Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Mengapa Membantunya?



Mengapa Membantunya?

0Malam hari, sekitar pukul 10 malam, hujan turun dengan deras. Ponsel Deny terus menerus berdering, membangunkan Anya yang tertidur.     

Ia mengambil ponsel yang berada di atas meja dan melihat nama Mona.     

Anya diam sebentar dan kemudian berkata pada ayahnya, "Ayah, Bu Mona menelponmu."     

"Mengapa ia meneleponku malam-malam begini?" Deny masih merasa kesakitan dan suasana hatinya sangat buruk. Dokter mengatakan bahwa ia harus bersabar dan banyak beristirahat sehingga ia hanya bisa menahan rasa sakit itu.     

Saat ini, ia benar-benar merasa buruk dan tidak ingin menjawab telepon Mona.     

"Mungkin ada sesuatu yang mendesak sehingga ia menelepon ayah," Anya menjawab ponsel ayahnya.     

Tanpa menunggu jawaban dari seberang telepon, suara Mona yang gemetaran langsung terdengar. "Suamiku, tolong aku. Aku telah membunuh seseorang."     

Anya terdiam sejenak dan langsung memberikan ponselnya kepada Deny. "Ayah, Bu Mona bilang ia membunuh seseorang."     

Deny langsung mengambil alih ponsel tersebut. "Siapa yang kamu bunuh?"     

"Suamiku, tolong bantu aku. Aku tidak sengaja!" Mona menangis dan tidak bisa menjelaskan situasinya saat ini.     

Dengan tidak sabar, Deny berkata, "Kamu yang membunuh orang. Apa yang kamu inginkan dariku? Lebih baik kamu mati saja!" Deny langsung menutup telepon tanpa menunggu jawaban dari Mona.     

Mona tidak punya pilihan lain selain menelepon Deny kembali. Anya melihat nama Mona kembali muncul di layar ponsel ayahnya.     

Anya merasa khawatir, takut Mona benar-benar mendengarkan kata-kata Deny dan bunuh diri sehingga akhirnya ia mengangkat telepon.     

"Suamiku, aku benar-benar tidak sengaja. Aku memberikan jam tangan pemberian Raka kepadanya tetapi ia masih tidak puas juga. Saat aku tidur, ia mencuri semua perhiasanku dan juga mencekik leherku, memaksaku untuk menyebutkan password kartu ATM Raka. Kalau aku tidak membunuhnya, ia akan mencekik leherku hingga mati," Mona menangis dengan pahit.     

"Di mana kamu sekarang? Aku akan mengirim seseorang untuk membantumu," kata Anya sambil berjalan keluar dari kamar Deny.     

"Anya, apakah kamu benar-benar akan membantuku?" Mona tidak bisa percaya dengan apa yang didengarnya.     

"Aku sedang hamil. Mungkin kalau aku membantumu, amal perbuatanku akan menjadi keberuntungan bagi anakku. Beri tahu alamatmu," kata Anya.     

Mona langsung memberitahu alamatnya. Anya menyuruh pengawal Aiden yang mengikutinya untuk pergi ke rumah Mona.     

"Anya, cepat suruh seseorang kemari. Aku sangat takut!" Mona begitu ketakutan hingga suaranya gemetaran.     

Mona terus menerus berbicara, tetapi Anya tidak mendengarnya. Ia menutupi mikrofon ponsel itu dengan tangannya dan berkata pada pengawal Aiden. "Hubungi polisi dan beritahukan alamat itu pada mereka,"     

Pengawal Aiden mengangguk dan langsung menghubungi polisi serta ambulans.     

"Anya, apakah kamu mendengarku?" Mona merasa cemas karena tidak bisa mendengar suara Anya.     

"Orang suruhanku sudah berangkat. Sepuluh menit lagi ia akan tiba. Tidak perlu takut. Semuanya baik-baik saja," setelah itu, Anya bertanya. "Apa yang kamu gunakan untuk melukai orang tersebut? Bagaimana kondisinya sekarang?"     

"Pisau buah. Sebelum tidur, kami selalu makan buah di tempat tidur sehingga pisau buah itu tertinggal di nakas. Seluruh tubuhnya dipenuhi dengan darah. Aku tidak berani melihatnya. Anya, bantu aku. Apa yang harus aku lakukan?" Mona sangat membenci Anya. Tetapi di saat membutuhkan seperti ini, ia sudah tidak memedulikan harga dirinya lagi. ia bahkan sudah melupakan kebenciannya pada Anya.     

Ia benar-benar membutuhkan bantuan!     

"Jangan panik. Selama tusukannya tidak dalam, ia tidak akan mati. Kamu akan baik-baik saja," kata Anya.     

