Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Satu Kamar



Satu Kamar

0"Kamu yang berinisiatif ingin bercinta dengan Aiden semalam. Bagaimana rasanya bercinta di bawah pengaruh alkohol? Apakah rasanya lebih menggairahkan?" tanya Tara dengan tidak tahu malu.     

"Mengapa kamu menanyakan banyak hal? Apakah kamu sedang cari pacar?" goda Anya sambil berusaha untuk menutupi rasa malunya.     

Meski sudah digoda seperti itu pun, Tara sama sekali tidak malu. "Aku penasaran karena belum pernah mencobanya. Bagaimana rasanya?"     

"Tara sepertinya kamu memang benar-benar butuh pacar!" Anya tertawa terbahak-bahak melihat sahabatnya itu.     

"Siapa yang butuh pacar?" pada saat itu, suara Nico terdengar dari pintu.     

Tara menoleh ke belakang dan melihat pintu kamarnya terbuka. Setelah itu ia memelototi Anya karena saat mereka masuk ke dalam kamar, Anya masuk paling terakhir. "Mengapa kamu tidak menutup pintunya?"     

"Aku sudah menutup dan menguncinya!" Anya juga terlihat bingung.     

Nico melambaikan kunci berbentuk kartu di tangannya. "Aku membuka pintunya sendiri."     

"Bagaimana kamu bisa memiliki kunci kamarku?" tanya Tara dengan heran.     

Bagaimana kalau Nico masuk di tengah malam saat ia sedang tidur?     

Bukankah itu ...     

"Hari ini ada rombongan tur yang datang sehingga kamarnya penuh. Hanya satu kamar ini saja yang tersisa. Aku akan tidur di kamar ini malam ini," kata Nico sambil meletakkan tasnya.     

"Bukankah kamu sedang bersama dengan Raka? Kamu bisa tidur di kamarnya," kata Tara sambil mengerutkan keningnya.     

"Raka sudah check out dari hotel ini tadi pagi," kata Nico, kemudian ia menatap Anya. "Bibi, apakah kamu pamer kemesraanmu dengan paman dan membuat Raka sakit hati?"     

"Kalau aku bilang tidak, apakah kamu akan percaya?" Anya mengedikkan bahunya dengan pasrah. Ia dan Aiden memang memiliki hubungan yang sangat baik. Anya tidak berniat memamerkan kemesraan mereka, tetapi di mata orang luar, mereka memang terlihat sangat mesra.     

"Kalau tidak, Raka tidak akan pulang secepat ini. Sekarang aku tidak punya tempat tinggal gara-gara paman dan bibi. Tara, kamar ini kan punya dua tempat tidur," kata Nico sambil menunjuk tempat tidur di dekat pintu. "Aku akan tidur di sini malam ini dan melindungimu."     

Bibir Tara terlihat mengerucut saat ia berkata dengan kesal. "Kalau kamu tidur di sini, aku malah akan berada dalam bahaya."     

"Lalu apa yang harus aku lakukan? Tidur di lobby hingga pagi?" Nico mengatakannya sambil merapikan barang bawaannya.     

"Anya, bisakah kamu bicara pada Aiden agar kamu tidur di sini malam ini? Biar Nico tidur bersama dengan Aiden ..."     

"Aku tidak mau tidur bersama dengan paman. Ia pasti akan menyiksaku semalaman," Nico langsung menyelanya.     

"Aku tidak mau tahu. Pokoknya aku tidak mau tidur bersama denganmu," kata Tara sambil memelototi Nico.     

"Bagaimana kalau kita menunggu terlebih dahulu dan memesan kamar pada resepsionis? Siapa tahu ada yang keluar setelah makan siang," saran Anya.     

Tara langsung mengangguk, "Anya, kalau benar-benar tidak ada kamar malam ini, aku akan tidur bersamamu."     

Anya setuju. Hari ini ia benar-benar kelelahan dan tidak berani tidur bersama dengan suaminya lagi.     

Tara menghela napas lega. "Aku harap akan ada kamar kosong agar aku tidak memisahkanmu dari Aiden. Kalau tidak, suamimu akan benar-benar membenciku."     

Nico mengeluarkan baju renang dari tasnya dan berkata, "Aku akan pergi ke tempat paman."     

"Berikan kunci kamarku," Tara langsung menghentikan Nico. Selama Nico masih memegang kunci kamarnya, Tara tidak akan merasa aman.     

Nico hanya tersenyum saat bertanya dengan sengaja. "Tara, apakah kamu takut padaku?"     

"Mengapa aku harus takut padamu? Di kamar ini hanya ada wanita. Kalau kamu memegang kunci kamar ini, kita tidak bisa merasa aman," Tara membawa-bawa nama Anya.     

