Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Membunuh Kalian Semua



Membunuh Kalian Semua

0"Tuan, di mana Anda sekarang? Tadi saya menelepon ibu saya sebelum pergi ke bandara. Sebelum naik ke dalam pesawat, saya juga mencoba untuk meneleponnya lagi tetapi tidak ada yang menjawab. Saya juga mencoba menelepon rumah Anda, tetapi tidak ada yang mengangkatnya. Saya merasa ada yang aneh mengapa tidak ada pelayan yang mengangkat telepon," tanya Harris.     

"Apa?" Aiden terdiam sejenak.     

"Saya merasa khawatir. Apa ada sesuatu yang terjadi di rumah Anda? Sebentar lagi saya akan berangkat, jadi saya harus mematikan ponsel saya," tanya Harris dengan gelisah.     

"Biar aku yang mengurusnya. Kamu bawa Nadine kembali ke Indonesia," Aiden menutup telepon dan menghampiri Bima. "Ke mana kamu mengirim Kak Maria?"     

"Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan. Kakakmu sedang mencetak foto," Bima terus mengelak. "Tunggu saja, ia akan kembali sebentar lagi."     

"Kalau sampai aku melihatnya di rumahku, aku akan membunuh kalian semua!" Aiden langsung berlari ke luar, menuju ke arah mobilnya.     

Mendengar ancaman dari mulut Aiden, Bima tahu putranya itu tidak sedang bercanda. Ia merasa sangat khawatir dan langsung menelepon orang suruhannya yang pergi bersama dengan Maria. "Bagaimana situasinya?"     

"Setengah jam yang lalu, saya mendengar Nona Anya berteriak minta tolong. Saya rasa Nyonya Maria sudah berhasil," jawabnya.     

"Kalau kalian berhasil, cepat pergi dari sana. Aiden sedang dalam perjalanan pulang. Kalau melihat kalian, ia benar-benar akan membunuh kalian semua," desak Bima.     

Aiden berlari dari rumah Keluarga Atmajaya seperti orang gila. Ia langsung masuk ke dalam mobilnya dan melesat dengan cepat.     

Bima merasa panik dan khawatir sesuatu akan terjadi pada Maria. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk menelepon Nico. "Nico, pergilah ke rumah pamanmu. Ibumu dalam bahaya."     

"Kakek, aku tidak berada di dekat rumah. Aku akan pulang secepat mungkin …"     

"Cepat! Pamanmu bilang akan membunuh semua orang. Cepat selamatkan ibumu," teriak Bima dengan panik.     

Nico menepuk pundak Raka dan mengatakan bahwa ada sesuatu yang mendesak terjadi. Setelah itu, ia langsung berlari ke luar.     

Jalanan masih basah karena hujan sehingga Nico tidak berani menyetir terlalu cepat. Tetapi ia benar-benar khawatir sesuatu akan terjadi pada ibunya kalau ia terlambat.     

Ia benar-benar panik sehingga tidak bisa berpikir.     

Ponselnya berdering dan Raka meneleponnya. "Nico, biar aku saja yang mengantarmu. Kamu jangan menyetir dalam keadaan panik. Tinggalkan mobilmu di pinggir jalan. Aku di belakangmu."     

Nico ragu sejenak dan kemudian memutuskan untuk menepikan mobilnya dan masuk ke dalam mobil Raka.     

Setelah itu, ia menelepon Bima. "Kakek, aku sudah dalam perjalanan. Apa yang terjadi? Ada apa dengan paman?"     

"Aku … Ibumu memberikan pil aborsi pada Anya," kata Bima.     

"Apa? Bagaimana kalian bisa melakukan ini? Apakah itu perintah darimu, Kakek? Mengapa kamu menyuruh ibuku melakukan hal itu?" Nico menjambak rambutnya dengan frustasi. Ia merasa sangat marah.     

��Jangan banyak bertanya. Cepat pergi ke rumah pamanmu dulu dan bawa ibumu pergi dari sana. Semuanya adalah salahku. Aku yang akan menanggungnya. Ibumu hanya menjalankan perintahku," kata Bima dengan tegas.     

Nico merasa seperti ingin menggila, "Hari ini adalah hari Natal. Mengapa kalian malah membunuh orang di hari ini?"     

"Usia kandungan Anya terus bertambah setiap harinya. Semakin lama kita menunda, akan semakin bahaya untuk Anya. Aku memanggil pamanmu ke rumahku untuk mengulur waktu. Ketika ibumu melihat Aiden pergi dari rumahnya, ia memanfaatkan kesempatan itu untuk masuk," kata Bima.     

