Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Menunggu



Menunggu

0"Nico jatuh cinta pada Lisa dan kita harus mendukungnya," kata Aiden.     

Nico langsung melotot ke arah pamannya. Pamannya bukan membantunya, tetapi malah semakin memperkeruh kesalahpahaman di antara mereka.     

Ia langsung menjelaskan. "Bukan seperti itu, Tara. Bayi di perut Lisa bukan anakku. Keluarganya tidak merestui hubungannya dengan ayah dari bayi itu dan aku hanya membantu Lisa."     

Tara mengabaikan penjelasan Nico dan menunjuk ke arah kotak obat di dekat tempat tidur. "Bawakan kotak obatku ke sini. Aku butuh obat pencernaan."     

"Obat pencernaan? Kamu kekenyangan?" Nico baru menyadari mengapa Tara bersandar di sofa dengan posisi yang aneh. Ternyata semua karena perutnya terlalu penuh dengan makanan.     

"Semua ini salahmu," keluh Tara dengan suara pahit. "Kamu tidak segera datang dan membantuku untuk makan. Anya sedang tidak nafsu makan dan juga tidak bisa membantuku. Pamanmu bilang menyia-nyiakan makanan itu tidak baik. Kalau aku tidak bisa menghabiskannya, aku harus membayar semuanya." Wajah Tara terlihat kesal karena sekarang perutnya benar-benar penuh.     

Nico berusaha untuk menyembunyikan tawanya. Jelas sekali Tara tidak mau membayar sehingga ia berusaha sekuat tenaga untuk memasukkan semua makanan ke dalam mulutnya.     

Ia segera mengambil kotak obat milik Tara dari samping tempat tidur. Tara langsung mengeluarkan obat pencernaan dan meminumnya tanpa ragu-ragu.     

"Tara, apa kamu dengar apa yang aku katakan tadi?" Nico duduk di samping Tara.     

"Jangan dekat-dekat denganku. Aku sedang mual," kata Tara, mendorong tubuh Nico untuk menjauh darinya.     

Tetapi Nico tidak peduli meski Tara mengusirnya. "Anak yang dikandung oleh Lisa benar-benar bukan anakku," kata Nico.     

"Aku bukan keluargamu dan juga bukan kekasihmu. Kamu tidak perlu menjelaskan apa pun kepadaku. Aku tidak peduli terhadap anak Lisa. Setelah kamu menikah, aku juga akan menikah," kata Tara dengan tenang.     

Anya hanya bisa menatap Nico dengan kasihan. Karena ia tahu seberapa besar perjuangan Nico untuk mendapatkan kebebasan agar bisa bersama dengan Tara, wanita pilihannya.     

"Tara, di hadapan paman dan bibiku, aku berjanji tidak akan menikah dengan Lisa atau wanita mana pun. Aku tidak akan mengampunimu kalau kamu menikah dengan orang lain, tidak peduli siapa pria itu," kata Nico.     

Tara tidak menjawab kata-kata Nico. Ia hanya menatap Aiden dan bertanya. "Aiden, apakah ada yang ingin kamu katakan?"     

"Kamu bisa memilih untuk menunggunya atau meninggalkannya. Kalau kamu menemukan kebahagiaanmu sendiri, Keluarga Atmajaya tidak akan pernah membiarkan Nico mengganggumu," janji Aiden.     

"Paman!" Nico menatap Aiden dengan tajam. "Kamu yang menyuruhku untuk melakukan semua ini agar aku bisa bersama dengan Tara. Aku bersedia menjadi ayah dari anak Lisa untuk sementara, hanya demi mendapatkan saham dari kakek! Tetapi apa gunanya saham itu, kalau aku tidak bisa bersama dengan Tara? Apa gunanya uang?"     

Tara tertawa, tetapi tawanya itu terdengar hambar. "Aku adalah orang yang pragmatis. Selain makanan, aku juga cinta uang. Kalau kamu meninggalkan Keluarga Atmajaya, aku tidak akan pernah mau kawin lari denganmu. Apa jadinya kamu tanpa Keluarga Atmajaya."     

Tara adalah wanita yang cerdas dan rasional. Satu-satunya hal yang diinginkan oleh Tara di dunia ini hanyalah hidup dengan nyaman. Dan untuk mencapai itu, ia membutuhkan uang sebanyak-banyaknya.     

