Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Hilang



Hilang

0Anya terlihat semakin lesu saat mendengar jawaban Nico. Ia mengabaikan Nico, menganggap seolah pria itu tidak ada di sana dan memusatkan perhatiannya pada makanannya.     

Nico mengerutkan keningnya melihat sikap bibinya. Biasanya, bibinya akan mengomelinya jika ia tidak menuruti perkataannya. Mengapa bibinya diam seperti ini? Apakah ia benar-benar marah padanya?     

"Bibi, aku benar-benar berusaha untuk mencari orang yang tepat untukmu. Aku tidak berani memilih orang sembarangan hanya karena harganya yang murah. Bagaimana kalau orang itu tidak jujur?" kata Nico.     

"Kamu juga bukan orang yang jujur. Kamu bilang pada Tara bahwa gigimu sakit karena kesalahannya. Padahal hari itu kamu minum-minum," kata Anya sambil mengaduk-ngaduk makanannya.     

Nico tertawa dan menjelaskan, "Bibi, kamu terlalu polos. Apakah kamu tidak bisa melihat bahwa itu caraku untuk mendekatinya dan mendapatkan perhatiannya. Paman menyuruhku untuk memilih di antara Natali dan Raisa. Mana mungkin aku memilih mereka!"     

���Pamanmu memaksamu untuk menikah?" Anya terkejut saat mendengarnya. Ia baru pertama kali mendengar berita ini.     

"Karena Paman menikahimu, hanya aku satu-satunya anggota keluarga yang masih melajang. Aku tidak ingin menikah dengan Natali atau pun Raisa. Itu sebabnya aku terus mendekati Tara," kata Nico.     

Anya hanya memutar bola matanya. Cara Nico mendekati Tara sama seperti seorang anak sekolah dasar yang menggoda teman sekelas yang disukainya. Mana mungkin Tara bisa luluh kalau Nico mendekatinya dengan cara seperti itu?     

"Bibi, kamu tidak ingin bersaudara dengan Natali atau Raisa kan? Jadi kamu harus membantuku!" kata Nico.     

Mata Anya berkedip saat ia mendengar pertanyaan Nico. Memiliki saudara seperti Natali saja sudah seperti neraka baginya. Bagaimana jika Raisa juga menjadi bagian dari Keluarga Atmajaya. Dengan sifat Raisa yang begitu manja, ia pasti akan membuat keributan!     

Ditambah lagi, jika Keluarga Atmajaya dan Keluarga Mahendra bersatu dengan pernikahan Raisa dan Nico, ia akan lebih sering bertemu dengan Raka di kemudian hari. Ia tidak mau merasakan kecanggungan itu terus menerus.     

"Jangan ... Jangan Raisa!" kata Anya dengan serius.     

"Aku juga tidak mau menikah dengan Raisa atau pun Natali. Meskipun Natali tidak seberisik Raisa, wanita itu seperti bunga putih kecil yang lembut dan cerdas, tetapi beracun!" Nico terlihat enggan saat menyebut nama kedua wanita itu.     

"Tetapi jika kamu mendekati Tara, padahal kamu tidak menyukainya, bukankah itu akan menyakiti perasaannya?" Anya baru ingat kalau Nico sudah memiliki kekasih dan kekasihnya itu adalah seorang pria.     

"Bibi, apakah menurutmu aku tidak menyukai Tara?" Nico mengedip padanya.     

Anya tertegun saat mendengarnya. Apakah itu artinya Nico menyukai pria dan wanita? Kalau Nico bisa menikah dengan Tara, itu akan menjadi berita yang sangat baik.     

"Tara tidak menyukai Pamanmu. Ia hanya menyukai wajahnya dan uangnya saja," kata Anya. Ia memberitahu Nico, berusaha untuk membantunya.     

"Jadi, Tara menyukai uang? Baguslah, akan lebih mudah bagiku karena aku memiliki banyak uang," kata Nico dengan santai seolah uang sama sekali tidak berarti untuknya.     

"Uang mungkin bisa menarik perhatian wanita, tetapi kamu tidak bisa mendapatkan cintanya dengan cara seperti itu. Ingat kata-kataku, jangan membeli wanita dengan uang. Kamu harus mendekatinya dengan tulus," Anya meletakkan sendok di tangannya dan menasihati Nico. Ia tidak mau Nico dan Tara berhubungan hanya karena sebatas uang.     

Hana mendekati mereka berdua. "Apakah kamu sudah selesai makan? Apa yang kamu inginkan untuk makan malam nanti?" tanya Hana ketika melihat Anya hendak pergi kerja.     

"Aku tidak pemilih. Aku menyukai semua masakan Bu Hana. Tanyakan saja pada Nico apa yang ingin ia makan. Ngomong-ngomong, Tara juga menyukai masakan rumah kita. Bisakah Bu Hana menambahkan satu bungkus makanan lagi untuknya?" kata Anya sambil tersenyum.     

Nico yang mendengar hal itu langsung bersemangat, "Bu Hana, tolong kirimkan makananku ke klinik Tara juga. Aku akan ikut makan di sana,"     

Hana merasa sangat senang karena banyak orang yang menghargai masakannya. Meski memasak itu melelahkan, melihat semua orang di sekitarnya menikmati apa yang ia buat sudah menjadi kepuasan tersendiri untuknya. "Baiklah," katanya sambil tertawa.     

...     

Anya tiba di Rose Scent tepat pukul delapan pagi. Saat ia memasuki toko, ia melihat Esther sedang berada di lantai satu. Wajahnya terlihat dingin dan bibirnya tertutup rapat. Ruangan tersebut hanya dikelilingi dengan keheningan.     

