Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Sekretaris Cantik



Sekretaris Cantik

0"Tidak akan ada hari itu!" pintu ruang rapat yang tertutup tiba-tiba saja didorong dari luar.     

Setelah mendengar suara itu, Nico dan Keara langsung berbalik dan melihat ke arah pintu.     

Ia melihat sosok Anya yang cantik dan menawan berdiri di ambang pintu. Ia berdiri dengan tegak dengan tatapan dingin saat memandang wajah Keara.     

"Apa katamu?" Keara menatapnya dengan terkejut.     

"Aku bilang, kamu tidak akan pernah bisa kembali ke sisi Aiden. Hari-hari yang kamu dambakan itu hanyalah mimpimu karena hari itu tidak akan pernah ada. Aiden hanya mencintaiku," kata Anya dengan dingin.     

Bibirnya sedikit melengkung membentuk senyum sinis seolah merendahkan Keara.     

"Anya, apakah kamu pernah berkaca? Apakah kamu tidak merasa bersalah mengatakannya?" cibir Keara.     

"Keara, mungkin kamu tidak tahu. Tetapi ketika aku berhubungan dengan Aiden, ia tidak bisa melihat. Ia tidak tahu bagaimana rupaku. Kalau kamu tidak percaya, coba suruh orang-orangmu untuk mencari tahu. Kalau saja Aiden masih dalam keadaan seperti itu, kamu tidak akan mau bersamanya," Anya menjawabnya dengan tersenyum manis, sama sekali tidak takut dengan hinaan Keara.     

Nico mengangkat dua tangannya dan memberikan kedua jempolnya pada Anya. Bibi kecilnya melawan wanita gila ini dengan sangat mengesankan!     

"Bohongi saja dirimu sendiri," Keara mendengus dan meninggalkan ruangan itu.     

Setelah Keara masuk ke dalam lift dan sosoknya sudah tidak terlihat lagi, akhirnya Anya bisa bernapas lega. Ia menyandarkan tubuhnya di pintu dengan lemah. Sosoknya yang galak dan menyeramkan sudah tidak terlihat. "Nico, apakah aku salah bicara tadi?"     

"Tidak, Bibi. Kamu sangat keren!" pandangan Nico terhadap Anya sungguh berubah.     

"Aku tidak akan bersikap sopan pada wanita jahat yang mau merebut suamiku," Anya mengatakannya sambil cemberut.     

"Keara mau membatalkan pertunangannya dengan Paman Ivan. Bibi harus berhati-hati. Ia tidak akan menyerah begitu saja," kata Nico.     

Anya mengerutkan keningnya. "Wanita itu sungguh egois. Memangnya apa salah pamanmu sehingga ia mau membatalkan pertunangannya?"     

"Bukankah itu malah bagus?" Nico terkekeh. "Apakah bibi tahu bagaimana sifat paman keduaku? Paman Ivan adalah pria yang sangat baik. Mengapa pria baik seperti itu harus menikah dengan wanita seperti Keara …"     

Anya mengangguk, "Ivan memang orang baik. Ia selalu memperhatikan orang lain dan menjaga kita semua."     

"Jangan katakan itu di hadapan Paman Aiden," kata Nico.     

Baik Ivan mau pun Aiden adalah pamannya, dan mereka berdua sangat baik padanya. Ia benar-benar berharap suatu hari nanti kedua pamannya itu bisa akur.     

Tetapi kalau Ivan memang berniat untuk bersaing dengan Aiden untuk memperebutkan Atmajaya Group, Nico akan selalu berada di sisi Aiden.     

Anya tertawa. "Aku tahu. Aku akan berhati-hati."     

"Paman sangat peduli padamu. Saat Keara datang, ia langsung menghindarinya dan memintaku untuk menemui wanita itu. Tidak peduli apa pun yang Keara katakan, aku harap bibi akan selalu percaya diri dan kuat seperti tadi," kata Nico.     

"Baiklah," Anya mengangguk sambil tersenyum pada Nico.     

"Aku akan membawamu ke kantor paman. Ia pasti senang melihat bibi datang," Nico bangkit berdiri dari kursinya dan merentangkan kedua tangannya. Kemudian, mereka berdua keluar dari ruang rapat dan menuju ke kantor Aiden.     

"Terima kasih sudah mendukungku kemarin malam. Kalau aku tidak menemuinya, mungkin aku akan tetap merasa ragu. Nico, kamu berjasa besar untukku dan pamanmu," kata Anya dengan penuh rasa terima kasih.     

Nico menggaruk kepalanya, merasa malu mendengar pujian dari bibinya. "Aku hanya menyampaikan informasinya kepada bibi dan sisanya adalah usahamu sendiri."     

"Pokoknya aku berterima kasih padamu. Kalau kamu butuh bantuan apa pun, katakan saja padaku," kata Anya.     

Nico berpikir sejenak dan kemudian berkata, "Aku akan bertemu dengan seseorang dan bertunangan dengannya. Walaupun aku tidak tahu apa yang Tara pikirkan, setelah bertunangan, aku tidak akan bisa menemuinya sebebas dulu. Kalau ia sedang sedih, aku harap bibi bisa menemaninya."     

"Tidak ada salahnya kalau kamu ingin bersama dengan wanita yang kamu cintai. Tetapi aku harap kamu tidak menyakiti hati wanita lain. Kalau kamu menyakiti hati wanita lain untuk kembali pada Tara, Tara pasti akan langsung menolakmu," kata Anya.     