"Jadi, kalian sudah merencanakan semua ini? Kalian memilih hari Natal ini, di mana semua orang tidak merasa curiga, untuk menjalankan rencana jahat ini. Kakek, paman tidak akan pernah memaafkanmu," Nico menutup teleponnya dengan tidak berdaya. Setelah itu, ia menepuk pundak Raka, "Raka, bisakah kamu menyetir lebih cepat. Ada nyawa yang harus kita selamatkan."     

"Ada apa? Apa yang terjadi pada ibumu?" Raka langsung meningkatkan kecepatannya. Ia menginjak gas lebih dalam, membuat mobilnya melaju lebih kencang.     

"Ibuku membunuh anak di dalam kandungan Bibi. Sekarang pamanku sedang dalam perjalanan pulang dan ia akan membunuh ibuku. Kakek memintaku untuk menyelamatkannya," Nico menggaruk kepalanya dengan panik. "Apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga ini?"     

"Hah? Bagaimana keadaan Anya sekarang?" Satu-satunya orang yang paling Raka khawatirkan adalah Anya.     

Ia bisa membayangkan betapa ketakutan dan tidak berdayanya Anya saat ia dipaksa untuk minum obat aborsi itu di rumahnya sendiri.     

"Aku tidak tahu," Anya langsung mencoba menghubungi ponsel Maria, tetapi Bima yang mengangkatnya. "Jangan menelepon. Ibumu tidak membawa ponselnya. Ada apa?"     

"Kakek, bagaimana dengan kondisi bibi? Apakah ia dalam bahaya? Apakah kamu sudah menelepon ambulans?" tanya Nico.     

"Tanyakan pada supirku. Ia yang mengantar ibumu ke sana," jawab Bima sambil menghela napas panjang. Ia sendiri tidak tahu apa yang terjadi dan bagaimana situasi di sana.     

Ketika Raka sedang berhenti di lampu merah, ia melihat sebuah mobil melesat dengan sangat cepat dan melanggar lampu lalu lintas. Ia mengenali mobil itu.     

Itu adalah mobil Aiden!     

Aiden tidak sempat melihat Nico dan Raka. Saat ini, ia benar-benar panik dan ketakutan. Berbagai macam pemikiran terlintas di benaknya.     

Ia bahkan sama sekali tidak takut saat ia diculik dan ditinggalkan di dalam gudang yang gelap itu. Bahkan ia tidak takut saat gudang itu meledak.     

Tetapi saat ini, ia merasa takut.     

Ia takut sesuatu terjadi pada Anya …     

Tangan Aiden memegang setir lebih kencang, penuh dengan ketakutan dan kemarahan. Hubungannya dengan Anya baru saja membaik saat mereka berjalan pulang bersama-sama. Awalnya, ia ingin menghabiskan hari Natal ini bersama dengan Anya dan melupakan semua masalah mereka.     

Ia hanya butuh satu hari saja. Hari ini saja.     

Tetapi ia tidak menyangka hal ini akan terjadi.     

Hari ini, ia sengaja memberikan liburan kepada sebagian besar pengawalnya sehingga hanya ada tiga orang saja yang menjaga rumah.     

Dari tiga orang itu, tidak ada satu pun yang bisa ia hubungi. Dengan panik, ia menyuruh semua pengawalnya yang berlibur untuk kembali ke rumah.     

Ia takut ia akan terlambat.     

Ia takut Anya akan terluka!     

Aiden benar-benar berharap ia tidak terlambat. Ia berharap Anya akan baik-baik saja.     

Aiden berusaha untuk menenangkan dirinya sambil terus mempercepat laju kendaraannya. Ia tidak berani menunda satu detik pun. Tidak tahu sudah berapa lampu merah yang ia terobos.     

Semua ini adalah kesalahannya. Ini adalah kecerobohannya.     

Seharusnya ia tidak membiarkan pengawalnya pergi dari rumah Keluarga Atmajaya. Seharusnya ia tidak membiarkan para pengawalnya libur.     

Seharusnya ia tetap melindungi Anya.     

Kalau sampai kecerobohannya ini membuat Anya terluka, ia tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.     

Aiden adalah pria yang sangat tenang, meski ada bahaya menghampirinya. Namun, karena kekhawatirannya pada Anya, ia sampai berkeringat meski cuaca sedang dingin karena hujan.     

'Anya, tunggu aku. Kumohon, tunggu aku!'     

…     

Pintu kamar utama di lantai dua terbuka.     

Anya meringkuk sambil memeluk tubuhnya dengan mata terbelalak. Seluruh bajunya telah berlumur darah, berubah menjadi warna merah.     

Maria masih tetap memeluknya dengan erat, tidak peduli berapa kali pun Anya berusaha untuk mendorongnya.     

Wajah, leher dan tangan Maria penuh dengan luka cakar yang berdarah karena Anya. tetapi ia tetap memeluk Anya sambil menangis. "Anya, maafkan aku. Tidak apa-apa kalau kamu ingin memukulku. Maafkan aku …"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.