya di depan Hana dan semua pelayan lainnya. Bagaimana ia harus menghadapi orang-orang itu nanti?     

Aiden benar-benar tidak bisa melihat situasi dan kondisi. Ia langsung melakukan apa pun yang ia mau tanpa memedulikan perasaannya sama sekali.     

"Aku dengar kamu menerima buket bergamot. Siapa yang mengirimnya?" tanya Aiden secara tiba-tiba.     

Deg.     

Jantung Anya seolah berhenti. Mengapa Aiden berubah begitu cepat? Beberapa saat yang lalu, ia masih menciumnya dengan sangat manis dan sekarang ia tiba-tiba saja menanyakan hal yang sangat sensitif.     

Apa yang harus Anya katakan?     

"Bukankah kamu yang mengirimnya?" Anya berpura-pura terkejut.     

Mata Aiden telrihat menggelap dan berkata dengan tenang, "Bukan aku."     

"Aku kira kamu yang mengirimnya untukku," Anya langsung mengeluarkan ponselnya. "Aku akan meminta Mila untuk segera membuangnya. Bagaimana kalau itu beracun."     

"Kamu benar-benar tidak tahu siapa yang mengirimnya?" tanya Aiden dengan tatapan yang tidak terbaca.     

"Tidak ada catatan atau pun nama pengirimnya. Aku kira itu kamu," Anya hendak menelepon Mila.     

"Itu dari Raka. Aku yakin tidak beracun. Biarkan saja!" kata Aiden dengan santai. Namun, wajahnya sama sekali tidak tersenyum.     

Anya bisa melihat bahwa Aiden mulai marah!     

"Aiden, aku tidak tahu bunga itu darinya. Jika aku tahu, aku tidak akan menerimanya," Anya memegang tangan Aiden dengan lembut, berusaha untuk menenangkannya.     

"Anya, kamu adalah istriku. Itu sebabnya aku memperlakukanmu dengan baik. Apakah kamu mengerti maksudku?" kata Aiden dengan santai.     

"Aku tahu. Aku tidak ada hubungan apa pun dengan Raka. Percayalah padaku," kata Anya dengan sama tenangnya meski dalam hati ia ingin menangis.     

Ia benar-benar tidak tahu bahwa bunga itu dari Raka. Tidak ada nama pengirim dan tidak ada kartu ucapannya. Ia pun terlambat menyadari bahwa bergamot adalah bunga yang dijanjikan Raka untuknya.     

Kalau saja ia sadar lebih cepat, ia tidak akan menerimanya dan menempatkan dirinya dalam posisi yang menyulitkan seperti ini. Aiden pasti akan membunuhnya!     

Aiden adalah pria yang cerdas. Tentu saja ia langsung tahu siapa yang mengirimkan bunga itu.     

'Raka memang benar-benar ingin membunuhku,' pikir Anya.     

Hubungannya dengan Aiden sudah semakin membaik. Mereka sudah semakin dekat dan bahkan mengakui bahwa mereka menyukai satu sama lain. Mengapa Raka masih harus mengacau di antara mereka.     

"Aku bersumpah padamu bahwa aku tidak berniat kembali pada Raka. Aku sudah tidak ada hubungan dengannya!" kata Anya.     

"Tetapi sayangnya akar dari cinta kalian sepertinya belum pupus. Apakah kamu ingin kembali padanya?" dengus Aiden dengan dingin.     

"Tidak. Aku ingin bersamamu dan tetap menjadi istrimu," kata Anya sambil memijat tangan Aiden. "Apakah tangan ini yang sakit? Aku akan memijatnya untukmu."     

Aiden bisa melihat Anya berusaha keras untuk menyenangkannya dan membuktikan bahwa ia memang menyukai Aiden dan bukan Raka. Hal itu membuat Aiden merasa sedikit lebih tenang.     

Walaupun ia tahu bahwa Anya dan Raka sudah tidak memiliki hubungan apa pun, tetap saja Aiden tidak suka saat mengetahui Anya menerima sesuatu dari Raka.     

"Anya ..." Aiden memanggil nama Anya dengan suara pelan. Suaranya terdengar sedikit serak.     

"Aku mendengarkanmu," Anya terus memijat tangan Aiden, tidak peduli apakah tangan itu sakit atau tidak. Ia hanya ingin menenangkan Aiden.     

"Kamu adalah milikku. Kamu tidak boleh mengkhianatiku hingga kamu mati," suara Aiden terdengar tajam di telinganya.     

"Aiden, ayah dan ibuku berpisah karena ayahku mengkhianatinya. Aku tidak akan pernah mengkhianatimu. Sama halnya, jika kamu mengkhianatiku, aku tidak akan pernah memaafkanmu," kata Anya.     