"Aku tidak tahu apakah ia sudah mati atau belum. Ia tergeletak di lantai kamar dan sekarang aku berada di ruang tamu," Mona terus menerus menangis dengan panik.     

"Tunggu orang suruhanku datang. Kamu juga harus berhati-hati, kalau-kalau orang itu bangun dan berusaha untuk melukaimu."     

"Anya, aku tidak menyangka kamu peduli padaku," Mona merasa bingung. Tetapi karena Anya menemaninya dan berusaha untuk menenangkannya, ia tidak setakut sebelumnya.     

"Ayahku baru saja selesai operasi dan kesakitan. Ia tidak benar-benar ingin kamu mati," kata Anya.     

Ketika sedang tidak berdaya, mereka adalah orang pertama yang Mona cari. Kalau Anya tidak membantunya dan Mona benar-benar bunuh diri, rasa bersalah akan terus menggerogoti Anya dan Deny hingga seumur hidupnya.     

Anya menyadari hal itu sehingga ia tidak bisa mengabaikan Mona.     

Tidak peduli seberapa besar kebencian yang ia rasakan pada Mona, ia akan berusaha untuk membantu Mona saat ini.     

"Anya, ada orang yang datang dan mengetuk pintu. Apakah itu orang suruhanmu?" Mona berlari dan menghampiri pintu dengan semangat. Tetapi ia malah mendengar suara polisi.     

Dari seberang telepon, Anya juga bisa mendengar suara polisi tersebut.     

"Buka pintunya dan menyerahlah pada polisi itu. Jangan menyembunyikan apa pun. Kalau kamu mengaku, hukuman yang akan kamu dapatkan akan ringan. Polisi itu bisa menentukan apa kamu sengaja melukainya atau berusaha melindungi dirimu sendiri. Selama kamu melakukannya dengan tidak sengaja, kamu masih memiliki kesempatan," kata Anya dengan tenang.     

"Dasar brengsek! Kamu sengaja melakukannya. Kamu sengaja menelepon polisi untuk menangkapku!" teriak Mona dengan marah.     

"Ini adalah kesempatanmu. Dari pada hidup dalam persembunyian, lebih baik mengaku pada polisi. Kamu tidak bisa melarikan diri. Cepat buka pintunya!" kata Anya.     

Pada saat itu pula, teriakan Mona terdengar dari ujung telepon, diikuti dengan suara pria yang marah. "Dasar wanita murahan. Beraninya kamu mencoba membunuhku!"     

Ketika mendengar suara pria, Anya langsung bisa menebak siapa orang tersebut. Ia langsung berteriak. "Cepat buka pintunya!"     

"Ah! Tolong!" suara berisik dari telepon dan juga teriakan Mona membuat para polisi langsung mendobrak pintunya.     

Ponsel Mona jatuh ke lantai. Meskipun panggilannya masih terhubung, Anya sudah tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang terjadi di sana.     

Anya memegang ponsel ayahnya erat-erat dan kembali ke dalam kamar. Deny menatap ke arah Anya dengan gugup. "Anya, bagaimana keadaannya?"     

"Aku tidak tahu. Polisi sudah datang, tetapi Bu Mona tidak mau membuka pintu. Pria yang ia tusuk sepertinya terbangun dan aku tidak tahu apa yang terjadi padanya," wajah Anya memucat. "Ayah, apakah aku melakukan kesalahan?"     

"Tidak, kamu tidak melakukan kesalahan. Mereka yang bersalah," kata Deny, berusaha untuk menenangkan Anya. "Berikan ponselnya pada ayah."     

Anya memberikan ponsel tersebut pada Deny. Ia membiarkan panggilan itu tetap terhubung hingga seorang polisi menemukan ponsel tersebut dan mengambilnya.     

Deny menjelaskan hubungannya dengan Mona dan polisi tersebut langsung menjelaskan situasi yang terjadi.     

Setelah menutup telepon, Deny tersenyum. "Anya, kamu melakukan hal yang benar. Mereka semua baik-baik saja."     

Anya menghela napas lega mendengar kata-kata Deny. "Baguslah. Untunglah tidak terjadi apa-apa."     

"Mona menusuk pria itu di perutnya, tetapi tidak melukai organ yang penting. Ia langsung dikirimkan ke rumah sakit. ketika polisi masuk ke dalam, mereka melihat pria itu sedang merangkak keluar dari kamar dengan bersimbah darah sementara Mona gemetar ketakutan," Deny menjelaskan kejadiannya pada Anya. "Mona tidak berniat melukai pria itu dan pria itu tidak mati. Semuanya baik-baik saja. Mengapa kamu mau membantunya setelah apa yang ia perbuat padamu?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.