Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Ubi Panggang



Ubi Panggang

0Wajah Anya langsung memerah karena malu saat Aiden memeluknya di depan umum. Suaminya ini benar-benar tidak tahu malu. Abdi dan Mila sedang melihat mereka, tetapi mengapa Aiden malah mengatakan hal seperti itu di depan umum!     

"Ketika aku mendapatkan gajiku, aku akan mengajakmu makan di tempat mana pun yang kamu mau," Anya berpura-pura tidak memahami apa yang Aiden maksud. Ia melepaskan tangan Aiden dari pinggangnya dan sedikit mendorong tubuh Aiden menjauh darinya. Ia merasa malu saat Aiden benar-benar berada di dekatnya seperti ini.     

Namun, tangan Aiden kembali memeluk pinggangnya dan menariknya ke dalam mobil sebelum Anya bisa berkata apa-apa. Setelah itu, ia menutup pintu mobil tepat di hadapan Mila.     

Mila hanya bisa diam dan tidak berani berkata apa-apa hingga mobil Aiden pergi. Ia terus menundukkan kepalanya dan hanya berani menengadah setelah mereka pergi. Matanya memancarkan tatapan yang bingung.     

Setelah berada di dalam mobil, Anya langsung duduk di pangkuan Aiden dengan patuh. Ia tidak melawan seperti tadi karena hanya ada mereka sendiri sekarang. Ia memandang Aiden dengan senang dan berkata, "Tuan Aiden, namamu sangat berguna untukku."     

"Hmm … Memang sangat berguna, tetapi hanya Nyonya Atmajaya saja yang bisa menggunakannya," Aiden mengecup kening Anya dengan lembut.     

Anya tersenyum saat mendengarnya. "Kemana kita akan pergi sekarang?"     

"Aku tidak bisa tidur dengan nyaman kemarin. Setelah makan siang, apakah kamu mau menemaniku untuk tidur siang?" bisik Aiden di telinga Anya.     

Anya hanya bisa menahan geli dan menyusutkan lehernya.     

"Aku malah akan mengganggu tidurmu," kata Anya. "Apakah aku boleh ke taman bunga nanti siang. Harris membantuku mencari dua orang ahli taman. Aku ingin melihat pekerjaan mereka."     

"Hmm … Ajak Bu Hana untuk menemanimu," Aiden mengangguk.     

Setelah makan siang, Aiden kembali ke kamar untuk beristirahat. Sementara itu, Anya mengendarai sepeda listriknya bersama dengan Hana pergi ke taman bunga.     

"Bu Hana, tidak buruk juga kan sesekali menaiki sepeda?" Anya mengenakan sebuah topi besar untuk menghindari sinar matahari yang berlebihan. Di sepanjang perjalanan, ia merasakan angin berhembus, menyapu seluruh tubuhnya.     

"Ini nyaman dan praktis. Selain itu, aku bisa mencium bau-bau bunga, terutama bunga osmanthus. Kalau kita naik kendaraan, kita tidak akan bisa merasakan udara alam seperti ini," kata Hana sambil tersenyum.     

Anya melihat pohon osmanthus yang tidak terlalu jauh darinya. "Bu Hana, lihat pohon osmanthus itu. Tahun lalu, pohon osmanthus itu sama sekali tidak berkembang, tetapi tahun ini pohon itu berkembang lebih awal. Pada bulan agustus, bunganya akan mekar dan aku bisa menjualnya.     

"Apakah kamu mengolahnya menjadi manisan atau kue?" tanya Hana sambil tersenyum.     

"Hmm … Osmanthus memiliki rasa yang khas. Setiap tahun aku selalu berjualan di dekat danau untuk membiayai kebutuhan sehari-hari," cerita Anya.     

"Kamu sudah berjuang keras," kata Hana. Hatinya tersentuh melihat perjuangan Anya.     

"Nyonya, bagaimana Anda bisa memetik bunganya. Pohon itu sangat tinggi," tanya salah satu pengawal yang mengikuti mereka dengan penasaran.     

Anya tersenyum malu-malu saat menjawabnya. "Aku pandai memanjat pohon."     

"Apakah tidak ada serangga di pohon tersebut? Aku dengar ada serangga yang bisa menyengat di pohon osmanthus," kata Hana dengan khawatir.     

"Kamu harus melindungi diri sebelum memanjat pohonnya. Jika masih tidak sengaja disengat oleh serangga itu, gunakan isolasi pada lukanya untuk mengeluarkan semua racunnya. Kemudian, kamu juga bisa menangkap serangga di pohon osmanthus tersebut. Serangga itu memang beracun tetapi juga memiliki penawar racun. Gunakan penawar racun yang berwarna hijau di area yang disengat dan efeknya akan sangat cepat," kata Anya dengan serius.     

Hana menatap Anya dengan hati terenyuh. Anya pasti sudah sering memanjat pohon dan sering tersengat serangga sehingga ia bisa mengetahui semua ini.     