Anya hanya ingin Nico segera pergi dari kamar ini. Tubuhnya benar-benar sakit semua dan ia ingin bersantai dengan Tara.     

"Nico, tinggalkan kunci kamarnya. Kalau kamu ingin kembali, kamu bisa meneleponku," kata Anya.     

"Bibi, kalau aku tidak membawa kartuku, bagaimana aku bisa turun? Untuk menggunakan akses lift, harus ada kartu ini," kata Nico dengan tidak berdaya.     

"Kalau begitu, nanti kalau kamu mau masuk ke kamar, ketuklah pintunya dulu. Jangan langsung masuk. Bagaimana kalau kami sedang berganti baju saat kamu masuk?" Anya mengerutkan keningnya.     

Nico hanya bisa menggaruk kepalanya, terlihat sedikit malu. "Aku ingat, aku ingat. Aku akan mengetuk pintu dulu lain kali."     

"Pergilah," gerutu Tara dengan kesal.     

Begitu Nico pergi, Tara langsung bangkit berdiri dan mengunci pintunya.     

Anya hanya tertawa melihat kekesalan Tara. "Tara, apakah kamu takut pada Nico? Atau takut kamu tidak bisa mengendalikan dirimu saat bersama dengannya?"     

"Apa yang kamu bicarakan? Aku hanya ingin tahu antara hubungan pria dan wanita, bukannya aku ingin cari pacar," kata Tara sambil menepuk tempat di sampingnya.     

Mereka bersantai di atas tempat tidur sambil mengobrol.     

"Aku harap kamu dan Nico bisa bersama agar aku bisa sering melihatmu. Saat liburan, kita bisa pergi bersama-sama juga," kata Anya setengah bercanda.     

Tara diam sejenak dan kemudian berkata, "Kakak seniorku saat kuliah dulu baru saja kembali ke Indonesia. Aku ingin mencoba untuk mengenalnya lebih dekat. Kakekku juga setuju kalau aku mencari pacar dengan profesi yang sama denganku."     

Ketika mendengar hal ini, Anya merasa khawatir terhadap Tara.     

Tara dan kakak kelasnya memiliki profesi yang sama. Obrolan mereka pasti lancar karena minat mereka pada bidang yang sama. Kalau hubungan mereka semakin dekat, bagaimana nasib Nico?"     

"Kakekmu setuju kalau kamu mencari pacar dokter. Tetapi bagaimana denganmu?" tanya Anya.     

"Aku tidak tahu apakah aku bisa menemukan pria yang aku cintai. Aku juga tidak tahu apakah akan ada pria yang mencintaiku," kata Tara dengan pesimis.     

"Aku berharap kamu bisa menemukan yang terbaik," kata Anya sambil tersenyum.     

Ia benar-benar mengharapkan yang terbaik untuk sahabatnya ini.     

Meski bukan bersama dengan Nico sekalipun, Tara juga berhak untuk hidup dengan bahagia ...     

...     

Setelah keluar dari kamar Tara, Nico tidak mencari Aiden, melainkan Raka.     

Sebenarnya Raka masih belum check out dari hotel. Tetapi untuk bisa tinggal bersama dengan Tara, Nico sengaja berbohong.     

Kalau ia tidak berbohong seperti ini, Tara pasti akan langsung mengusirnya ke kamar Raka.     

Setelah sarapan, Raka langsung pergi keluar untuk berjalan-jalan. Nico sudah berusaha untuk menghubunginya, tetapi Raka tidak juga kembali.     

Nico hanya bisa tidur-tiduran di kamar Raka sambil memainkan ponselnya, menunggu kedatangan Raka.     

Beberapa saat kemudian, Raka kembali dan langsung mandi.     

Ia keluar dengan rambut yang masih basah. Salah satu tangannya mengusap rambut basahnya itu dengan handuk. "Aku dengar hari ini ada rombongan tur yang datang. Katanya akan ada acara api unggun di malam hari."     

"Sebelum aku tiba di tempat ini, aku dengar tunanganmu menghilang. Apakah kamu mau kembali dan mencarinya?" tanya Nico.     

Raka terus mengusap rambutnya dengan tidak peduli. "Natali bukan penakut. Sejak kecil ia memang anak yang cerdas. Ia berulang kali menipu Anya dan memanfaatkan Raisa. Supirku sudah memeriksa CCTV dan mengatakan bahwa Natali sengaja pergi sendiri. Ia hanya berpura-pura menghilang dan bersembunyi, memaksaku untuk kembali."     

"Tunanganmu terlalu licik. Aku tidak bisa membayangkan betapa melelahkannya menghadapi wanita seperti itu. Dari pagi hingga sore kamu sibuk bekerja di perusahaan. Saat pulang, kamu masih harus menghadapi calon istri seperti itu," memikirkannya saja membuat Nico merasa pusing.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.