Tanpa nama Keluarga Atmajaya, Nico bisa jadi apa? Ia masih kekanakan. Semasa hidupnya ia selalu bergantung pada Aiden dan keluarganya. Ia sama sekali tidak mandiri dan tidak bisa berjuang seorang diri …     

"Aku tidak akan meninggalkan Keluarga Atmajaya. Tetapi aku juga tidak akan menyerah untuk mendapatkanmu," kata Nico.     

"Aku tidak mau tahu apa rencanamu. Jangan pernah melibatkan aku. Toh aku sudah berjanji padamu, kalau kamu belum menikah, aku juga tidak akan menikah. Apakah kamu puas? Kata Tara.     

"Selama kamu bersedia menungguku, aku tidak akan pernah mengecewakanmu," Nico menganggap janji Tara itu adalah sebuah harapan baginya.     

"Tara, kalau Nico seumur hidup tidak menikah, apakah kamu juga tidak akan menikah?" tanya Anya.     

Tara menghela napas panjang mendengar pertanyaan Anya. "Apa yang bisa aku lakukan? Nico tidak akan membiarkan aku hidup dengan tenang kalau aku menikah terlebih dahulu. Aku akan menunggu hingga suatu hari nanti ia tidak lagi tertarik padaku," suara Tara terdengar acuh tak acuh saat mengatakannya.     

Anya tertegun saat mendengarkan jawaban Tara.     

Nico memang benar-benar menyukai Tara, tetapi ia masih belum memahami apakah perasaannya itu hanya sebatas cinta monyet, dangkal atau memang benar-benar cinta sejati.     

Ditambah lagi, Nico tidak bisa mengejar Tara secara terang-terangan dengan statusnya saat ini.     

Ia tidak bisa memberi harapan bagi Tara, tetapi ia juga tidak membiarkan Tara menyukai orang lain.     

Apa yang bisa Tara lakukan di kondisi seperti ini? Satu-satunya yang bisa Tara lakukan adalah menunggu.     

Menunggu apakah Nico benar-benar akan menepati janjinya untuk bersama dengan Tara …     

Atau menunggu hingga suatu hari nanti, Nico sudah tidak menyukainya lagi …     

"Apakah kamu sudah dengar betapa kekanakannya kamu?" dengus Aiden dengan dingin.     

"Tara, apakah kamu benar-benar berpikir seperti itu tentangku?" Nico menatap Tara dengan sedih.     

Tara hanya membalas tatapan itu dengan senyum tipis. "Aku selalu menganggapmu sebagai sahabat. Jadi, aku berjanji tidak akan menikah sebelum kamu menikah. Tidak peduli siapa pun yang kamu nikahi pada akhirnya, aku akan tetap menjadi temanmu. Aku harap kamu bahagia, apa pun pilihanmu."     

Mendengar jawaban Tara, Nico hanya bisa merasa frustasi. "Aku tidak peduli. Yang penting kamu bersedia menungguku. Aku tegaskan sekali lagi bahwa anak di kandungan Lisa bukanlah anakku!" Setelah mengatakannya, Nico berbalik pergi dengan marah.     

Anya dan Tara hanya bisa memandang Nico dengan pasrah. Sementara Aiden menggeleng-gelengkan kepalanya.     

Setelah minum obat, perut Tara sudah jauh lebih baik sehingga ia mulai membereskan barang-barangnya. "Aku akan pulang. Istirahatlah selama satu atau dua hari dan kamu akan pulih."     

"Tara, terima kasih sudah mau datang," kata Anya.     

"Aiden kan sangat kaya. Aku tidak punya alasan untuk menolak uang. Bukankah begitu?" Tara mengedikkan bahunya sambil tersenyum pada sahabatnya.     

Melihat hal itu, Anya tertawa kecil. "Kalau aku sudah sembuh, aku akan mengundangmu untuk makan," Anya begitu mengenal Tara dengan baik. Selain uang, hal yang bisa membuat Tara bahagia adalah makanan.     

"Benarkah? Aku akan menunggu telepon darimu!" Tara membawa kotak obatnya dan berkata sebelum pergi, "Aku pulang dulu."     

Aiden hanya sedikit mengangguk saat mendengarnya.     

Setelah Tara pergi, Aiden kembali duduk ke sofa dan memeluk tubuh istrinya dengan lembut. Anya menyandarkan tubuhnya yang masih lemah di pelukan Aiden sambil memejamkan matanya.     

Kepala Anya terangkat di pelukan suaminya. "Aiden, apakah Tara dan Nico tidak bisa bersama?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.