Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Mencabut Tuntutan



Mencabut Tuntutan

0"Semuanya sudah selesai. Aku sudah tidak membutuhkanmu lagi seperti tiga tahun yang lalu. Jika kamu benar-benar merasa bersalah kepadaku, kembalikan apa yang menjadi hak ibuku." Apa yang benar-benar Anya inginkan saat ini adalah formula parfum ibunya. Kalau saja formula itu tidak berada di tangan Deny, ia tidak akan mau berurusan dengan ayahnya lagi.     

"Aku akan memberikannya kepadamu, tetapi tidak sekarang," kata Deny.     

Anya memahami maksudnya. "Aku akan mempertimbangkan apa yang kamu inginkan, tetapi aku butuh waktu. Tidak ada gunanya terus mendesakku," setelah mengatakannya, Anya mengabaikan Deny dan berjalan menuju ke ruang ganti pegawai.     

Para pengunjung yang menyaksikan kejadian itu mulai berjalan kembali, melanjutkan apa pun yang sedang mereka kerjakan. Deny juga memutuskan untuk pergi setelah mengetahui Anya memikirkan mengenai permintaannya. Rose Scent kembali tenang lagi …     

Pada saat-saat ini, tidak banyak pengunjung datang karena sedang jam makan malam. Ketika Anya keluar dari kamar ganti, beberapa pegawai sedang berkumpul dan berbisik-bisik. Sesekali mereka akan melirik ke arah Anya.     

Anya tahu mereka sedang membicarakannya, tetapi ia tidak peduli dan segera melaksanakan tugasnya.     

Ia membersihkan etalase-etalase dan menambahkan biji kopi pada area aroma. Setelah itu, ia kembali ke area parfum khusus dan menyusun peralatan yang diperlukan.     

"Anya, apakah kamu baik-baik saja?" tanya Ben dengan khawatir.     

Anya tersenyum tipis mendengar manajernya itu. "Aku baik-baik saja."     

"Tadi, Bu Esther menelepon. Ia bilang ia mendukungmu," kata Ben sambil balas tersenyum.     

Anya menatap Ben dengan terkejut. "Kalian tidak menyalahkanku atas semua keributan yang terjadi?"     

"Kamu tidak melakukan kesalahan. Mengapa kami harus menyalahkanmu?" kata Ben. Sikapnya sedikit berubah setelah mengetahui bahwa Anya adalah putri dari Deny.     

Meski demikian, Anya tetap merasa tersentuh.     

Kemudian, Ben menepuk bahu Anya sambil tersenyum. "Kembalilah bekerja. Bu Esther memperlakukan semua pegawainya dengan sangat baik, tenang saja!"     

"Terima kasih!" Anya mengangguk dengan penuh semangat.     

Hari lemburnya itu ia lalui dengan sangat mulus. Tidak ada keributan lagi yang terjadi. Beberapa pelanggan datang dan pergi, silih berganti hingga jam menunjukkan pukul sembilan malam.     

Tidak tahu dari mana Raka bisa tahu jam pulang Anya, tetapi tepat pukul sembilan, ia kembali muncul di Rose Scent.     

"Anya, apakah kamu punya waktu untuk berbicara denganku?" tanya Raka.     

"Jika kamu ingin membicarakan mengenai Raisa, tidak ada yang bisa aku katakan. Kamu bukan dia. Ini bukan urusanmu," Anya berbalik menuju ke arah ruang ganti pegawai.     

Raka mengabaikan semua orang yang berada di tempat itu dan menyusul Anya ke dalam ruang ganti pegawai.     

"Apa yang kamu lakukan? Cepat keluar!" teriak Anya. Ia tidak boleh berada di dalam satu ruangan yang sama, berduaan, bersama dengan Raka.     

Raka mengabaikan kata-kata Anya dan malah menutup pintu di belakangnya. Ia terus melangkah maju, memojokkan Anya hingga punggung wanita itu menempel di dinding.     

"Anya, apakah tidak ada yang mau kamu katakan kepadaku?" tanya Raka.     

Anya merasa jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Ia mengalihkan tatapannya dan tidak mau memandang ke arah Raka. Ada apa sebenarnya? Mengapa Raka tiba-tiba bersikap seperti ini?     

"Mengapa kamu tidak menjawabku?" tubuh tinggi Raka terus mendekat, tidak memberi jarak bagi Anya untuk melarikan diri. Anya merasa semakin panik saat melihatnya.     

Raka pasti sudah mendengar rumor mengenai uang dari Keluarga Mahendra yang tidak pernah Anya terima.     

"Aku tidak tahu apa maumu. Tolong keluarlah dari tempat ini!" Anya mendorong tubuh Raka dengan keras. "Jika kamu tidak pulang lagi malam ini, Raisa akan berpikir aku telah menculikmu lagi. Apa yang akan dikatakan oleh semua orang jika mereka tahu kamu dan aku berada di dalam ruang pegawai berduaan seperti ini."     

Anya merasa panik. Jantungnya berdetak dengan kencang sementara tangannya berkeringat karena gelisah. Ia tidak mau berada di sini. Ia tidak mau berbicara pada Raka. Ia harus segera pergi …     

"Anya, tiga tahun lalu … Dari mana kamu mendapatkan uang untuk biaya operasi ibumu?" tanya Raka.     

Anya terdiam dan tidak menjawab pertanyaan itu. Ia melirik kesana dan kemari, mencari celah untuk pergi dari tempat ini.     

"Mengapa kamu menjual tubuh nenekmu?" tanya Raka. Suaranya semakin meninggi dan meninggi.     

