Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Di Bawah Hujan



Di Bawah Hujan

"Di sana, Nyonya," pengawal Aiden yang pertama kali menemukan mobil Aiden. Ia menuntun Anya berjalan ke arah mobil dengan hati-hati, khawatir Nyonya-nya akan terpeleset karena genangan air.     

Di kejauhan, Aiden berdiri di depan mobilnya, menatap ke arah dua orang yang menghampirinya dengan dingin.     

Begitu hampir tiba, Anya langsung melepaskan tangan pengawal Aiden dan berlari menuju ke arah suaminya dengan gembira.     

Tiba-tiba saja, kakinya terpeleset, membuatnya langsung terkejut dan berteriak. Secara insting, tangannya langsung berusaha untuk melindungi perutnya.     

Aiden bergegas untuk menangkap Anya dan langsung menopang tubuhnya.     

Begitu terjatuh di pelukan Aiden, Anya menengadah dan menatap wajah Aiden dengan mata memerah, "Aiden, aku sangat merindukanmu." Tanpa sadar, ia mengucapkan apa isi hatinya saat itu.     

Tenggorokan Aiden terasa tercekat. Jakunnya terlihat naik turun saat menelan ludah dengan susah payah. Ia tidak berani menatap wajah mungil istrinya.     

Ia melemparkan kunci mobilnya pada pengawalnya. "Kamu yang menyetir."     

Pengawal itu langsung menangkap kunci mobil yang dilemparkan oleh Aiden dan membukakan pintu untuk mereka. Aiden menggendong tubuh Anya, takut Anya akan terpeleset lagi.     

Anya bersandar di pelukan Aiden, menikmati pelukan suaminya. Jarang-jarang ia bisa mendapatkan pelukan ini.     

Matanya yang penuh harap terpaku pada wajah Aiden, seolah tidak bisa melepaskan pandangannya dari wajah tampan suaminya.     

Aiden menurunkan Anya di kursi dan mengambil sebuah selimut untuk menghangatkan kaki Anya. Kemudian, ia berkata pada pengawalnya. "Kembali ke rumah."     

Dari waktu ke waktu, Anya melirik ke arah Aiden. Setelah masuk ke dalam mobil, Aiden hanya bersandar di kursinya dan menutup matanya, tidak mengatakan satu patah kata pun.     

Hana bilang kemarin Aiden duduk sendirian di ruang keluarga hingga larut malam, memandang ke arah pintu depan, seperti yang biasa Anya lakukan.     

Anya bisa melihat Aiden tidak bisa tidur dengan nyenyak kemarin malam sehingga wajahnya terlihat kelelahan hari ini.     

Ia hanya menatap wajah Aiden, tidak mau mengganggu istirahatnya.     

Pertamanya, Anya hanya berani melirik ke arah Aiden karena takut Aiden tiba-tiba bangun.     

Tetapi saat menyadari bahwa mata Aiden terus tertutup seperti sedang tertidur, Anya akhirnya berani terang-terangan menatap wajahnya.     

"Apakah belum cukup puas melihatnya?" Aiden tidak membuka matanya, tetapi ia bisa merasakan tatapan Anya padanya.     

"Belum. Setelah ini, aku tidak bisa melihat wajahmu lagi. Setidaknya aku ingin melihat wajahmu selama aku masih bisa," Anya memiringkan kepalanya dan bersandar di bahu Aiden.     

Tidak tahu sejak kapan hujan turun lagi. Hujan yang turun cukup deras sehingga pandangan ke depan terhalang. Pengawal Aiden tidak berani menyetir terlalu cepat sehingga kecepatan kendaraan mereka stabil.     

Anya mengulurkan tangannya dan mengambil inisiatif untuk menarik tangan Aiden ke arahnya. Aiden baru saja ingin menolak ketika ia mendengar suara Anya yang lirih. "Hari ini saja, bisakah kamu mengembalikan Aidenku, Aiden yang mencintaiku sepenuh hatinya?"     

Aiden merasa hatinya hancur mendengar hal itu. Ia hanya bisa menggenggam tangan Anya dengan erat.     

Anya melihat dua pasang tangan yang saling bertautan dengan erat. Tanpa sadar, air matanya sudah mengalir. Ia menatap ke wajah suaminya dan melihat rasa sakit yang sama seperti yang ia rasakan.     

"Kamu tidak akan pernah menyerah terhadap perceraian ini?" tanyanya dengan sedih.     

"Anya, aku tidak mau menyakitimu. Jangan paksa aku menyakitimu lebih dari ini," wajah Aiden terlihat tegang. Ia berusaha untuk menahan rasa sakit di hatinya.     

"Kamu masih mencintaiku, kan?" Anya memeluk Aiden dan mengecup bibirnya.     

Bibir Anya terasa sangat lembut dan manis, membuat Aiden tidak bisa menahan diri untuk membalasnya.     

Tetapi ketika ia memikirkan mengenai Maria, Aiden langsung mendorong tubuh Anya jauh darinya.     

"Kalau kamu membuat masalah lagi, aku akan meninggalkan kamu di tengah jalan," teriak Aiden.     

Mata Anya terbelalak. Ia menatap ke arah Aiden dengan pandangan aneh.     

Apakah kita benar-benar tidak bisa kembali seperti dulu?     

