Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Dua Jam



Dua Jam

0"Ada apa dengannya? Mengapa tangannya sangat dingin?" tanya Aiden dengan panik.     

Dokter yang mendampingi Anya langsung menjelaskan. "Tuan, operasinya berhasil dan kami berhasil menghentikan pendarahannya. Nona Anya kehilangan cukup banyak darah dan suhu di dalam ruang operasi rendah sehingga tangannya terasa dingin. Setelah kembali ke kamarnya, ia akan pulih."     

Setelah itu, Anya dikirimkan kembali ke kamarnya. Begitu terbangun, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.     

Nico dan Tara datang untuk mengunjunginya, tetapi mereka hanya bisa melihat dari luar pintu. Aiden tidak membiarkan mereka masuk dan langsung mengusir mereka.     

Raka tahu bahwa Aiden tidak membiarkan siapa pun mengunjungi Anya, tetapi ia tetap memberanikan diri untuk datang.     

Untungnya, Aiden memperbolehkannya masuk sebagai ucapan terima kasih karena telah membantu Anya selama ia tidak bisa mendampinginya.     

Wajah Anya pucat pasi seperti kertas kosong. Meski sedang tertidur sekali pun, matanya masih mengalirkan air mata.     

"Mengapa kamu tidak melindunginya? Mengapa kamu membiarkannya menderita seperti ini?" Raka mengamuk dan berteriak pada Aiden.     

Aiden tidak mengatakan apa pun dan hanya memandang tubuh istrinya yang terbaring di kamar rumah sakit.     

Tadi pagi, tangan mungil ini masih terangkat untuk merasakan tetesan hujan dari langit.     

Tadi pagi, tubuh mungil ini masih berputar-putar dengan gembira di bawah gerimis.     

Mereka masih berjalan sambil bergandengan di pagi hari. Tetapi sekarang, Anya hanya bisa diam di tempat tidurnya, sama sekali tidak bergerak.     

"Aku tidak menyangka semua ini akan terjadi. Aku hanya ingin menghabiskan hari Natal bersamanya dan berpisah darinya setelah hari ini," kata Aiden dengan suara pelan.     

"Apa bedanya? Apa ada bedanya membunuh anaknya hari ini dan besok? Apa kamu tidak bisa memahami apa yang ia inginkan?"     

"Aku tidak bisa memberikan apa yang ia inginkan," bisik Aiden.     

"Anya tidak memaksamu untuk tetap tinggal bersamanya. Kalau kamu mau bercerai, ia tidak akan mengganggumu. Ia hanya ingin mempertahankan anak di dalam kandungannya. Kamu tahu sendiri betapa Anya sangat menghargai hubungan darah dan keluarga. Tidak bisakah kamu mengabulkan permintaannya?" kata Raka, mengungkapkan isi hati Anya.     

Ketika mendengar Raka mengatakannya, air mata Anya mengalir semakin deras. Ia menarik selimut yang membungkus tubuhnya dan menutupi kepalanya.     

"Anya, kamu sudah bangun?" Raka langsung menyadari pergerakan Anya.     

"Raka, tolong suruh dia keluar. Aku tidak mau melihatnya," suara Anya terdengar lemah.     

Wajah Aiden langsung terlihat muram, jauh lebih buruk dibandingkan sebelumnya. "Beristirahatlah. Aku akan berjaga di luar. Tidak akan ada yang bisa menyakitimu lagi."     

"Untuk apa? Aku tidak akan bisa lebih sakit dari pada ini …" bisiknya pelan, tetapi suaranya itu terdengar oleh Aiden dan Raka.     

Aiden keluar dari kamar tersebut dengan langkah yang berat.     

Di sudut koridor, Nico mengangkat kepalanya ketika melihat pintu kamar Anya terbuka. Saat melihat Aiden diusir dari kamar tersebut oleh Anya, ia kembali menundukkan kepalanya.     

"Anya, kamu harus menjaga dirimu. Terus menerus bersedih tidak baik untuk kesehatanmu," kata Raka.     

"Apa gunanya aku hidup kalau aku tidak bisa melindungi anakku sendiri …" kata Anya sambil menangis.     

"Tenanglah. Kamu tidak hanya hidup untuk Aiden dan anak itu. Kamu masih punya mimpimu. Kamu masih punya ibumu. Pikirkan mengenai ibumu," kata Raka.     

Anya terlalu larut dalam kesedihannya sehingga baru teringat akan ibunya. Hatinya terasa semakin sedih saat mengingat Diana.     

Ia membuka selimut yang menutupi kepalanya. Sementara itu, Raka membantunya agar bisa bersandar lebih nyaman.     

"Raka, jangan beritahu ibuku mengenai masalah ini. Aku tidak mau ibu khawatir," kata Anya.     

Raka mengangguk, "Tadi siang aku mengunjungi ayahmu di rumah sakit. Ia sudah tidak kesakitan seperti sebelumnya. Tadi siang ia tidur dengan nyenyak."     

"Jangan beritahu ayah juga mengenai hal ini," kata Anya. Air mata tidak bisa berhenti mengalir dari sudut matanya.     

Raka memberikan tisu pada Anya. "Jangan menangis."     

"Aku pikir Kak Maria adalah orang baik. Mengapa ia melakukan ini kepadaku? Apa sebenarnya salahku padanya?" tanya Anya dengan mata memerah.     

