Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Pertengkaran Dua Anak Kecil



Pertengkaran Dua Anak Kecil

0Suasana di ruang keluarga rumah Aiden sangat tidak mengenakkan. Anya terus berusaha untuk membujuk Aiden agar tidak marah, tetapi semua kata yang terlontar dari mulutnya sepertinya tidak berguna.     

Ia menjadi semakin gelisah melihat Aiden yang hanya diam saja. Ia tidak tahu apa yang pria itu pikirkan.     

Tiba-tiba saja, pintu rumah mereka terbuka dengan keras. "Paman, aku lapar. Aku mau ikut makan siang di rumahmu," teriak Nico dengan keras, tanpa tahu apa yang sedang terjadi di dalam.     

Ketika ia melihat dua orang duduk di sofa dengan suasana yang aneh, ia langsung tertegun. Ia berdeham pelan dan hendak berbalik, "Ehem … Sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat."     

Namun sebelum ia bisa pergi, Hana tiba-tiba saja muncul di belakangnya sambil tersenyum. "Tentu saja tidak! Tuan Nico datang di waktu yang sangat tepat. Makan siangnya sudah siap," kata Hana sambil mencegah Nico agar tidak pergi.     

Nico menunduk dan berbisik pada Hana, "Rasanya, suasananya sedang tidak enak." Ia tidak mau ikut campur dalam masalah pamannya. Lebih baik ia makan di tempat lain saja.     

Hana hanya tertawa dan mengabaikan kekhawatiran Nico. "Nyonya hanya tidak mau Tuan Aiden pergi ke luar negeri besok. Ia takut akan merindukannya," jawab Hana dengan sangat santai seolah itu adalah hal yang biasa.     

Anya bisa mendengar kata-kata Hana. Wajahnya langsung memerah karena malu. Ia langsung bangkit berdiri dari sofa dan berkata, "Nico datang di saat yang tepat. Ayo ikut makan bersama kami!"     

Aiden hanya menggerutu dan bergumam tidak jelas.     

Di meja makan, Nico merasa benar-benar gelisah dan ingin segera pergi dari tempat itu. Rasanya ia tidak bisa menelan makanan yang masuk ke dalam mulutnya.     

Mata Aiden terlihat tenang seperti danau yang damai saat melirik ke arah Nico, "Apakah ada jarum di kursimu? Mengapa kamu tidak bisa duduk dengan tenang?"     

Nico tersedak saat mendengar sindiran pamannya yang kejam. Rasanya ia benar-benar ingin menangis. Mengapa ia harus datang di saat yang tidak tepat seperti ini? Pamannya sudah berubah menjadi harimau yang kelaparan!     

Ia menatap ke arah Anya sambil mengerutkan keningnya dan berbisik, "Bibi, apa yang kamu lakukan pada paman? Mengapa paman menjadi seperti ini?"     

Anya tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya melirik ke arah Aiden dan menjawab Nico sambil tersenyum. "Tidak ada apa-apa. Kami hanya merencanakan kencan kami nanti."     

Nico langsung berdiri saat mendengar kata-kata Anya. Ia berdiri dengan tiba-tiba, membuat kursinya terguling ke belakang. "Kencan?"     

Aiden memutar bola matanya saat melihat tingkah laku keponakannya yang terlalu dramatis. Mengapa Nico tidak menjadi aktor saja sekalian? Aiden rasa Nico akan sangat terkenal jika ia bekerja di dunia akting.     

"Paman, besok kamu akan pergi ke luar negeri dan meninggalkan kantor. Apakah kamu yakin akan pergi berkencan? Bukankah masih banyak urusan yang harus kamu selesaikan di kantor?" kata Nico sambil menatap Aiden dengan penuh protes.     

"Tidak usah. Kan ada kamu dan Harris yang ada di kantor," kata Aiden dengan santai.     

Wajah Nico langsung terlihat pahit. "Paman, jangan terlalu percaya kepadaku. Aku masih belum berpengalaman. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Paman!" kata Nico. Bagaimanapun caranya, ia harus membatalkan kencan pamannya. Kalau tidak, ia akan sibuk sendiri di kantor.     

