Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Pakaian Santai



Pakaian Santai

"Bibi juga berasal dari keluarga yang sederhana. Tetapi hubungannya dengan paman sangat bahagia," kata Nico dengan terang-terangan di hadapan Anya.     

Anya menatap Nico dalam diam. Mulutnya yang masih mengunyah nasi, tiba-tiba saja berhenti bergerak. Tubuhnya langsung menegang.     

Ia tidak tahu mengapa pembicaraannya sekarang tertuju padanya.     

Wajah Maria terlihat memucat untuk sesaat. Ia tidak bisa menjawab kata-kata Nico.     

"Kalau kamu memiliki kemampuan untuk menikah dengan wanita yang kamu cintai, tidak akan ada satu orang pun yang menghalangimu. Tetapi kamu tidak hanya tidak memiliki kemampuan. Kamu juga terlalu bodoh sehingga hanya bisa menyakiti hati bibimu dengan memberitahunya latar belakang keluarganya." Aiden bangkit berdiri dengan wajah yang muram. Ia berjalan menuju ke tempat Anya dan menarik Anya dari tempat duduknya untuk naik ke atas.     

Bahkan Anya tidak sempat menyelesaikan sarapannya. Nasi di mulutnya masih ada, tetapi nafsu makannya sudah hilang.     

Di meja makan, Maria dan Nico hanya bisa saling memandang satu sama lain. Mereka mendengar suara pintu kamar di lantai dua dibanting dengan keras.     

"Nico … Kamu tidak boleh mengatakan hal seperti itu tanpa memikirkannya terlebih dahulu," Maria menatap putranya dengan marah. "Cepat selesaikan makananmu dan minta maaf pada paman dan bibimu."     

"Aku tidak salah. Mengapa paman bisa menikahi bibi, tetapi aku tidak bisa menikah dengan Tara?" tanya Nico dengan tidak terima.     

"Pernikahan pamanmu penuh dengan masalah. Kamu tahu sendiri bagaimana perjalanan pamanmu, dari Keara, Natali, dan pada akhirnya ia bisa menikah dengan Anya. Bukan keinginannya berhubungan dengan Keara dan bukan keinginannya untuk bertunangan dengan Natali. Tetapi ia melakukannya untuk keluarga ini. Hanya Anya wanita yang ia pilih. Apakah kamu tahu apa yang pamanmu lakukan agar bisa menikah dengan bibimu? Apakah kamu tidak bisa melihat perjuangannya selama bertahun-tahun? Lalu, apa yang sudah kamu lakukan untuk layak menerima semua itu?" tegur Maria dengan tegas.     

Nico menundukkan kepalanya dengan malu. Ia melihat sendiri perjuangan pamannya, usaha pamannya. Ia melihatnya dengan mata kepalanya sendiri.     

Aiden adalah putra bungsu Keluarga Atmajaya. Dua kakak laki-lakinya sangat luar biasa, terutama ayah Nico, Ardan. Kalau saja Ardan tidak meninggal, Aiden mungkin tidak akan melakukan semua ini.     

Ardan bisa dibilang memiliki kemampuan yang luar biasa dalam bisnis. Namun, sayangnya kesehatannya tidak cukup baik sehingga ia harus meninggal di usia muda. Hal ini menyebabkan Aiden harus turun tangan.     

Kematian Ardan merupakan kesempatan bagi Imel dan Ivan, sehingga Aiden tidak akan membiarkan kerja keras kakaknya disia-siakan begitu saja.     

Perseteruan antara Aiden dan Ivan terus berlangsung. Meski Bima memanjakan Imel, dengan kemampuan Aiden, Imel tetap tidak bisa mengalahkannya.     

Aiden memaksa Ivan untuk pindah ke luar negeri, sementara Aiden akan mengambil alih kantor pusat Atmajaya Group.     

Pada saat yang bersamaan, Aiden juga bisa mengendalikan semua situasinya karena orang-orang yang berada di cabang luar negeri adalah orang pilihan dan kepercayaan Aiden sendiri.     

Setelah mendapatkan teguran dari ibunya, akhirnya Nico bisa berpikir dengan jernih.     

Sementara itu di kamar lantai dua, wajah Aiden terlihat muram. Ia sedang berusaha untuk menahan amarahnya.     

"Jangan marah. Apa yang Nico katakan memang benar. Aku memang …"     

"Anya, aku tidak akan membiarkanmu merendahkan dirimu sendiri atau membiarkan seseorang mempertanyakan kemampuanku untuk menilaimu. Pernikahan bukanlah bisnis. Aku tidak sedang berinvestasi. Aku ingin bersama dengan wanita yang aku cintai dan hidup dengan nyaman. Kamu adalah wanita pilihanku," sela Aiden.     

Hati Anya langsung luluh mendengar jawaban itu. ia bergumam. "Apakah aku wanita yang kamu cintai?"     

"Hmm …" kata Aiden     

'Apakah benar aku adalah satu-satunya wanita yang kamu cintai, Aiden? Lalu, mengapa aku melihat bibirmu menyentuh bibir wanita lain?'     

