Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Menjemputnya



Menjemputnya

0"Mengapa kamu mau membantunya setelah apa yang ia perbuat padamu?"     

"Aku memang tidak menyukai Bu Mona dan kekasih barunya, tetapi bukan berarti aku menginginkan ada hal buruk yang terjadi pada mereka," kata Anya sambil tersenyum. "Meski aku membenci Bu Mona sekali pun, aku tidak punya hak untuk menghukumnya. Sudah menjadi tugas manusia untuk membantu sesamanya, apa lagi kalau masalahnya berhubungan dengan nyawa seseorang."     

"Bagaimana kamu bisa tahu pria itu tidak mati?" tanya Deny.     

"Dengan usia Bu Mona dan kondisinya saat ini, mustahil baginya untuk membunuh seorang pria dewasa dengan sebuah pisau buah kecil. Sehingga aku pikir pria itu hanya pingsan. Jadi, aku berusaha untuk menenangkan Bu Mona dan meminta alamatnya, setelah itu aku memberitahukannya pada polisi," kata Anya. "Aku melakukan semua ini untuk membantu Bu Mona. Kalau ia melarikan diri dan pria itu mati, ia akan menjadi buronan atas dasar pembunuhan."     

"Benar. Seharusnya ia berterima kasih padamu," Deny menatap Anya dengan senang. "Putriku sangat baik hati."     

Anya tersenyum tetapi tidak mengatakan apa pun. Ia tidak bisa lupa saat Mona memarahinya atau menghajarnya. Ingatan itu masih membekas di benaknya.     

Hari ini adalah malam Natal. Ia hanya tidak ingin ada orang yang menderita di hari yang indah ini.     

"Ayah, sebentar lagi jam 12 malam, hari Natal," kata Anya sambil tersenyum. "Sebelum ayah dan ibu bercerai, kalian selalu menyiapkan hadiah untukku setiap hari Natal. Tetapi setelah perceraian itu, ayah sama sekali tidak peduli padaku lagi, seperti bukan ayahku."     

"Ayah minta maaf. Pada saat itu, ayah benar-benar menginginkan anak laki-laki dan kamu …" Deny menghela napas panjang.     

"Aku mengerti. Semuanya sudah berlalu," Anya tidak ingin memikirkan mengenai masa lalu. Ia sudah melupakan semuanya.     

"Anya, bukalah lemari itu. Ada sesuatu untukmu," kata Deny. "Terimalah itu sebagai hadiah Natal untukmu dan juga sebagai permintaan maaf dari ayah."     

Anya membuka lemari yang ditunjuk oleh Deny dan melihat amplop coklat berisi dokumen. Ia mengeluarkan isinya dan langsung mengembalikannya setelah melihatnya sekilas saja.     

"Aku tidak bisa menerima uang itu. Uang itu milik ayah. Walaupun operasinya berhasil, ayah masih harus menjalani masa pemulihan. Ayah membutuhkan uang untuk biaya rumah sakit dan obat-obatan. Belum lagi biaya untuk sehari-hari. Natali juga membutuhkan uang untuk pemulihannya," kata Anya.     

"Ayah sudah memberikan lebih banyak uang pada Natali. Jangan salahkan ayah karena memberi Natali lebih banyak. Ayah tahu kamu bertanggung jawab dan bisa menghidupi dirimu sendiri. Sementara Natali hanya bisa bergantung padaku seumur hidupnya," kata Deny.     

"Ayah, aku akan menerima ketulusan darimu. Tetapi aku tidak mau menerima uang itu," Anya mengembalikan amplop itu ke dalam lemari. "Aku menemanimu di rumah sakit bukan karena menginginkan uangmu. Kalau aku butuh uang, lebih mudah bagiku untuk meminta pada Aiden."     

"Anya, ayah …"     

"Sudah jam dua belas. Selamat hari Natal, Ayah," Anya tersenyum, menyela apa pun yang ingin Deny katakan.     

"Selamat hari Natal," kata Deny.     

"Sudah malam. Istirahatlah!" Anya mengucapkan selamat malam dan kembali berbaring di sofa. Sebenarnya, ada tempat tidur untuk keluarga yang menginap di dalam kamar tersebut, tetapi Anya lebih memilih untuk tidur di sofa.     

Anya berbaring tanpa mengatakan apa pun, memandang ke arah luar jendela di mana hujan mengguyur tanah semakin dan semakin deras.     

Pikirannya melayang, membayangkan pria yang dirindukannya.     

Apakah Aiden pulang hari ini? Apakah Aiden merasa kesepian saat ia tidak ada di rumah?     

Atau ia merasa lebih nyaman dengan tidak adanya Anya di rumah?     