"Selamat pagi, Bu Esther," sapa Anya dengan sopan.     

Tidak seperti biasanya, Esther hanya menjawabnya dengan bergumam pelan. Melihat sikap Esther, Anya merasa ada sesuatu yang terjadi.     

"Apa yang terjadi?" tanyanya.     

"Formula parfum Bu Esther menghilang," kata Ben dengan panik.     

"Ada banyak orang di toko ini. Bagaimana mungkin formula parfumku bisa menghilang begitu saja?" Esther melotot ke arah Ben.     

"Bu Esther, kami sudah bekerja di Rose Scent selama bertahun-tahun dan tidak pernah terjadi hal seperti ini sekali pun. Pasti ada orang luar yang mencurinya!" saat mengatakannya, tatapannya terjatuh pada Anya. Orang luar yang Ben maksud adalah Anya karena ia baru saja bergabung dengan Rose Scent.     

"Manajer, apakah Anda menuduh saya?" Anya tidak bodoh dan bisa melihat tuduhan di mata Ben. Ia memang orang terakhir yang meninggalkan kantor Esther semalam. Ditambah lagi, Anya masih termasuk orang baru sehingga semua kecurigaan tertuju padanya.     

Ketika ia pulang kerja semalam, ia telah mengunci pintunya dan menyerahkan kunci itu pada Ben. Bukan hanya ia sendiri yang memegang kuncinya, tetapi Ben juga bisa memasuki kantor Esther sesuka hati. Mengapa ia dituduh hanya karena ia adalah anak baru?     

"Anya, mengapa kamu gugup? Aku tidak mengatakan bahwa kamu yang mencurinya," kata Ben dengan dingin.     

"Pencuri memang akan selalu menjadi pencuri. Lihat saja, dia pernah merebut kekasih orang lain dan menghancurkan perasaan orang tersebut. Memang pada dasarnya ia adalah pencuri," salah seorang pegawai mencibir.     

"Cukup!" teriak Esther.     

Pegawai tersebut langsung terkejut mendengar teriakan Esther. "Bu, apakah saya salah bicara? Anya memang orang seperti itu. Ditambah lagi, ia adalah orang terakhir yang berada di kantor Anda semalam. Siapa yang tahu apa yang ia lakukan di sana ..."     

"Aku yang meminta Anya untuk masuk ke dalam ruang parfum dan menyiapkan bahan dasar parfum baru. Aku percaya Anya tidak akan melakukannya. Sebelum semuanya jelas, aku tidak mau mendengar tuduhan yang tidak berdasar. Pergilah!" Esther benar-benar marah sehingga kehilangan kendali atas emosinya.     

Anya tidak pernah melihat Esther semarah ini. Biasanya, bosnya itu akan selalu tenang dan santai dalam menghadapi apa pun.     

"Bu Esther, aku tidak menuduhnya. Mungkin saja Anya tidak sengaja mengambilnya," pegawai tersebut tidak menyerah dan terus menuduh Anya. "Anya, kalau memang kamu yang mengambilnya, cepat kembalikan!"     

"Anya tidak mencurinya. Selidiki semua orang yang keluar masuk ke kantorku kemarin. Kalian semua bertanggung jawab atas hilangnya barang yang penting di toko ini," Esther menghela napas panjang.     

"Aku pergi ke ruang parfum jam tujuh malam kemarin dan pergi jam sembilan malam. CCTV di ruang parfum dan kantor Bu Esther bisa menjamin bahwa aku tidak mencuri apa pun. Aku bahkan tidak tahu ada resep parfum di tempat itu," jelas Anya.     

"Kalau kamu mau membuktikan bahwa kamu tidak bersalah, berikan ponsel dan tasmu. Kamu pasti telah memfoto resep tersebut dengan ponselmu. Apakah kamu berani menyerahkannya pada kami?" sudut bibir Ben terangkat, menunjukkan senyum sinis.     

Ben sudah lama bekerja bersama dengan Esther. Dulu, ia adalah seorang asisten parfumeur seperti Anya dan belajar mengenai parfum selama lima tahun. Sayangnya, ia tidak memiliki bakat untuk menjadi seorang parfumeur sehingga Esther menempatkannya menjadi manajer toko karena Esther sangat mempercayainya.     

Anya merasa sangat marah saat dituduh melakukan apa yang tidak ia lakukan, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang, "Aku sarankan untuk menelepon polisi. Aku tidak mau digeledah oleh manajer. Biar polisi yang melakukannya.     

"Kalau begitu, ayo kita telepon polisi," Ben mengambil ponselnya dan hendak menelepon polisi, tetapi Esther menahan tangannya dan berkata, "Mengapa kamu menelepon polisi? Apakah kamu mau masalah ini menjadi besar? Sebagai seorang manajer, seharusnya kamu malu karena ada seseorang yang mencuri resep ini di toko. Mengapa kamu masih bertindak angkuh?"     

Ben tergagap saat ditegur oleh Esther, "Tetapi, Bu ..."     

Anya merasa semakin kecewa. Biasanya Ben bersikap sangat baik kepadanya. Tetapi tiba-tiba saja ia menuduhnya telah mencuri formula milik Esther dan hendak menelepon polisi. Apakah Ben benar-benar tidak percaya kepadanya?     

"Orang terakhir yang meninggalkan kantorku memang Anya, tetapi ia tidak memiliki kunci untuk membuka laciku. Mengapa kamu terus menuduhnya?" Esther mengatakannya sambil menatap Ben dengan seksama.     

"Anya, cepat serahkan apa yang kamu ambil. Jangan menyakitiku dan membuatku kehilangan pekerjaan!" teriak Ben.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.