"Bu Hana, jangan lihat aku seperti itu. Aku sangat sehat. Aku kebal terhadap semua jenis racun," kata Anya sambil tertawa.     

Hana hanya mengangguk mendengar kata-kata Anya, tetapi dalam hatinya ia berjanji akan membantu Anya sebaik mungkin.     

Begitu tiba di taman bunga, Anya melihat semua bunga-bunga di sana tumbuh dan mekar dengan indahnya. Mulut Anya menganga karena terlalu bahagia. Semua ini adalah uang!     

Hari ini, ia datang khusus untuk melihat taman vanilinya. Hana juga ikut bersemangat saat berjalan menuju ke area vanili.     

"Ibuku menanam vanili ini tiga tahun yang lalu dan seharusnya tahun ini adalah tahun pertama vanili ini berkembang. Vanili sangat pemilih mengenai lingkungan pertumbuhannya. Suhu di siang dan malam hari tidak boleh lebih rendah dari dua puluh derajat. Di siang hari, suhunya harus mencapai tiga puluh derajat dan suhunya tidak boleh turun melebihi tujuh puluh persen," kata Anya mobil berjalan.     

Di siang hari, atap insulasi di atas rumah kaca tersebut telah diangkat dan vanilinya sedang bermandikan matahari.     

"Bu, perkembangan vanilinya sangat bagus tahun ini. Langkah selanjutnya adalah melindunginya dari serangan hama," kata karyawan yang baru saja dipekerjakan oleh Anya sambil memandang sekelilingnya dengan senang.     

"Vanili akan tumbuh pada pukul dua atau tiga di pagi hari dan layu saat siang hari. Butuh waktu tujuh atau delapan jam. Aku dan ibuku terus bekerja keras hingga tidak sempat makan atau pun minum saat menanamnya. Kita berusaha untuk mendapatkan hasil yang terbaik." Vanili ini adalah hasil jerih payahnya dan ibunya. Ia mengulurkan tangan untuk menyentuhnya dengan lembut seperti sedang menyentuh bayi.     

"Bu, saya akan merawat vanili ini dan memastikan panennya tahun ini," kata ahli tersebut.     

"Terima kasih atas kerja kerasmu!" Anya berjalan keluar dari taman vanili itu dengan senang setelah mengetahui kerja bagus dari karyawan baru tersebut.     

Hana melihat arah yang dituju oleh Anya dan mengetahui bahwa Anya menuju ke tempat ubi jalar.     

"Anya, apakah kita akan memanen ubi jalar?"     

"Hmm … Aku menanam ubi jalar merah di tempat ini," matanya berbinar saat melihat ubi jalar di tanah siap dipanen.     

Ubi bakar, ubi panggang, sup ubi manis, ubi goreng, donat ubi, kue ubi …     

Otak Anya dipenuhi dengan berbagai resep masakan ubi.     

…     

Di rumah, Aiden bangun ketika mencium bau ubi manis di ruangan tersebut.     

Ia bangun dari tidurnya dan duduk di atas tempat tidur sambil melihat ke arah datangnya aroma tersebut. Sebuah piring dengan ubi manis panggang beserta dengan garpu ada di atas meja.     

Apakah Anya yang menyiapkan ini untuknya?     

Aiden segera mengambil piring tersebut dan membawanya ke sofa di dekat jendela. Warna ubi itu keemasan dan baunya sangat menggiurkan.     

Ia segera mengambil garpunya dan menyuapkannya ke dalam mulutnya. Manis dan sangat lezat …     

Anya keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju ke meja tempat ia meninggalkan ubinya. Namun, ubi itu sama sekali tidak terlihat.     

Ia menggaruk-garuk kepalanya dengan bingung, bertanya-tanya ke mana perginya camilannya itu. Ia sudah bekerja keras untuk memanen ubi di tamannya dan memanggangnya cukup lama.     

Namun, saat ia mencuci tangan sebelum memakannya, tiba-tiba saja ubinya sudah menghilang entah ke mana.     

"Ke mana ubiku?" Anya bahkan berjongkok dan melihat ke bawah meja, berpikir mungkin ubinya itu terjatuh ke lantai, tetapi ia tetap tidak menemukannya.     

Aiden menatap piring yang ia pegang dan kemudian memandang istrinya. Ternyata, ubi yang ia pegang saat ini bukan untuknya.     

Tetapi ia sudah terlanjur memakannya. Apa yang harus ia lakukan sekarang?     

"Apakah kamu mencari ini?" suara Aiden terdengar dengan sedikit menggoda.     

Ketika Anya mendengarnya, ia langsung menoleh dan melihat piring di tangan Aiden. ia langsung beseru, "Ubi panggangku!"     

"Ubi panggangmu? Itu bukan untukku?" tanya Aiden sambil mengangkat alisnya …     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.