"Nico, ini adalah kencan pertama Pamanmu denganku! Apakah kamu tidak bisa sedikit berkorban?" tanya Anya dengan kesal. Ia berpikir kedatangan Nico akan membantunya. Namun, Nico hanya akan membuat Aiden semakin kesal. Anya tidak akan membiarkan hal itu terjadi!     

Aiden merasa sedikit senang ketika mendengar kata-kata Anya. Ini artinya, Anya juga ingin pergi berkencan dengannya sehingga ia ikut membelanya. Sebuah senyum samar tersungging di bibir Aiden.     

Wanita ini benar-benar seperti maut baginya. Ia bisa mengombang-ambingkan perasaan Aiden dengan sangat mudah seperti membalikkan telapak tangan. Sedetik yang lalu, ia merasa marah padanya, namun sedetik kemudian ia kembali merasa gembira …     

Sebaliknya, saat mendengar kata-kata Anya, Nico langsung melotot ke arah wanita itu, "Bibi, jangan ikut-ikut! Aku benar-benar membutuhkan Paman di kantor. Kalau Paman tidak ikut bersamaku ke kantor, aku tidak akan keluar dari rumah ini!" katanya sambil berkacak pinggang. Kemudian, ia kembali duduk di tempatnya, menunjukkan bahwa ia tidak akan pergi dari tempat itu tanpa Aiden.     

Aiden hanya mengangkat alisnya saat mendengar Nico. "Aku bisa menyuruh orang-orangku untuk mengantarmu ke kantor dengan sangat mudah."     

"Tidakkk! Paman, kumohon jangan tinggalkan aku sendirian!" kata Nico dengan sangat kekanakan. Nico bertingkah seperti anak SD yang tidak ingin ditinggalkan oleh orang tuanya seorang diri. Ia menarik kursinya untuk mendekat ke arah Aiden.     

"Harris, tolong antarkan Nico ke mobilnya," kata Aiden dengan tenang.     

"Paman! Aku bahkan belum makan!" kata Nico dengan wajah memelas. Ia tidak mau mengurusi semua pekerjaan seorang diri. Ia pasti akan menghabiskan harinya untuk lembur di kantor jika pamannya tidak masuk kerja.     

Anya juga menarik kursinya ke arah Aiden, sehingga Anya dan Nico mengapit Aiden dari kanan dan kiri. Ia memeluk lengan Aiden seolah tidak akan membiarkannya pergi. Nico dan Anya seperti dua orang anak kecil yang saling berebut mainan yang mereka inginkan. Tidak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah.     

"Aku akan meminta para pelayan untuk membungkuskan makananmu. Kamu bisa makan di kantor. Pamanmu harus beristirahat, jangan menganggunya!" kata Anya.     

Nico menatapnya dengan kesal. "Bibi, jangan egois. Paman bukan hanya milikmu! Ia harus mengatur banyak hal di kantor. Ia tidak bisa pergi berkencan dengan seenaknya."     

Aiden yang berada di tengah mereka hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia merasa seperti boneka beruang yang sedang diperebutkan.     

Namun, tiba-tiba saja, Anya menatap ke arah Aiden dan berkata, "Aiden, keponakanmu melotot ke arahku! Ia ingin mengacaukan kencan kita," kata Anya dengan suara memelas. Bibirnya sedikit cemberut seolah ia kesal karena rencana kencan mereka akan batal.     

"Oh tidak! Tidak, Bibi. Kamu tidak bisa menggunakan cara curang seperti ini!" Nico terperangah ketika melihat hal ini. Ia pikir bibinya adalah wanita yang lemah lembut. Siapa sangka bibinya itu akan bergelayut dengan manja di lengan pamannya dan mengadukan sikapnya!     

