Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Membutuhkan Teman



Membutuhkan Teman

0"Aku sedang tidak nafsu makan. Makanlah saja," Anya tampak telah kehilangan semangat hidupnya. Tidak ada lagi cahaya di matanya dan tubuhnya terlihat layu.     

Tara menundukkan kepalanya saat menuangkan sup yang hangat ke dalam dua mangkuk. Ketika melakukannya, tanpa sadar air matanya terjatuh di atas meja.     

Ia menarik napas dalam-dalam dan berusaha untuk menahan air matanya. Ketika ia berbalik, senyum kembali muncul di wajah Tara.     

"Ayo makanlah denganku. Aku akan menceritakan kejadian lucu di klinik," Tara meletakkan dua mangkuk dan dua sendok di atas meja. Setelah itu, ia menggandeng tangan Anya dan mengajaknya berdiri.     

"Tara, aku benar-benar tidak ingin makan," Anya duduk di depan jendela, tidak mau bergerak dari sana.     

"Aku sudah lelah seharian dan tidak punya kekuatan lagi untuk menarikmu. Setidaknya, temani aku di sana," Tara memeluk lengan Anya. "Anya, Anya! Temani aku, aku mohon!"     

Jarang-jarang Anya melihat sikap Tara yang manja seperti ini. Ia tidak punya pilihan lain selain bangkit berdiri dan duduk di samping Tara.     

Keluarga Atmajaya masih memperlakukannya dengan sangat baik. Mereka mengatur dokter terbaik untuknya, obat yang terbaik, kamar rumah sakit yang termahal dan bahkan mengirimkan berbagai makanan bergizi.     

Tetapi satu-satunya yang tidak Anya dapatkan adalah alasan mengapa anaknya harus kehilangan nyawanya. Mengapa anaknya harus mati ...     

Bunyi 'ting' terdengar dari microwave, tanda bahwa makanan Tara sudah selesai dihangatkan.     

Tara langsung meletakkan beberapa piring di atas meja, membuat Anya mengerutkan kening. "Tidak baik makan terlalu banyak malam-malam begini."     

"Kalau begitu, bantu aku menghabiskannya. Atau aku akan kehilangan kendali dan menghabiskan semuanya sendirian." Tara mengambil sendoknya dan mencoba sup di mangkuknya. "Sup ini sangat enak. Cobalah."     

Anya menatap Tara dengan tidak berdaya. "Kamu datang ke sini untuk menemaniku atau untuk makan?"     

Tara hanya nyengir saat mendengarnya. "Besok kalau aku datang lagi, aku akan membawakanmu buah kiwi. Aku suka buah kiwi."     

"Bukankah seharusnya kamu menanyakan buah apa yang aku sukai? Apakah kamu ingin membawa buah kiwi untuk kamu makan sendiri?"     

"Aku tahu kamu suka bunga, tetapi bunga tidak bisa dimakan," Tara berpura-pura cemberut saat mengatakannya.     

"Dasar aneh!" Akhirnya Anya menunjukkan sedikit senyumnya.     

Tara tertawa melihatnya. Ia senang melihat sahabatnya kembali tersenyum.     

Ia menghabiskan sup di mangkuknya dan menuangkan sisa sup di dalam termos sebelum bertanya pada Anya. "Apakah kamu mau lagi?"     

"Makan saja. Aku tidak bisa menghabiskannya," akhirnya Anya mengangkat sendok dan ikut menyuapkan sup di hadapannya ke dalam mulutnya.     

Tara tidak memberitahu Anya bahwa sebenarnya ia sudah makan malam bersama dengan kakeknya di rumah.     

Untuk membujuk Anya agar mau makan, Tara tidak keberatan kalau harus memenuhi perutnya. Ia sudah sangat kenyang, tetapi ia memaksakan dirinya untuk tetap makan.     

Ketika melihat Anya hanya memakan setengah mangkuk sup dan dua suap nasi, Tara mengerutkan keningnya.     

"Boleh aku menginap di sini hari ini?" Tara menepuk tempat tidur kosong di sampingnya.     

"Apakah kamu tidak ingin menghabiskan malam Natal bersama dengan kakekmu?" tanya Anya.     

"Kami tidak merayakan Natal. Mungkin kakekku sudah tertidur jam segini. Aku akan menemanimu malam ini," kata Tara sambil berdiri dan kemudian duduk di tempat tidur Anya.     

"Terima kasih, Tara," kata Anya dengan suara pelan.     

"Jangan memperlakukanku seperti orang asing. Aku jadi tidak nyaman," Tara mengambil tasnya yang berisi semua perlengkapan mandi dan baju ganti. "Aku akan mandi dan mengobrol denganmu setelah ini."     

