Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Tidak Bisa Percaya



Tidak Bisa Percaya

0"Kak, mengapa kamu mengunci pintunya?" Anya merasa jantungnya berdegup dua kali lebih kencang. Meski saat ini ia bersama dengan Maria, orang yang tidak mungkin menyakitinya, entah mengapa ia tetap merasa gugup.     

"Aku mengunci pintunya agar tidak akan orang yang menerobos saat kita bicara. Kalau tidak dikunci, mungkin akan ada yang menguping dari luar," kata Maria, berusaha untuk menenangkan Anya.     

"Kak, tidak usah dikunci. Tidak akan ada orang yang masuk," Anya ingin membuka pintunya tetapi Maria menghentikannya.     

"Duduklah denganku. Aku ingin memberitahumu sesuatu," tanpa menunggu jawaban Anya, Maria langsung menggandengnya menuju sofa di dekat jendela dan duduk di sana.     

Anya terus memandang ke arah pintu dan merasa gugup. Ia merasa tidak aman berada di ruang tertutup seperti ini.     

Bagaimana pun juga, ia sering mengalami hal buruk karena kecerobohannya.     

Hari ini, Maria datang tidak diundang, bersama dengan lima chef yang tidak dikenalnya. Sepertinya, Maria bukan ingin membantunya menyiapkan pesta Natal tetapi datang untuk menemuinya.     

Atau lebih tepatnya, Maria datang untuk bayi di dalam kandungannya!     

"Anya, bagaimana pendapatmu mengenai perceraianmu dengan Aiden?" tanya Maria dengan cemas.     

"Kak, apakah kamu tahu sesuatu? Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Aiden tiba-tiba ingin menceraikan aku?" tanya Anya dengan penuh semangat.     

Mungkin ia bisa mendapatkan jawabannya dari Maria.     

"Anya, jangan tanya padaku. Aku tidak bisa memberitahumu apa-apa. Ketahuilah bahwa aku menyayangimu dan aku juga berharap semuanya tidak seperti ini. Jangan salahkan kami," Maria tidak bisa menahan kesedihannya lagi.     

"Lalu, apa yang ingin kamu katakan padaku, Kak? Kalau Aiden tidak mau memberitahuku alasan mengapa ia ingin berpisah dariku, aku tidak akan menandatangani surat cerai itu. Aku tidak akan mau berpisah dengannya tanpa tahu alasan yang sebenarnya," kata Anya dengan keras kepala.     

Maria menatap Anya dengan air mata membanjiri matanya. Hingga saat ini pun, ia masih tidak bisa percaya ternyata Anya adalah putrinya. Ia tidak bisa mempercayai kenyataan ini.     

Tetapi setelah tiga tes DNA, hasilnya semua sama. Apa yang bisa ia lakukan?     

"Anya, aku dengar dari Nico kamu diterima di Akademi Parfum Perancis. Kamu masih sangat muda. Kamu bisa mencapai kesuksesan dalam karirmu …"     

"Kak, kalau kakak berusaha membujukku untuk bercerai dari Aiden dan membunuh anak ini, aku tidak mau mendengarnya lagi," Anya menyela kata-kata Maria dan berteriak dengan marah. "Kalian tidak bisa memperlakukanku seperti ini!"     

"Anya, hidupmu masih sangat panjang. Anak ini …"     

"Mengapa dengan anak ini? Apa salah anak ini?" Anya memandang ke arah Maria lekat-lekat, berharap bisa mendapatkan informasi yang berguna. Apakah Keluarga Atmajaya juga mencurigai bahwa anak ini bukan anak Aiden?     

"Aku tidak bisa mengatakan apa pun. Pokoknya anak ini tidak boleh dilahirkan. Kamu berhubungan dengan Raka akhir-akhir ini. Keluarga Atmajaya tidak mau menerima anak ini,�� Maria berusaha untuk mengeraskan hatinya dan menyudutkan Anya dengan mengatakan bahwa anak itu bukan darah daging Keluarga Atmajaya.     

"Kak, anak ini adalah anak Aiden. Aku tidak akan pernah mengkhianatinya. Kalau Keluarga Atmajaya tidak mau menerima anak ini, bisakah kalian memberikan anak ini kepadaku? Aku akan mengurusnya sendiri. Aku tidak akan meminta uang atau bantuan apa pun pada kalian. Aku hanya ingin anak ini," kata Anya.     

"Anya, maafkan aku. Tetapi anak ini tidak boleh dibiarkan hidup," Maria menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan menangis.     

Anya bisa merasakan hatinya hancur menjadi setitik debu. Keluarga Atmajaya tidak menginginkan anak ini dan ingin membunuhnya. Mengapa mereka tidak membiarkannya membawa anak ini pergi saja?     

Mengapa anak ini harus mati?     

Mengapa mereka begitu kejam?     

