Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Kehilangan



Kehilangan

0Anya sudah tidak punya tenaga untuk berontak. Ia tidak pernah seputus asa ini.     

'Maafkan ibu, Nak. Ibu tidak bisa melindungimu. Maafkan ibu!'     

Hanya kalimat itu yang terus menerus terngiang di otanya.     

Ia sudah tidak bisa bergerak lagi. Ia hanya bisa tergeletak dengan lemah dan tidak berdaya.     

"Anya …" Hana naik ke lantai dua dan langsung menuju ke kamar Anya. Begitu masuk, ia melihat baju Anya sudah penuh dengan noda darah, membuatnya langsung berteriak dengan terkejut.     

"Bu Hana, tolong aku. Tolong anakku …" Anya merasa pandangannya semakin kabur. Ia hanya bisa meminta tolong pada Hana. Tidak ada orang yang bisa dipercayanya lagi di rumah ini selain Hana.     

"Anya, Anya …" Maria begitu ketakutan. Ia mengguncang tubuh Anya, berusaha untuk tetap membangunkannya agar tidak pingsan.     

Hana langsung berteriak dengan panik. "Apa yang kalian semua lakukan? Mengapa kalian diam saja? apakah kalian buta dan tidak bisa lihat darah yang ada di lantai? Anya bisa kehabisan darah kalau dibiarkan seperti ini?"     

Ketika mendengar kata-kata Hana, Maria seperti baru tersadar. Ia terlalu fokus untuk memberi obat itu pada Anya sehingga ia tidak menyadari bahwa tubuh Anya sudah berlumuran darah. "Tidak! Obat ini sangat aman. Obat ini tidak akan menyebabkan pendarahan."     

Hana merasa sangat marah pada Maria dan tidak mau repot-repot menjelaskannya. Ia langsung mencengkram kerah baju salah satu pengawal Bima dan berteriak dengan keras. "Cepat telepon ambulans. Tuan Bima hanya menyuruhmu untuk membunuh anak Anya kan? Kalau ada sesuatu terjadi pada Anya, Tuan Aiden akan sangat murka. Kalian semua akan mati!"     

Pengawal Bima menatap ke tubuh Anya yang penuh dengan noda darah dan langsung memutuskan. Ia langsung menelepon ambulans.     

"Nyonya Maria, Tuan Bima meminta kami untuk membawa Anda pergi. Tuan Aiden sedang dalam perjalanan kemari," kata pengawal tersebut.     

"Biar saja, meski Aiden mamu membunuhku sekali pun. Aku tidak akan pergi. Aku ingin bersama dengan Anya," Maria berlutut di lantai sambil memandang Anya, penuh dengan perasaan bersalah dan penyesalan.     

"Nyonya, saya tidak tahu mengapa Anda melakukan ini, tetapi Tuan Aiden akan benar-benar marah pada Anda kalau melihat Anya seperti ini. Lebih baik Anda pergi," Hana tidak mau ada masalah lain terjadi dan langsung mengusir Maria.     

Baru saja Maria pergi ketika Aiden tiba di rumah. Pada saat yang bersamaan, ambulans juga datang.     

"Tuan, Nyonya di kamarnya," kata seorang pelayan dengan panik.     

Aiden langsung berlari ke atas. Hana sedang memegangi tangan Anya sambil menunggu kedatangan ambulans dengan tidak sabar.     

Mendengar suara langkah kaki yang ia kenal, Anya menutup matanya dengan rasa sakit hati yang luar biasa. Air mata mengalir dari sudut matanya.     

"Anya!" Aiden bisa melihat darah berceceran di lantai. Baju Anya pun sudah berubah warna menjadi merah dan bahkan karpet di bawah tubuhnya pun dalam kondisi yang sama.     

Ia sudah kembali secepat mungkin, tetapi ia masih terlambat.     

Anya tidak membuka matanya. Bibirnya bergerak, tetapi sebelum suaranya terdengar, air mata mengalir terlebih dahulu dari matanya.     

Ia ingin menghabiskan hari Natal bersama dengan Aiden. Ia ingin memohon pada Aiden agar Aiden memperbolehkannya untuk melahirkan dan membawa anak ini.     

Aiden menjemputnya di rumah sakit dan berjalan bersamanya di bawah hujan hari ini. Anya pikir ia masih punya kesempatan untuk membujuknya.     

"Apakah kamu juga terlibat? Apakah kamu juga ingin membunuh anak ini?" tanya Anya dengan suara serak.     

"Anya, aku …" Aiden ingin menjelaskan, tetapi ia tidak bisa.     

Walaupun ia tidak berniat untuk membunuh anak mereka seperti ini, ia tahu ia tidak bisa membiarkan Anya melahirkan anak ini.     

"Aiden, anak kita … Anakku sudah tiada. Semuanya sudah berakhir. Terserah kamu saja kalau kamu ingin bercerai," Anya menggertakkan giginya saat mengatakan kalimat itu. Setelah itu, Anya menutup matanya dan tidak ingin berbicara lagi.     

Aiden menahmpirinya dan memeluk tubuh Anya yang terkulai. Seluruh tubuhnya penuh dengan noda darah, sementara wajahnya penuh dengan air mata. Rambut panjangnya terlihat berantakan dan basah karena keringat dingin.     

Aiden adalah orang yang selalu menjaga kebersihan. Tetapi pada saat ini, ia sama sekali tidak peduli. Ia hanya bisa memeluk tubuh Anya dengan erat dan merapikan rambut Anya ke belakang telinga.     