"Itu adalah keinginan nenekku. Nenekku bilang ia berharap setelah mati ia bisa membantu banyak orang dengan memberikan organ tubuhnya dan juga memberikan kebahagiaan untuk ibuku," kata Anya. Suaranya tercekat saat mengingat kembali apa yang dilakukan oleh neneknya demi ibunya.     

Tiga tahun yang lalu, Anya tidak punya keberanian untuk mengatakan pada Raka bahwa ia sama sekali tidak menerima uang dari keluarganya. Ia juga tidak memiliki cara lain untuk mendapatkan uang demi operasi ibunya. Akhirnya, neneknya yang harus berkorban untuk itu semua …     

"Anya, mengapa kamu begitu kejam padaku? Mengapa kamu menyembunyikan semua ini dariku? Mengapa kamu …" mata Raka terlihat memerah saat mengatakannya. Ia menahan rasa sakit besar yang menyesakkan dadanya.     

Tanpa sadar, air mata mengalir di wajah Anya. Ia teringat saat air mata membanjiri wajahnya ketika ia mendengar keputusan neneknya. Ia mengingat saat neneknya mengelus kepalanya dengan lembut sambil tersenyum, memintanya untuk hidup dengan bahagia.     

Kalau saja waktu itu ia cukup pintar … Kalau saja ia tidak mudah dibodohi dengan selembar cek itu … Kalau saja ia meminta Irena untuk langsung membayar biaya operasi ibunya …     

Semua ini tidak akan terjadi.     

Hati Raka terasa semakin sakit ketika melihat air mata mengalir di wajah Anya. Ia langsung memeluk Anya. "Anya, mengapa kamu tidak mengatakannya kepadaku?"     

Anya tertegun sejenak, kemudian langsung mendorong Raka. Ia mundur dari tempatnya dan memberi jarak di antara dirinya dan Raka. "Raka, pergilah dari tempat ini."     

Begitu Anya mengatakannya, ponselnya tiba-tiba saja berbunyi. Nada dering yang ia pasang khusus untuk Aiden memenuhi ruangan itu.     

Anya tidak punya keberanian untuk mengangkat panggilan itu. Tangannya sedikit gemetaran, tidak tahu harus berbuat apa.     

Ia segera menuju ke pintu dan membukanya, kemudian mendorong tubuh Raka keluar dari ruangan tersebut. Ia mengunci ruang ganti tersebut, sementara ponselnya terus berbunyi.     

Anya menarik napas dalam-dalam dan mengangkatnya. "Aiden …"     

"Mengapa kamu menangis?" Aiden langsung mengetahui perubahan suara Anya yang sedikit sengau.     

"Aku akan membebaskan Raisa. Bisakah kamu mempercayai keputusanku?" kata Anya.     

"Apakah mereka memaksamu?" Aiden dengar bahwa Irena dan Deny datang ke tempat kerja Anya dan membuat Anya dalam keadaan sulit.     

Setelah itu, pada saat Anya mau pulang kerja pun Raka tiba-tiba menemuinya dan mengunci diri di dalam ruang ganti tempat kerja Anya.     

Ketika Aiden mendengar berita itu, ia langsung menelepon Anya. Otaknya terus berputar, memikirkan berbagai macam kemungkinan yang terjadi saat Anya dan Raka berduaan di dalam ruang ganti tersebut.     

Mengapa Anya tidak mengangkat teleponnya? Apa yang terjadi di dalam ruangan itu?     

Ketika panggilan itu tersambung, ia mendengar suara sengau Anya, membuat hatinya langsung luluh. Sepertinya, istrinya itu tidak bisa menahan tekanan dari berbagai pihak sehingga ia mau membebaskan raisa.     

"Aku sudah tahu bagaimana cara membuktikan bahwa aku tidak bersalah!" kata Anya.     

Raisa tidak mau meminta maaf di hadapan umum. Irena tidak mau putrinya bermalam di kantor polisi, sama halnya dengan Raka.     

"Kalau kamu bersikap seperti ini, orang lain akan terus menyakitimu," kata Aiden.     

"Raka berada di tempat kerjaku sekarang dan ia tidak mau pergi dari tempat ini. Apa yang harus aku lakukan?" Anya terjebak di dalam ruang ganti tersebut sementara Raka masih menunggunya di luar. Ia benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Apakah ia harus bermalam di sana?     

"Jangan keluar dari tempat itu. Harris akan segera tiba di sana," kata Aiden.     

Anya hanya mengangguk dengan lega sambil memandang di sekitarnya. Di dalam kamar ganti seharusnya tidak ada kamera pengawas. Aiden tidak akan tahu kalau Raka tadi memeluknya!     

Meski ia langsung menolak pelukan Raka, ia tidak mau Aiden salah paham. Jika Aiden tahu, ia pasti akan sangat murka dan mungkin langsung membunuh Raka.     

"Raka tidak melakukan apa pun kepadamu, kan?" tanya Aiden.     

"Tidak. Ia hanya ingin membebaskan adiknya," kata Anya. Ia sudah lelah terlibat urusan dengan Keluarga Mahendra. Raka terus mengikutinya, Raisa terus menghinanya dan terakhir Irena datang untuk mengancamnya. Ia tidak mau berurusan dengan mereka lagi. Rasanya, berhubungan dengan Keluarga Mahendra malah membuat hidupnya semakin rumit.     

Satu-satunya cara untuk menyelesaikan semua ini adalah mencabut tuntutannya terhadap Raisa …     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.