Setelah berkenalan dengan Anya, ia pikir bibinya itu bisa membantunya menghadapi Aiden yang seperti harimau. Siapa yang tahu bahwa bibinya itu malah membuatnya semakin kesulitan? Hidupnya benar-benar menyedihkan!     

Wajah dingin Aiden langsung menghangat ketika melihat tingkah Anya. "Memangnya kenapa? Wanita berhak untuk bersikap manja pada suaminya sendiri!" katanya sambil tersenyum.     

"Aiden, kamu akan pergi besok. Aku ingin menghabiskan hari ini bersamamu dan kamu juga tidak boleh terlalu kelelahan," kata Anya sambil menatap wajah Aiden.     

"Baiklah!" kata Aiden sambil mengulurkan tangannya untuk mengelus kepala Anya.     

Anya terkejut melihat perubahan sikap Aiden. Sebelum mereka berada di meja makan, pria itu sangat marah kepadanya sehingga sama sekali tidak mau berbicara. Namun sekarang, pria itu bersikap sangat lembut padanya. Ia benar-benar tidak bisa memahami jalan pikiran seorang pria!     

"Paman! Apakah kamu tidak peduli lagi padaku?" tanya Nico dengan sedih.     

Tiba-tiba saja, Hana datang sambil membawakan sebuah kotak makan yang masih hangat, "Tuan Nico, makan siang Anda sudah siap," katanya.     

Mulut Nico menganga melihat kedatangan Hana, "Bu Hana, mengapa kamu juga seperti ini kepadaku?" katanya dengan sedih.     

Hana hanya terkekeh melihat tingkah Nico yang kekanakan. "Tuan dan Nyonya jarang memiliki waktu untuk bersama. Harris, tolong antar Tuan Nico keluar," kata Hana.     

"Paman, aku tidak bisa melakukannya tanpamu!" kata Nico sambil memohon.     

Kata-kata Nico itu malah membuat Anya memeluk lengan Aiden semakin erat. "Aiden adalah milikku," katanya, seperti seorang anak kecil yang menjaga mainannya agar tidak direbut orang lain.     

"Bibi, aku tidak merebut Paman darimu. Pinjamkan Paman padaku, tiga jam saja. Setelah itu aku akan mengembalikannya padamu," kata Nico. Ia ikut memeluk lengan Aiden yang satunya, membuat Hana tertawa melihatnya.     

"Aku tidak akan meminjamkan suamiku. Suamiku bukan barang untuk dipinjam," kata Anya sambil menjulurkan lidahnya.     

Aiden melihat wanita yang memeluk lengannya itu sambil tersenyum. Selama ini, Anya selalu berusaha untuk bersikap tegar dalam menghadapi segala sesuatu. Ia tidak pernah sekali pun menggantungkan hidupnya pada orang lain dan selalu berusaha seorang diri. Namun ternyata, Anya juga memiliki sisi yang kekanakan seperti ini. Sisi manja yang membuat Aiden ingin melindungi dan menjaganya …     

"Paman, aku tidak bisa memimpin pertemuan di kantor seorang diri," kata Nico dengan sangat serius.     

"Hmm … Tetapi aku ingin berkencan," kata Aiden sambil tersenyum.     

Nico terperangah saat mendengar hal itu. Mulutnya sedikit terbuka seolah tidak bisa mempercayai apa yang baru saja ia dengar. "Apakah kamu Pamanku? Apa yang terjadi pada Pamanku yang gila kerja?" tanya Nico.     

"Aku adalah suaminya sekarang, bukan Pamanmu. Sana pergi!" kata Aiden sambil memiringkan kepalanya ke arah Anya.     

"Paman, ternyata kamu sudah tidak menyayangiku lagi setelah menikah dengan bibi," kata Nico sambil berbalik dan pergi. Bibirnya mengerucut saat meninggalkan ruangan itu, tetapi ia tidak lupa untuk membawa kotak makan yang diberikan oleh Hana.     

Aiden hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan Anya dan Nico. Mereka berdua bertengkar seperti layaknya dua anak kecil. Untung saja, Aiden sangat mencintai mereka berdua …     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.