Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Istri yang Buruk



Istri yang Buruk

0"Aiden, aku … Aku tidak berani," kaki Anya berhenti melangkah, tidak berani masuk ke ruangan tersebut meski sudah di depan mata.     

Wajah tampan Aiden tampak memancarkan ekspresi yang rumit. Istri kecilnya selama ini bertahan hidup dengan gigih dan kuat, tetapi saat ini ia tampak sangat rapuh.     

Ia bahkan sama sekali tidak berani untuk melihat hasil tes apakah ia benar-benar putri ibunya, meski sudah mengumpulkan keberaniannya semalaman penuh.     

Karena semakin kamu peduli pada seseorang, kamu akan semakin takut untuk kehilangannya.     

Aiden merangkul pundak Anya dan berusaha untuk menghiburnya, "Aku akan membantumu melihatnya terlebih dahulu."     

"Aku … Aku tidak ingin tahu. Ayo kita pulang saja," Anya tersental. Ia takut kalau dokter yang memeriksa sampel darah tersebut mengatakan bahwa ia bukan putri ibunya.     

Mereka telah hidup berdua selama ini, bertahan untuk menjalani setiap hari bersama-sama, mendukung satu sama lain agar tidak menyerah. Tetapi kalau ia bukan putri ibunya, apa yang harus ia lakukan?     

"Meskipun kamu tidak ingin tahu hasilnya, kamu harus mengambil laporan tersebut. Kamu tidak bisa meninggalkannya di rumah sakit karena itu bersifat pribadi," kata Aiden.     

Anya mengangguk.     

"Kamu benar. Itu hasil tes DNA. Tidak baik kalau hasilnya ditinggalkan di sini dan diketahui orang lain," Anya menggandeng tangan Aiden dan memutuskan untuk melangkah masuk.     

Melihat Aiden datang, dokter yang berada di dalam ruangan sedikit mengangguk, memberi isyarat bahwa mereka sudah mengganti hasil yang baru sesuai dengan permintaanya.     

Aiden mengambil amplop dokumen dengan logo rumah sakit itu dan segera meninggalkan rumah sakit.     

Mereka mengenakan topi, kacamata dan masker, sehingga tidak ada orang yang tahu siapa mereka. Mereka bergegas pergi dari tempat tersebut, menuju ke mall milik Aiden.     

Di sana, pengawal Aiden sudah menunggu mereka dengan mobil yang biasa mereka gunakan dan baru mereka pulang.     

"Hari ini hari senin. Aku harus kembali ke kantor untuk rapat. Kamu ingin pulang atau pergi bersamaku ke kantor?" tanya Aiden. Ia merasa khawatir harus meninggalkan Anya sendirian.     

Anya menatap wajah suaminya. Aiden menemaninya semalaman di rumah sakit meski ia harus bekerja hari ini. Pekerjaannya pasti menumpuk dan ia juga harus mandi dan berganti pakaian di kantor.     

Anya tidak mau mengganggunya …     

"Aku akan mengantarmu ke kantor terlebih dahulu lalu pulang dan bersiap-siap untuk kembali kuliah besok," Anya memikirkan bahwa besok ia akan kembali kuliah, tetapi ia belum menyiapkan apa pun.     

Aiden menatap Anya, "Kamu tidak perlu mempersiapkan apa pun. Begitu kamu mulai kuliah, kita akan pindah ke apartemen yang lebih dekat dengan kantorku."     

"Kalau kamu tidak takut menderita tinggal berdua bersamaku, aku tidak keberatan bangun lebih siang di pagi hari," Anya tersenyum tipis.     

Tetapi Aiden tahu bahwa senyum Anya itu terlihat sedikit dipaksakan. Ia tahu bahwa Anya sedang memikirkan mengenai hasil tes yang ada di pangkuan Aiden saat ini. Matanya sesekali melirik ke arah hasil tes tersebut, tetapi tidak mau membukanya.     

Aiden merasa bahwa Anya butuh waktu sendiri untuk melihat hasil itu …     

"Ketika aku bersamamu, tidak ada yang namanya menderita. Setiap saat terasa manis," Aiden menyerahkan amplop dokumen berwarna cokelat itu pada Anya. "Kamu bisa melihat hasilnya sendiri. Kalau kamu tidak mau lihat, simpan dokumen ini di brankasku."     

"Baiklah," Anya mengambil amplop cokelat itu dan memegangnya erat-erat.     

Mobil mereka tiba di depan perusahaan Atmajaya Group. Begitu Aiden turun dari mobil, ia melihat Nico baru saja datang dengan mengendarai Ferrari berwarna emas.     

Melihat pamannya juga baru datang, Nico langsung menghampiri dengan bersemangat. Tetapi ia merasa heran melihat kemeja yang dikenakan oleh Aiden tampak kusut. Ia melongok dan menemukan Anya sedang duduk di kursi belakang mobil. "Paman, apa yang kamu dan bibi lakukan di mobil? Mengapa bajumu kusut seperti itu?" goda Nico.     

Anya tersedak saat mendengarnya. Nico benar-benar tidak punya filter. Semua yang ia pikirkan langsung terucap dari mulutnya.     

"Apakah kontrak dengan Perusahaan Mahendra sudah ditandatangani?" tanya Aiden, mengabaikan komentar Nico.     

Wajah Nico langsung berubah. Ia tersenyum dengan sedikit canggung, "Kontrak itu akan segera ditandatangani minggu ini. Keluarga Mahendra pasti jauh lebih gelisah dibandingkan kita."     