Anya tidak tahu …     

…     

Saat ini, Aiden sedang duduk di sofa ruang keluarga. Memandang ke arah pintu rumahnya.     

Ia tidak tahu apa yang ia tunggu. Ia tahu malam ini Anya menginap di rumah sakit, tetapi entah mengapa ia tidak mau kembali ke kamarnya. Pandangannya terus menerus terpaku pada pintu rumahnya yang tertutup rapat.     

"Tuan, hujannya semakin deras. Saya membuatkan teh hangat untuk Anda," kata Hana sambil meletakkan secangkir teh di meja. "Setiap hari, Anya duduk di tempat yang sama dengan Anda, memandang ke arah pintu sambil melamun."     

Hati Aiden terasa sakit mendengarnya. "Apakah kamu tidak bilang padanya bahwa aku tidak akan pulang?"     

"Saya sudah bilang, tetapi Anya tetap bersikeras duduk di sini dan menunggu Anda hingga larut malam, sebelum kembali ke kamarnya," kata Hana dengan ekspresi sedih. "Tuan, istri Anda benar-benar mencintai Anda. Mengapa kalian harus berpisah?"     

"Bu Hana, sudah malam. Beristirahatlah," Aiden tidak mau menjawab pertanyaan Hana dan langsung mengalihkan pembicaraan.     

Setelah kepergian Hana, Aiden tetap duduk di tempatnya sambil memikirkan Anya.     

Anya duduk di tempat yang sama dengannya. Menunggunya, seperti saat ini ia sedang menunggu Anya.     

Ia sangat merindukan Anya. Rasanya kerinduan ini seperti ingin membunuhnya!     

Menunggu Anya malam itu membuat waktu terasa berjalan lebih lama. Setelah ini, setiap hari Aiden harus menghabiskan waktunya seperti ini, menunggu Anya tanpa bisa mendapatkannya kembali.     

Karena Anya akan segera menghilang dari kehidupannya …     

…     

Keesokan pagi, hujan sudah berhenti. Tetapi genangan air masih tersisa di jalan. Daun-daun pun masih basah terkena tetesan air hujan.     

Pagi-pagi, Hana menelpon Anya untuk menanyakan kapan Anya akan pulang.     

"Bu Hana, apakah semalam Aiden pulang?" tanya Anya.     

"Iya," jawab Hana dengan suara pelan.     

Senyum di wajah Anya langsung membeku. Aiden pulang semalam.     

Sudah lama Anya menunggu kepulangan Aiden di rumah mereka tetapi Aiden tidak kunjung datang. Setelah ia pergi dari rumah untuk menemani ayahnya, Aiden memutuskan untuk pulang.     

Ternyata seperti itu. Selama tidak ada Anya di rumah itu, Aiden akan pulang …     

Ketika Anya melamun, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia mendapatkan sebuah pesan singkat dari Aiden.     

Aiden : Turunlah.     

Anya melihat satu kata yang tertera di layarnya itu dan tidak bisa menahan rona di wajahnya.     

"Anya, ada apa?" Deny merasa khawatir melihat perubahan suasana hati Anya yang cepat.     

"Ayah, Aiden datang menjemputku. Aku harus pulang," kata Anya dengan senang.     

"Pulanglah dan beristirahatlah. Terima kasih sudah menemani ayah kemarin," kata Deny sambil tersenyum.     

Setelah berpamitan, Anya langsung bergegas keluar. Karena begitu senangnya, Anya bahkan berlari kecil saat turun ke bawah, membuat pengawal Aiden yang mengikutinya sedikit khawatir.     

Berada di rumah sendirian kemarin malam membuat Aiden merasa sangat kesepian. Ia benar-benar merindukan istri kecilnya.     

Ia benar-benar merindukan Anya hingga hampir menggila!     

Kemarin malam, hujan sangat deras sehingga beberapa kawasan tergenang banjir. Mobil yang dikendarai oleh pengawal Aiden adalah mobil sedan sehingga Aiden merasa khawatir Anya tidak bisa pulang.     

Akhirnya, Aiden menggunakan mobilnya yang lain untuk menjemput Anya.     

Anya berdiri di depan pintu rumah sakit, melihat ke arah mobil-mobil yang berjejeran di tempat parkir.     

Di mana Aiden?     

Ia masih ingat bahwa pernikahan mereka akan berakhir sebelum tahun baru. Mungkin hari ini adalah Natal pertama dan terakhir mereka.     

"Di sana, Nyonya," pengawal Aiden yang pertama kali menemukan mobil Aiden. Ia menuntun Anya berjalan ke arah mobil dengan hati-hati, khawatir Nyonya-nya akan terpeleset karena genangan air.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.