Pertanyaan itu sudah berada di ujung bibir Anya, tetapi ia tidak bisa menanyakannya.     

…     

Setelah mandi, Aiden berdiri di depan kamar gantinya dan melihat semua kemejanya sambil mengerutkan keningnya.     

"Ada apa? Apakah kamu tidak bisa menemukan baju yang cocok untukmu?" tanya Anya.     

Aiden tidak menjawab. Hari ini, ia akan pergi ke rumah Keluarga Tedjasukaman untuk menemani Anya. Ia tidak pergi untuk bekerja sehingga ia tidak ingin mengenakan pakaian formalnya.     

"Apakah kamu ingin memakai kaos dan celana jeans untuk terlihat lebih santai?" tanya Anya.     

"Hmm …" Aiden selalu berpakaian seperti orang kantoran yang elite. Tetapi sepertinya pakaian itu tidak cocok untuk digunakan menemani Anya ke rumah keluarganya.     

"Tunggu sebentar," Anya segera turun ke lantai satu dengan cepat.     

Melihat Anya turun dengan tergesa-gesa dan kehabisan napas, Maria terlihat khawatir. "Anya, ada apa?"     

"Kak, nanti akan aku jelaskan," Anya menarik kerah baju Nico dan menyeretnya ke lantai atas. "Nico, jangan makan sekarang. Ini waktunya kamu berbaikan dengan pamanmu. Cepat ikut aku."     

Nico langsung berdiri dengan tegak dan berkata, "Bibi, terima kasih. Aku benar-benar tidak sengaja melakukannya. Aku tidak bermaksud …"     

"Sudah! Berhenti berbicara. Cepat ke kamarmu. Aku butuh kaos dan celana jeans." Anya terlalu malas untuk mendengarkan penjelasan Nico. Ia bisa memahami mengapa Nico mengatakan hal itu dan memang benar apa kata Nico, ia berasal dari latar belakang keluarga yang sederhana. Jadi ia tidak terlalu memikirkannya.     

"Paman ingin menggunakan kaos dan celana jeans untuk pergi ke rumah Keluarga Tedjasukmana?" mata Nico terbelalak lebar.     

"Ia ingin mencobanya. Kalau ia menerima baju pinjaman darimu, mungkin ia akan memaafkanmu atas kesalahanmu tadi," kata Anya.     

"Baiklah. Aku akan meminjamkan baju terbaikku pada paman!" kata Nico.     

Anya melihat semua celana jeans milik Nico dan memilih yang paling sederhana, tanpa robekan atau hiasan apa pun. Kemudian, ia memilih kaos berwarna putih dengan tulisan kecil berwarna hitam yang tidak terlalu mencolok.     

Kemudian, ia mengerutkan keningnya. Bagaimana dengan sepatu?     

"Apakah kamu punya sepatu putih? Yang baru?" tanya Anya.     

"Tidak. Tetapi paman memiliki banyak sepatu, termasuk sepatu keds yang cocok dengan celana jeans." Kata Nico.     

Anya mengangguk. "Cepat bawa ini dan ikuti aku."     

Nico membawa kaos dan celana jeans pilihan Anya dan mengikutinya ke kamar Aiden. Pada saat itu, Aiden sedang menelepon seseorang.     

Mendengar langkah kaki di belakangnya, Aiden berbalik dan melihat kedatangan Nico dengan tatapan dingin.     

Aiden juga melihat 'harta karun' Nico yang berada di tangannya.     

Anya menatap Aiden dengan penuh harap. Mata kecilnya tampak seolah mengatakan agar Aiden mau mencoba baju Nico.     

Kaos putih, celana jeans biru muda, terakhir kali ia mengenakan pakaian semacam itu saat ia masih kuliah.     

"Cepat bersiaplah. Aku akan pergi ke rumah Keluarga Tedjasukmana dan kembali ke kantor nanti siang," kata Aiden di telepon. Setelah itu, ia menutup teleponnya dan menatap Anya. "Apakah kamu mau aku mengenakan baju ini?"     

"Cobalah!" Anya menatapnya sambil tersenyum.     

"Paman, kamu akan terlihat semakin muda mengenakan kaos dan celana jeans," kata Nico, berusaha memuji pamannya agar Aiden mau memaafkannya.     

"Apakah maksudmu aku tua?" dengus Aiden.     

Nico langsung panik dan segera menjelaskan. "Tidak, tidak. Pamanku yang paling tampan dan keren. Bagaimana mungkin paman bisa dibilang tua?"     

Aiden hanya memutar bola matanya. "Bawa kesini!" meski merasa enggan, akhirnya ia memutuskan untuk mengenakan pakaian itu karena ia tahu Anya yang memilihkannya.     

Nico segera memberikan pakaian itu pada Aiden dengan cemas. Kemudian, ia dan Anya menunggu di luar kamar ganti.     

Setelah beberapa menit, Aiden keluar dari kamar ganti tersebut …     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.