Tatapan Aiden terlihat tidak bisa ditebak saat ia berkata, "Kalau kamu tidak bisa menandatangani kontrak itu, tanah Deny akan segera dijual kepadaku."     

"Paman, apa maksudnya? Apakah ada sesuatu yang tidak aku tahu?" Nico merasa bingung.     

Aiden bahkan tidak perlu repot-repot memandangnya dan langsung berjalan menuju ke kantornya.     

Nico langsung mengetuk jendela mobil Anya, "Bibi, ada apa?"     

Anya menurunkan jendela mobilnya dan menatap Aiden yang sudah berjalan cukup jauh. "Aku tidak tahu. Mungkin ada hubungannya dengan penculikanku."     

"Bibi diculik? Apakah bibi baik-baik saja?" Nico melihat Anya dari atas kepala hingga ke ujung kaki, memastikan bahwa tidak ada luka sama sekali di tubuh bibinya.     

"Bu Mona menyuruh seseorang untuk menculikku dan mengambil sampel darahku untuk dicocokkan dengan ayah," kata Anya.     

"Bukankah Natali sudah menjalani tesnya dan berhasil? Mengapa mereka masih ingin mengambil sampel darahmu? Tunggu … Tunggu … Mereka menculikmu dan mengambil darahmu secara paksa. Bukankah itu melanggar hukum? Apakah mereka sudah ditangkap?"     

"Hmm …" Anya mengangguk.     

"Kalau begitu, Keluarga Tedjasukmana tidak akan menjual tanah itu pada kita. Mereka akan menjual tanah itu pada Keluarga Mahendra untuk memastikan bahwa Natali akan menjadi istri Raka. Mona pasti lebih memilih untuk pergi ke penjara dari pada menghancurkan masa depan putrinya," kata Nico dengan serius.     

"Mereka bisa menculikku dan mengambil darahku secara paksa, tetapi aku tidak akan pernah melakukan apa yang mereka inginkan. Mulai saat ini, aku sudah tidak memiliki hubungan apa pun dengan Keluarga Tedjasukmana. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku saat berhadapan dengan mereka," kata Anya dengan acuh tak acuh.     

Anya kembali teringat penderitaannya selama bertahun-tahun. Di keluarga itu, ia merasa seperti anak yang tidak dianggap.     

Dulu, ia merasa sedih dan haus akan kasih sayang ayahnya. Tetapi sekarang ia sudah tahu bahwa ia tidak memiliki hubungan darah dengan Deny dan hal itu membuatnya merasa jauh lebih lega.     

Deny tidak pernah sekalipun menjalankan tugasnya sebagai sorang ayah. Dan ia juga tidak memilih hubungan darah dan perasaan apa pun terhadap Anya.     

Oleh karena itu, Anya memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengannya di masa depan.     

"Keluarga Tedjasukmana sudah gila. Mereka tahu bahwa bibi adalah kekasih paman, tetapi mereka masih berani melakukan hal ini. Sepertinya mereka sudah lupa pelajaran yang pamanku berikan pada Natali sebelumnya," cibir Nico dengan kesal.     

Anya tidak ingin membahas mengenai Keluarga Tedjasukmana lagi. Semalam ia tidak bisa tidur dengan nyenyak dan sekarang ia benar-benar ingin istirahat.     

"Nico, pergilah bekerja. Tidak usah memberitahuku apa pun mengenai Keluarga Tedjasukmana lain kali," kata Anya dengan suara pelan.     

"Baiklah, Bibi. Hati-hati di jalan," Nico bisa melihat Anya kelelahan dan langsung berpamitan padanya.     

Sekitar pukul delapan pagi, Anya tiba di rumah. Hana langsung menyambut kedatangannya. Melihat wajah Anya yang kusut dan muram, Hana langsung merasa khawatir. "Anya, ada apa? Apakah kamu baik-baik saja?"     

"Aku baik-baik saja. Aku ingin segera mandi dan sarapan," kata Anya sambil tersenyum tipis.     

Dua puluh menit kemudian, Anya turun dengan mengenakan pakaian rumah yang santai. Kemarin malam, rintik-rintik hujan mulai turun, membuat bunga-bunga mawar yang ada di taman mekar dengan indah.     

Hana langsung membawakan semangkuk bubur untuk Anya. Selain itu, ia juga menggoreng daging dan juga membawa berbagai macam sayuran untuk Anya.     

Anya melihat berbagai macam sayuran yang menghiasi meja dengan heran. "Mengapa hari ini ada banyak sekali sayuran?" tanyanya.     

"Kemarin, Aiden pulang ke rumah ibunya dan bertemu dengan pelayan di sana. Pelayan itu yang menanam sayuran ini dan memberikannya pada Aiden," kata Hana.     

"Aiden kembali ke rumah ibunya?" Anya tidak mengetahui hal itu.     

Ia terlalu sibuk dengan masalahnya sendiri sehingga tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh Aiden.     

Aiden kembali ke rumah ibunya. Apa yang ia lakukan di sana? Anya merasa bahwa dirinya adalah istri yang buruk saat mendengar hal ini dari Hana.     

Hana bahkan tahu lebih banyak darinya, padahal ia adalah istri Aiden …     

"Ketika Tuan Ivan pulang ke Indonesia, Nyonya Imel tiba-tiba saja ingin menikah dengan Tuan Bima. Jadi, Aiden pergi ke rumah ibunya untuk mencari tahu mengenai kematian ibunya. Ia ingin memastikan apakah kematian ibunya ada hubungannya dengan Nyonya Imel atau tidak," kata Hana.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.