Di pernikahan ini, memang ia berada dalam posisi yang lebih lemah. Aiden memiliki segalanya sementara ia tidak punya apa-apa. Ia tidak berhak untuk mengatakan apa pun. Tetapi ia juga punya prinsipnya sendiri.     

"Tidak ada wanita lain selain kamu," Aiden menarik tubuh Anya ke pangkuannya. "Aku hanya butuh kamu."     

Tangan Anya memegang bahu Aiden dan menatapnya lurus-lurus. "Kamu harus menepati janjimu. Tidak boleh ada wanita lain selama kamu masih bersama denganku."     

"Hmm …" gumam Aiden sambil memegang wajah Anya. Ia mengecup bibirnya dengan lembut, namun Anya malah menggigit bibir bawahnya.     

"Nakal," tawa Aiden terdengar. Matanya penuh dengan kelembutan saat menatap Anya.     

Anya merasa dirinya tenggelam dalam mata Aiden yang lembut. Mata itu memancarkan kelembutan dan kedingingan secara ekstrem.     

Sedetik, matanya terlihat sangat lembut, memandang Anya seolah satu-satunya wanita yang ada di muka bumi ini. Namun, sedetik kemudian, mata itu bisa berubah menjadi dingin, memandang Anya seolah ia bisa membuangnya kapan saja.     

Anya merasa takut terhadap perubahan yang terlalu mendadak itu. Bagaimana pun caranya, ia tidak mau Aiden sampai marah padanya.     

"Aiden, aku sangat menyukaimu," kata Anya sambil menyandarkan kepalanya di bahu Aiden.     

"Berapa skorku sekarang?" tanya Aiden dengan pensaran.     

Anya berpura-pura menghitung menggunakan jarinya dan akhirnya berkata dengan tegas, "Enam puluh poin!"     

"Hanya enam puluh. Sedikit sekali," kata Aiden sambil mengerutkan keningnya.     

"Enam puluh sudah cukup bagus. Lama kelamaan akan terus naik!" kata Anya dengan penuh semangat.     

"Bagaimana dengan skor Raka?" tanya Aiden sambil sedikit memicingkan matanya.     

"Aku tidak ada hubungan dengannya. Ia bahkan bukan temanku. Jadi ia tidak punya nilai," balas Anya dengan tenang.     

Ekspresi di wajah Aiden langsung terlihat lega. "Tetap saja skorku terlalu rendah!"     

"Kalau kamu terus memperhatikan aku dan membuatku bahagia, skornya akan terus naik!" kata Anya.     

Aiden mengerti apa yang Anya maksud. Terkadang, pendekatannya terhadap Anya terlalu kuat sehingga ia terlihat seperti tidak memedulikan perasaan Anya. "Kalau kamu tidak suka berciuman di hadapan orang lain, lain kali aku akan melakukannya saat kita berduaan dan tidak menunjukkan kepada mereka."     

Mendengar hal itu Anya merasa senang. Akhirnya Aiden mau mendengarkannya! Setidaknya ia tidak perlu malu di hadapan orang banyak.     

Mobil mereka berhenti di depan rumah sakit. Aiden dan Anya turun sambil bergandengan tangan dan berjalan menuju ke dalam bangunan tersebut bersama-sama.     

Diana sudah dipindahkan ke ICU VIP yang terletak di lantai atas sehingga mereka langsung menuju ke lantai atas.     

Begitu tiba, kepala rumah sakit langsung menghampiri Aiden. "Tuan, Anda tepat pada waktunya. Saya ingin melaporkan kondisi Nyonya Diana pada Anda."     

"Anya, pergilah ke kamar ibumu," kata Aiden.     

Awalnya Anya juga ingin mendengar hasil konsultasinya, tetapi Aiden menyuruhnya untuk ke kamar ibunya. Aiden yang membawa dokter dari luar negeri, jadi lebih baik jika Aiden yang mendengarkan hasil konsultasinya.     

Ia memasuki kamar ibunya, menatap ibunya yang masih terbaring tak berdaya. Hati Anya terasa sedih saat melihat ibunya yang semakin kurus.     

"Ibu, cepat bangun. Anya sangat merindukan ibu," Anya memegang tangan Diana dengan erat. Setetes air mata hangat menetes di punggung tangan Diana.     

"Punya anak yang tidak tahu malu sepertimu hanya akan membuat ibumu marah setengah mati. Apa gunanya dia bangun? Lebih baik tidur saja daripada menghadapi anak sepertimu," tiba-tiba saja Raisa muncul di depan pintu kamar Diana.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.