Raka hanya bisa menghembuskan napas panjang. Selama ini, ia menganggap Maria sebagai sosok ibu dan istri yang luar biasa.     

Siapa yang tahu bahwa wanita seperti itu juga bisa berbuat buruk dan membunuh anak orang lain.     

"Terkadang kita melakukan sesuatu karena kita percaya apa yang kita lakukan itu benar. Manusia memang seegois itu. Aku tidak memahami mengapa ibu Nico melakukan ini, tetapi aku yakin ia juga pasti kesulitan saat melakukannya," kata Raka     

"Apakah mereka masih punya hati? Mengapa mereka melakukan ini padaku?"     

Aiden yang berada di luar pintu bisa mendengar semua kata-kata Anya. Tangannya terkepal dengan erat. Punggung tangannya sudah babak belur karena memukul dinding. Meski sudah dibalut dengan perban, noda darah masih terlihat dengan jelas dari luar.     

Aiden meninggalkan rumah selama kurang lebih dua jam.     

Selama dua jam itu pula Anya berusaha keras untuk melindungi anak di dalam kandungannya dengan cara apa pun. Memberontak, melawan, memohon hingga bersujud di lantai.     

Selama dua jam itu pula Anya berharap Aiden akan kembali dan menyelamatkannya.     

Semakin besar harapan yang ia taruh pada Aiden, semakin besar pula kekecewaan yang ia rasakan saat tahu bahwa tidak ada orang yang menyelamatkannya.     

…     

Di rumah Keluarga Atmajaya.     

Maria seperti telah kehilangan jiwanya saat ia duduk di sofa ruang keluarga, menanti kabar mengenai Anya.     

"Di mana, Ibu?" tanya Nico dari pintu depan.     

Maria langsung menghampiri Nico dan bertanya sambil menangis. "Nico, bagaimana keadaan Anya?"     

"Ibu! Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu membunuh anak paman dan bibi?" Nico tidak bisa memahami semua ini. Mengapa ibunya melakukan hal seperti ini?     

Tadi saat di rumah sakit, Aiden menatap ke arahnya dengan penuh kebencian seolah ingin mengoyaknya hingga hancur berkeping-keping.     

"Aku juga tidak mau melakukannya. Semua ini demi kebaikan mereka!" jawab Maria sambil menangis.     

Nico tidak paham sementara Maria hanya menangis dan menangis. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk bertanya pada Bima.     

"Di mana kakek? Kakek …" Nico berteriak dari ruangan ke ruangan tetapi tidak menemukan kakeknya.     

"Tuan Bima pergi. Tidak tahu kemana," kata seorang pelayan.     

"Ia merasa bersalah menyuruh ibuku melakukan hal ini sehingga pergi untuk menenangkan dirinya," Nico merasa kesal karena ia tidak bisa mendapatkan jawaban dari siapa pun.     

"Tuan Nico, jangan salahkan Tuan Bima. Ia juga sangat sedih," pelayan tua tersebut menghela napas panjang.     

Nico kembali mengingat saat Anya baru saja hamil, semua keluarganya menyambut berita itu dengan bahagia. Namun, tiba-tiba saja semuanya berubah.     

Pertama, Aiden ingin menceraikan Anya dan semua anggota keluarganya setuju memaksa Anya untuk menggugurkan kandungannya.     

Dan semua perubahan ini dimulai sejak Keluarga Atmajaya menemukan adiknya.     

"Ibu, kamu menemukan adikku kan? Sebenarnya siapa dia dan di mana dia sekarang? Apakah ini ada hubungannya dengan bibi? Apakah bibi adalah adikku?" Nico menanyakan dugaannya.     

Maria tidak menjawab, tetapi ia menangis semakin keras.     

"Ibu, masalahnya tidak segila itu kan? Katakan bahwa ini tidak benar," Nico tertawa dengan canggung, berharap ibunya akan menertawakan hal gila ini. Tetapi Maria hanya bisa menundukkan kepalanya dan menangis.     

"Tidak!" Nico terduduk di sofa. Ia menundukkan kepalanya dan mengusap kepalanya dengan kedua tangannya.     

"Keluarga Atmajaya sudah melakukan tiga kali tes DNA dan hasilnya sama. Jangan salahkan Tuan Bima atau pun Nyonya Maria. Ini sudah takdir!" pelayan tua itu juga meneteskan air matanya.     

Mata Nico ikut memerah, ia mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. "Ibu! Bisakah kamu berhenti menangis? Katakan padaku yang sebenarnya!"     

"Nico, mengapa nasib ibu harus seperti ini?" Maria menangis dan menangis.     

Ia harus kehilangan anak yang ia lahirkan. Setelah itu, ia dipaksa untuk merawat dan membesarkan anak haram suaminya.     

Kemudian, anak yang ia rawat itu juga hilang.     

Ia kehilangan kedua putrinya!     

Ia tahu sulit untuk menemukan anak yang sudah hilang selama berpuluh-puluh tahun, tetapi ia tidak menyangka bahwa identitas putri kandungnya ternyata akan membuatnya merasa lebih sakit hati lagi.     

"Aku tidak percaya! Ini tidak mungkin! Aku akan pergi ke rumah sakit dan menanyakannya," Nico tidak bisa menerima semua ini.     

Ia bergegas berlari menuju ke arah pintu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.