"Wanita yang akan bertunangan denganku juga memiliki kekasih. Ia hanya membutuhkan tunangan di atas kertas, sesuai dengan keinginanku," kata Nico dengan senyum pahit. "Kita semua ada orang-orang yang dipermainkan oleh takdir."     

"Nico, percayalah pada pamanmu. Ia sudah berjanji untuk memberikanmu kebebasan memilih dan ia pasti akan menepati janjinya," hibur Anya.     

Ia tidak tahu harus melakukan apa selain menghibur Nico karena Nico tidak akan bisa lari dari takdirnya ini.     

Nico tidak bisa menolak untuk bertunangan, tetapi ia juga takut wanita yang dicintainya tidak mau menunggunya lagi!     

Anya tidak berani memikirkan kemungkinan terburuknya. Kalau nanti Nico sudah mendapatkan kebebasannya, tetapi Tara sudah menikah, apa yang akan ia lakukan?     

"Pamanku membantuku untuk mendapatkan kebebasan, jadi aku butuh bantuan bibi untuk menjaga Tara agar tidak ada pria lain yang merebutnya dariku," kata Nico sambil tertawa.     

Anya langsung menyadari. Ia memutar bola matanya saat menatap Nico. "Jadi, kamu bukan ingin aku menemani Tara, tetapi menjaganya agar ia tidak kabur ke pelukan pria lain?"     

"Benar sekali! Ha ha ha …" tawa Nico.     

Anya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, tetapi bibirnya menyunggingkan senyum. "Aku akan berusaha untuk membantumu. Lagi pula, aku juga menyukai Tara."     

"Terima kasih, Bibi," sambil berbincang-bincang, tidak sadar mereka sudah tiba di depan kantor Aiden.     

Tubuh tinggi Nico sengaja menutupi tubuh mungil Anya dan bertanya. "Paman, ada orang yang datang untuk melamar menjadi sekretarismu. Apakah kamu mau menemuinya?"     

"Aku tidak membutuhkan sekretaris." Aiden mengangkat kepalanya dari meja dan menatap ke arah Nico. "Apakah wanita itu sudah pergi?"     

Nico mengangguk. "Meski Paman Galih datang untuk memohon sekali pun, jangan berbelas kasih!" Nico sudah tidak sabar untuk membeli perusahaan Keluarga Pratama bersama dengan Aiden.     

Bibir Aiden sedikit melengkung. Nico tidak tahu berapa banyak persiapan yang dibutuhkan untuk mengakuisisi perusahaan sebesar perusahaan Keluarga Pratama.     

Tetapi ia percaya Aiden bisa melakukannya dalam waktu singkat.     

Ia percaya pada Aiden, seperti ia percaya bahwa matahari akan selalu terbit dari timur.     

Aiden tidak memberitahu pada Nico bahwa walaupun ia bisa membuat saham perusahaan Keluarga Pratama turun drastis semalam, ia tidak bisa mengakuisisinya dengan mudah.     

"Aku punya rencana sendiri. Kalau tidak ada yang lain, kembalilah bekerja," kata Aiden dengan dingin.     

"Paman, wanita yang ingin melamar jadi sekretarismu sangat cantik. Apakah kamu benar-benar tidak menginginkannya?" tanya Nico dengan sengaja.     

Aiden mengangkat alisnya. "Apakah kamu memasukkan temanmu ke perusahaan ini?"     

"Temanku sudah mau lulus kuliah. Ia tidak punya tempat magang lain. Bagaimana kalau kamu melihatnya dulu dan baru menentukannya?" Nico terus berpura-pura.     

Baru saat ini Aiden memandang Nico dengan seksama. Ia bisa melihat seorang wanita mengenakan rok selutut sedang bersembunyi di balik tubuh Nico.     

Ia mengenal rok itu …     

"Aku sudah punya sekretaris," jawabnya dengan dingin.     

"Kapan paman mendapatkan sekretaris? Mengapa aku tidak tahu?" tanya Nico dengan terkejut.     

"Anya, kemarilah," kata Aiden. Suaranya terdengar jauh lebih lembut.     

Anya melongok dari belakang tubuh Nico dan bertanya dengan penasaran. "Bagaimana kamu bisa tahu itu aku?"     

Ia terlihat sangat manis saat mengintip dari belakang tubuh besar Nico seperti ini. Wajahnya terlihat sangat cerah, seperti matahari yang meluluhkan hati dingin Aiden.     

"Telepati," Aiden melambaikan tangannya pada Anya. Anya langsung berlari ke arah suaminya sambil tersenyum, melemparkan tubuhnya di pelukan Aiden.     

Nico tersenyum dan geleng-geleng melihat kelakuan paman dan bibinya yang seperti pasangan muda dimabuk cinta. Dengan sadar diri, ia langsung keluar dan menutup pintu kantor Aiden.     

Ketika ia masuk ke dalam lift, ia melihat Harris datang membawa sebuah dokumen. "Bibiku ada di dalam. Kalau tidak ada yang mendesak, jangan ganggu mereka!"     

"Mengapa Nyonya datang?" wajah Harris terlihat sedikit muram.     

"Ketika kuliah dimulai, bibi akan magang di perusahaan ini. Kamu akan lebih sering melihat kemesraan mereka di perusahaan. Bukankah itu tidak menyenangkan?" Nico memutar bola matanya dan sengaja menggoda Harris, tetapi bibirnya tetap tersenyum senang.     

"Kalau Nyonya bekerja di perusahaan ini, apakah Tuan masih bisa menyelesaikan semua pekerjaannya?" Harris mengerutkan keningnya.     

Sepertinya, hari-hari beratnya sebagai seorang asisten akan segera dimulai …     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.