Tidak tahu sejak kapan ia telah kehilangan Aiden yang mencintainya.     

Sekarang, Aiden yang ada di hadapannya adalah Aiden yang berhati dingin.     

Anya sedikit menjauh dari Aiden dan menyandarkan kepalanya, memandang ke arah luar jendela. Ia tidak berani menentang Aiden. Ia takut ia benar-benar akan ditinggalkan di tengah jalan dan tidak bisa menghabiskan hari Natal ini bersama dengan Aiden.     

Biasanya butuh waktu sekitar 30 menit untuk tiba di rumah. Namun karena hari ini hujan begitu lebat, jalanan menjadi macet sehingga mereka terhenti di tengah jalan.     

Tidak lama kemudian, hujan mulai berhenti dan tersisa sedikit rintik-rintik saja. Namun, mobil mereka masih tidak bisa pulang ke rumah.     

Rumah mereka sudah cukup dekat, tetapi sepertinya mereka akan terjebak di sini.     

"Apakah kamu mau berjalan pulang?" Aiden menatap ke arah luar jendela dan menyadari bahwa hujan sudah mulai berhenti.     

Entah mengapa, ia ingin keluar dan berjalan di bawah rintik hujan. Sudah lama ia tidak menghabiskan waktu dan berjalan-jalan dengan Anya.     

Anya langsung mengangguk.     

Aiden turun sambil membawa sebuah payung. Sementara itu, tangannya yang lain menggandeng tangan Anya, khawatir Anya akan terpeleset lagi.     

Air bekas hujan memantulkan cahaya lampu jalanan, membuat malam itu terasa lebih terang.     

Toko-toko di sekitar memainkan berbagai lagu Natal, membuat suasana Natal menjadi semakin terasa.     

Anya melepaskan tangan Aiden dan menjauh dari payung. Ia ingin merasakan tetesan hujan turun di atas kepalanya.     

Tangannya terangkat saat air hujan menetes satu demi satu. Kepalanya menengadah, menghirup aroma tanah yang saling berjumpa dengan tetesan hujan, menciptakan aroma yang menenangkan.     

Anya terlihat sangat gembira ...     

Aiden menutup payungnya dan mengikuti Anya.     

Ia ikut menengadah ke arah langit dan merasakan keindahan dunia ini dari kacamata istrinya. Hal sesederhana ini saja sudah bisa membuat istri kecilnya bahagia.     

Ia benar-benar mencintai Anya yang polos dan sederhana ini.     

"Apakah kamu suka hujan?" tanya Aiden sambil tetap memandang ke arah langit.     

Awan yang tebal menutupi langit, membuat bulan dan bintang tidak kelihatan. Namun, pendar cahaya dari kota tetap terpancar dengan sangat indah, tidak mengurangi keindahan di malam Natal ini.     

"Aku menyukai hujan. Aroma hujan membuatku merasa tenang." Anya merentangkan tangannya dan berputar di tengah hujan.     

Setelah beberapa kali putaran, Aiden langsung menangkap tubuh Anya, khawatir putaran itu akan membuat kepalanya pusing. "Ayo kita kembali. Hujannya semakin deras."     

Tangan Aiden menggenggam tangan Anya dan merasakan tangan kecil itu begitu dingin.     

"Aiden, tanganmu sangat hangat," Anya tersenyum dengan manis dan menengadah ke arah kepala Aiden. Ia melepaskan syal yang dipakainya dan menggunakannya untuk mengusap rambut Aiden yang basah.     

Aiden mengambil alih syal itu dan menggunakannya untuk mengeringkan rambut Anya. Ia tidak peduli kalau ia basah kuyup sekali pun. Tetapi ia tidak mau kalau Anya sampai sakit.     

Tangannya mengusap kepala Anya dengan lembut, membuat Anya merasakan harapan kembali tumbuh di hatinya.     

"Mengapa kamu ingin berpisah dariku?" Anya memandang ke arahnya. Berharap pertanyaannya kali ini mendapatkan jawaban.     

Aiden tidak menjawab. Tetapi ia menggenggam tangan Anya lebih erat saat mereka kembali berjalan ke rumah.     

Begitu tiba di rumah, Anya melihat pohon natal yang besar di dalam rumah. Di bawah pohon itu terdapat berbagai bungkusan hadiah dan seluruh rumah mereka telah dihiasi dengan suasana Natal.     

"Tuan, Anya, kalian sudah kembali!" Hana melihat baju mereka sedikit basah dan langsung membawakan handuk untuk mereka.     

"Bu Hana, tadi kami berjalan pulang bersama-sama di bawah gerimis," kata Anya. Meski ia kehujanan dan tubuhnya basah, wajah Anya penuh dengan kebahagiaan.     

Ketika mendengar kata-kata Anya, Hana merasa matanya panas dan hampir saja menangis.     

Aiden melepaskan tangan Anya dan mengeluarkan ponselnya dari kantongnya.     

Ponselnya terus menerus bergetar, tetapi ia tidak mau merusak suasana yang indah saat berjalan pulang bersama dengan Anya sehingga ia tidak menjawabnya.     

Ia melihat siapa yang meneleponnya dan menemukan bahwa panggilan itu berasal dari Rumah Keluarga Atmajaya.     

"Ada apa?" Aiden menjawab ponsel itu sambil berjalan menuju ke lantai atas.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.