Tara pergi ke kamar mandi dan membuka keran wastafel. Ia membiarkan suara air menutupi suara muntahannya.     

Ia baru saja makan malam bersama dengan kakeknya dan kemudian makan lagi bersama dengan Anya. Perutnya terasa sangat tidak nyaman sehingga ia memuntahkan semua makanan yang baru dimakannya. Ia sudah tidak sanggup menelan makanan lagi.     

Ketika keluar dari kamar mandi, Tara melihat Anya kembali duduk di dekat jendela dan memandang ke arah luar.     

"Di luar sedang hujan dan cuacanya dingin. Jangan terlalu lama duduk di dekat jendela, nanti kamu masuk angin," Tara menarik Anya dari tempat tersebut. "Apakah kamu mau mandi? Aku akan menyalakan air hangat untukmu."     

"Tidak usah, aku bisa sendiri," jawab Anya pelan.     

Tara memanfaatkan saat Anya sedang mandi untuk mengirimkan pesan pada Nico.     

Tara : Anya hanya bisa makan dua sendok nasi dan setengah mangkuk kecil sup. Saat mengirimkan makan besok, katakan pada keluargamu untuk membuatkan sup yang lebih ringan. Ia kesulitan untuk menelannya karena terlalu berminyak.     

Nico : Terima kasih.     

Tara menimbang sejenak dan kemudian memutuskan untuk menceritakannya pada Nico.     

Tara : Aku menemani Anya di rumah sakit malam ini. Ia bilang mau mandi saat ini, tetapi aku mendengar suara tangisan dari dalam. Apa yang harus aku lakukan?     

Nico : Aku juga tidak tahu. Lebih baik berpura-pura bodoh saja, kan kamu jago melakukannya. Saat ini, ia tidak butuh nasehat. Bibi hanya membutuhkan teman.     

Tara mendengus saat membacanya.     

Tara : Kamu yang bodoh!     

Nico tersenyum saat mendapatkan balasan dari Tara.     

Nico : Jaga bibi baik-baik. Kalau ada yang bisa aku lakukan, katakan saja.     

Tara memiringkan kepalanya dan berpikir sejenak. Kemudian ia menjawab.     

Tara : Aku ingin kunang-kunang.     

Setelah mengatakannya, ia tidak mendapatkan balasan lagi dari Nico. Ia tidak tahu apakah Nico tidak melihat pesannya, atau mungkin Nico sudah tidur.     

Empat puluh menit kemudian, Anya belum keluar juga dari kamar mandi. Tara menempelkan telinganya di pintu, tidak bisa mendengar suara tangisan atau pun suara air.     

Ia mengetuk pintunya pelan. "Anya, apakah kamu sudah selesai mandi? Aku ingin buang air kecil."     

Anya tidak menjawab. Tara berpura-pura kesal dan mengetuk pintu lebih keras.     

Akhirnya, pintu kamar mandi itu terbuka. Mata Anya terlihat merah dan suaranya serak. "Masuklah."     

Tara masuk ke dalam kamar mandi dan melihat kamar mandi itu benar-benar kering. Ia berpura-pura memencet flush dan keluar dari kamar mandi.     

Kali ini Anya duduk di tempat tidurnya, memandang ke arah jendela yang sama, seperti boneka yang tidak memiliki jiwa.     

Tara merasa sedikit panik. Ia merasakan firasat buruk saat melihat Anya terus menerus menatap ke arah luar jendela.     

"Ada apa di luar jendela? Mengapa kamu terus melihat kesana?" tanya Tara.     

"Aku dengar, begitu seseorang meninggal, jiwanya tidak akan langsung pergi. Aku bertanya-tanya, apakah aku bisa melihat anakku …" gumam Anya.     

Tara merasa bulu kuduknya berdiri. Ternyata Anya bukannya ingin bunuh diri atau apa pun. ia hanya ingin melihat anaknya.     

"Anya, anakmu sudah pergi ke surga. Ia tidak ada di jendela itu," Tara berusaha untuk menghiburnya sambil mengelus tangannya.     

"Semua ini salahku. Aku tidak bisa melindungi anakku," kata Anya. Air mata seperti melarikan diri dari sudut matanya, mengalir dengan mulus di pipi Anya.     

"Jangan menangis …" Tara memeluk sahabatnya dan menepuk punggungnya, seperti sedang menghibur anak kecil.     

"Tara, hatiku sangat sakit. Aku tidak tahu harus berbuat apa!" tangan Anya mencengkram dadanya, berharap cengkeraman itu bisa mengurangi perih di hatinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.