Hatinya terasa terkoyak. Kalau bisa, ia ingin mengeluarkan hatinya dari dadanya.     

Ketika Aiden menundukkan kepalanya, Hana bisa melihat setetes air mata jatuh di wajah Anya.     

Kemudian, ia melihat petugas medis yang berdiri di pintu dan berkata, "Tuan, Anya telah kehilangna banyak darah dan harus segera dibawa ke rumah sakit."     

Aiden seolah tidak bisa mendengar apa-apa. Ia membayangkan Anya yang putus asa dan ketakutan saat terperangkap di dalam kamarnya sendiri.     

Ia sudah berusaha begitu keras untuk melindungi anak di dalam kandungannya, tetapi pada akhirnya, ia harus kehilangan. Aiden tidak bisa membayangkan betapa besar rasa sakit di hatinya!     

Aiden menundukkan kepalanya dan mengecup puncak kepala Anya. "Anya, maafkan aku. Aku terlambat. Maafkan aku."     

Anya merasa matanya semakin berat dan tubuhnya pun semakin lemas. Rasanya dingin, dingin sekali …     

"Dokter, pendarahannya terlalu parah."     

"Hentikan pendarahannya. Apa yang kalian lakukan?"     

"Dokter cepatlah!"     

…     

Operasi berlangsung lebih dari satu jam. Awalnya, operasi yang dilaksanakan hanyalah operasi kuret sederhana. Tetapi karena Anya mengalami pendarahan yang cukup parah, dokter merasa ia harus mengangkat rahimnya untuk menghentikan pendarahannya.     

"Nona Anya mengalami pendarahan hebat dan ia harus menjalani operasi untuk menghentikannya. Apakah ada anggota keluarganya di sini?" seorang suster datang sambil membawa sebuah berkas.     

"Biar aku saja," Aiden langsung mengambil berkas itu dan berniat menandatanganinya sendiri.     

"Tuan Aiden, harus keluarganya langsung yang …"     

Aiden membaca berkas tersebut dan tangannya gemetaran. "Apa yang terjadi pada Anya? Mengapa rahimnya harus diangkat?"     

"Pendarahan yang Nona Anya alami terlalu hebat sehingga kami kesulitan untuk menghentikannya. Operasi histerektomi harus dilangsungkan agar tidak membahayakan nyawanya. Tolong segera ditandatangani berkasnya," desak suster tersebut.     

Seorang dokter keluar dari kamar operasi dan mendesak agar keluarga segera memberi persetujuan operasinya. Ia tidak bisa mengulur waktu lebih lama lagi. "Pasien di dalam sedang berada dalam bahaya. Cepat tandatangani berkasnya!"     

Mata Aiden langsung melotot dengan tajam seperti ingin membunuh orang. Ia melangkah maju dengan marah dan mencengkram kerah dokter tersebut, mengangkatnya dari tanah. "Dokter macam apa kamu? Apakah kamu dokter suruhan ayahku? Biar aku memperingatimu. Kalau Anya sampai kehilangan rahimnya, aku akan membuatmu merasakan neraka."     

Dokter itu begitu ketakutan melihat beberapa orang berbaju hitam berdiri berjejeran di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Ia juga mengenal Aiden dan tahu bahwa ia tidak bisa berbuat macam-macam di hadapannya.     

"Tuan … Tolong tenanglah. Saya akan melakukan yang terbaik." Suara dokter itu gemetaran. "Tolong tandatangani berkas tersebut."     

"Kalau kamu sampai mengangkat rahimnya, aku akan memotong lehermu," ancam Aiden.     

Dokter tersebut tidak punya pilihan lain selain kembali ke ruang operasi dan mencari jalan lain untuk menghentikan pendarahannya.     

Semua orang di dalam ruang operasi itu menjadi lebih waspada. Kalau sampai ada sesuatu yang terjadi pada Anya, Aiden benar-benar akan membunuh mereka semua.     

Bima sudah mengatur tiga dokter terbaik di rumah sakit itu untuk menangani operasi Anya. Dokter tersebut sudah berusaha yang terbaik untuk menghentikan pendarahan. Tetapi menurut mereka, operasi histerektomi tetap pilihan yang terbaik.     

Sekarang, mereka tidak tahu harus berbuat apa …     

...     

Waktu terus berjalan. Aiden hanya bisa mengepalkan tangannya erat-erat. Noda darah yang berasal dari tangannya menghiasi dinding koridor tersebut.     

Menunggu adalah proses yang sangat menyakitkan untuknya. Ia hanya bisa terus menerus memukul dinding untuk melampiaskan kemarahannya.     

Tangannya berdarah, tetapi ia tidak bisa merasakan rasa sakit karena rasa sakit di hatinya lebih besar!     

Beberapa jam kemudian, akhirnya lampu di atas pintu ruangoperasi mati dan Anya didorong keluar dari ruangan tersebut.     

"Anya!" Aiden langsung menghampirinya, menatap wajah pucat Anya dengan cemas.     

Ia bahkan jauh lebih pucat dari sebelum memasuki ruang operasi. Aiden mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan kecil Anya. Ia bisa merasakan tangan kecil itu sangat dingin seolah tidak ada kehangatan sama sekali.     

Aiden benar-benar terkejut. "Ada apa dengannya? Mengapa tangannya sangat dingin?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.