"Tidak! Kalian tidak punya hak untuk melakukan ini. Anak ini adalah anakku. Aku yang berhak menentukan apakah anak ini bisa dilahirkan atau tidak," Anya berdiri dengan kesal. Tetapi tiba-tiba saja, ia merasa perutnya sakit.     

Ia terkejut dan merasa bingung saat merasakan rasa sakit itu. Kemudian, ia teringat akan jus jeruk aneh yang ia minum di bawah.     

Anya menoleh dan menatap ke arah Maria dengan tidak percaya. Ia tidak percaya Maria akan melakukan hal ini kepadanya.     

Maria yang selama ini begitu baik kepadanya …     

Maria yang selama ini selalu membelanya bahkan saat Bima tidak menyukainya …     

Maria yang mengajaknya untuk bersama-sama melawan Imel …     

Ia tidak bisa mempercayai semua ini.     

Air mata menetes dari sudut mata Anya. Matanya memandang Maria dengan penuh kebencian. Hatinya terluka begitu dalam karena pengkhianatan dari kakak ipar yang ia kagumi.     

"Anya, jangan menatapku seperti itu. Aku … aku tidak tahu apa-apa," kata Maria dengan merasa bersalah.     

"Kak, apa yang kamu masukkan dalam jus jeruk itu?" tanya Anya sambil memandang lurus ke arah Maria.     

"Aiden sangat peduli padamu. Aku juga sangat mencintaimu. Aku tidak akan pernah menyakitimu," gumam Maria dengan suara pelan.     

Mencintaimu?     

Tidak akan pernah menyakitimu?     

Ini sungguh konyol!     

"Tetapi kamu ingin membunuh anakku," Anya yakin betul ada sesuatu yang salah dengan jus jeruk itu. Ia yakin Maria mencampurkan sesuatu ke dalam jus itu.     

Perutnya terasa semakin dan semakin sakit. Ia tahu ini bukan rasa sakit biasa.     

Anya takut ia akan kehilangan anak di dalam kandungannya.     

Tangan Maria gemetaran saat ia membuka tasnya. Ia mengeluarkan sebuah botol obat.     

Pil aborsi.     

"Kamu hanya minum sedikit jus jeruk itu dan obatnya masih belum cukup. Minum satu lagi. Setelah itu, anak itu akan pergi."     

Anya menatap botol obat itu dengan tatapan ketakutan. Ia melihat botol itu dan tidak mengenali tulisannya. Sepertinya obat itu adalah obat impor.     

Rasa sakit yang ia rasakan semakin hebat membuat dahinya berkeringat dingin. "Kak, cepat telepon ambulans. Usia kehamilanku sudah hampir tiga bulan, aku tidak boleh meminum obat semacam itu. Meski kamu ingin membunuh anak ini, kamu bisa mengirimku ke rumah sakit untuk aborsi."     

"Anya, percayalah padaku. Obat ini aman dan tidak akan mempengaruhi kesehatanmu. Operasi bisa berdampak buruk padamu. Dari pada dikirimkan ke rumah sakit oleh ayah, lebih baik kamu dengarkan aku dan minum obat ini sekarang," kata Maria.     

Wajah Anya memucat dan tangannya langsung memeluk perutnya. Ia berlari menuju ke arah pintu dan berteriak dengan keras. "Bu Hana, tolong aku! Tolong aku!"     

Sebelum tangan Anya bisa memegang gagang pintu, Maria langsung menahan tubuhnya.     

"Anya, tidak ada gunanya berteriak. Lima orang yang aku bawa tadi adalah orang suruhan ayah. Mereka bukan chef. Orang-orang itu telah mengamankan seluruh rumah ini. Tidak ada yang bisa membantumu. Tidak akan ada yang mendengar teriakanmu," kata Maria dengan sedih. "Aku mohon, menurutlah padaku. Menurutlah padaku dan minumlah obat ini. Setidaknya, kamu tidak akan menderita."     

"Tidak! Tidak!" Anya meronta dan berusaha untuk melepaskan tangannya dari Maria. Kemudian ia langsung berlari menuju ke kamar mandi.     

Ia berjongkok di depan wastafel dan memasukkan jarinya ke dalam tenggorokan, berusaha untuk memuntahkan jus jeruk yang telah diminumnya.     

Anya menangis saat melakukannya, berharap ia masih bisa menyelamatkan anaknya.     

"Sudah setengah jam lebih sejak kamu meminum obat itu. Kamu tidak bisa memuntahkannya. Obat itu sudah bekerja. Anya, kakak tidak ingin menyakitimu. Aku juga mencintaimu dan aku melakukan semua ini untukmu. Dengarkan aku dan minum obatnya satu lagi. Dengan begitu, rasa sakitnya akan lebih cepat berakhir. Kamu tidak akan terlalu menderita," Maria menangis sambil memberikan obat itu pada Anya dengan tangan gemetaran.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.