Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Giliranku



Giliranku

0Anya tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata Ivan, tetapi air mata mengalir lebih deras. Semua orang mengatakan bahwa ia bisa hidup lebih baik tanpa adanya anak ini setelah bercerai dari Aiden.     

Tetapi adakah satu orang pun yang menanyakan apa yang sebenarnya ia inginkan?     

Bagaimana mereka bisa memutuskan dengan mudahnya bahwa ini adalah keputusan terbaik, tanpa menanyakan perasaannya?     

"Kalian semua mengatakan ini yang terbaik untukku. Bercerai lebih baik untukku, tanpa anak ini lebih baik untukku. Semua ini konyol …" bisik Anya dengan suara pelan. Anya bangkit berdiri dari tempat duduknya.     

Tidak ada gunanya lagi ia berada di sini.     

Tidak ada satu orang pun yang mau membantunya.     

Anya membuka pintu kamar Ivan dan pergi tanpa berpamitan.     

Ivan tidak pernah melihat Anya yang seperti ini.     

Anya yang ia kenal selalu ceria, kuat dan optimis.     

Tidak peduli apa pun halangan dan rintangan yang harus ia hadapi, Anya selalu bertahan dengan senyum di wajahnya.     

Tetapi kali ini, Anya tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.     

Anya seperti sudah menyerah dan tidak bisa bertahan lagi.     

Tetapi Ivan tidak bisa berbuat apa-apa. Ia bahkan tidak berani memberitahu Anya bahwa saat ini Aiden mengurung Bima dan Maria di dalam rumah Keluarga Atmajaya karena tidak mau mereka berdua melukai Anya.     

Di perjalanan pulang, Anya bersandar di jendela dan memandang ke arah luar dengan pasrah.     

Ia tidak mengerti mengapa semua orang memutuskan apa yang terbaik untuknya?     

Mengapa ia tidak bisa membuat keputusan untuk kehidupannya sendiri?     

Mereka semua menyakitinya dengan alasan ingin yang terbaik untuknya, tetapi tidak ada satu orang pun yang peduli dengan apa yang Anya inginkan.     

Di malam hari, Anya menelepon ibunya dan berkata, "Ibu, aku sudah setuju untuk bercerai. Tetapi aku tidak tahu bagaimana cara membujuk Aiden agar aku bisa membawa anak ini."     

"Keluarlah dari rumah itu, tanpa membawa apa pun, tanpa sepeser uang pun dari Aiden. Ibu akan menjual rumah yang ibu beli. Kamu bisa menggunakannya untuk belajar dan hidup di luar negeri," Diana berkata dengan sangat tegas. "Sebagai wanita, kita bisa bertahan hidup sendiri tanpa bantuan pria. Kita adalah wanita yang kuat."     

"Kalau ibu menjual rumah itu, ibu akan tinggal di mana ketika kembali?" tanya Anya dengan khawatir.     

"Aku bisa tinggal di mana pun. Aku juga bisa tinggal di tempat Esther dan membayar biaya sewa," kata Diana dengan tenang.     

"Tetapi …"     

"Apakah kamu khawatir kalau ibumu tinggal bersama denganku? Kami adalah teman dekat. Lagi pula, aku juga tidak punya kesibukan. Aku bisa membantu ibumu di taman. Itu akan sangat menyenangkan," Esther langsung mengambil alih ponsel Diana.     

"Bu Esther, terima kasih," kata Anya dengan penuh rasa syukur.     

"Mengapa kamu sopan sekali kepadaku? Karena kamu, aku bisa terus bekerja di industri parfum. Kamu yang membangkitkan semangatku. Aku sangat kagum padamu. Anya, kamu harus memikirkan mengenai anakmu. Ibumu begitu mencintaimu sehingga ia mengatakan bahwa kamu bisa memutuskan sesuai dengan perasaanmu. Tetapi aku sendiri juga tidak menyarankan kamu melahirkan anak itu," kata Esther.     

Anya sudah sering mendengar kata-kata ini. Hampir semua orang mengatakan bahwa perceraian tanpa anak adalah keputusan yang terbaik.     

"Aku menginginkan anak ini. Setelah itu, aku akan mengabdikan hidupku untuk karirku dan anak ini," Anya sudah terluka begitu dalam. Setelah perceraian ini, mungkin ia sudah tidak bisa jatuh cinta lagi.     

Ia lebih memilih untuk menutup perasaannya dibandingkan merasakan rasa sakit sebesar ini.     

"Anya, aku menyarankan ini karena aku khawatir padamu. Kamu masih sangat muda dan akan bertemu dengan banyak orang di masa depan …"     

"Tidak peduli seberapa banyak pun orang yang aku temui, mereka bukan Aiden. Hanya Aiden yang aku cintai," Anya langsung menyela kata-kata Esther.     

Esther menghela napas panjang dan menjauhkan ponsel dari telinganya, tetapi Anya masih bisa mendengar suaranya. "Kak Diana, aku tidak bisa membujuk Anya."     

"Anya, tidak peduli apa pun keputusanmu, ibu akan mendukungmu. Kalau kamu ingin menggugurkan anak itu dan belajar di luar negeri, ibu akan bekerja keras dan mencari uang untuk membiayaimu. Kalau Keluarga Atmajaya setuju kamu melahirkan anak itu dan membawanya, ibu akan ikut denganmu ke luar negeri dan membantumu untuk menjaga anak itu. Kita bisa menyewakan taman. Ibu bisa hidup tanpa taman, tetapi ibu tidak bisa hidup tanpamu," kata Diana dengan tenang.     

Anya merasa sangat tersentuh. Ibunya telah memikirkan semua untuknya.     

Tetapi Anya tidak punya kepercayaan diri untuk membujuk Aiden.     

"Terima kasih, Ibu. Aku akan mencoba untuk berbicara pada Aiden lagi. Aku akan menghubungimu lagi."     

"Apakah kamu mau ibu kembali?"     

"Tidak usah. Pengobatan ibu berjalan dengan lancar dan kondisi ibu sudah semakin membaik. Aku sudah bukan anak kecil lagi. Aku bisa menangani masalahku sendiri. Jangan khawatir," Anya tidak mau mengganggu pemulihan ibunya.     

Kesempatan ini sangat berharga. Ibunya bisa mendapatkan kembali indera penciumannya dan Anya tidak ingin menjadi penghalang bagi ibunya.     

…     

Satu minggu kemudian, Raka menelepon Anya dan memberitahu mengenai jadwal operasi Deny.     

"Operasinya dijadwalkan tanggal 24 Desember, pagi hari. Apakah kamu punya waktu hari itu?" tanya Raka.     

"Aku akan datang," jawab Anya.     

"Ngomong-ngomong, apakah kamu bertemu dengan Tara akhir-akhir ini? Kata Nico, ia pindah dari rumah Nico dan kembali ke rumahnya," kata Raka.     

"Hah? Sejak kapan?" Anya baru saja menyadari bahwa sudah beberapa hari terakhir ini ia tidak bertemu dengan Tara.     

"Nico bilang Tara mendengar berita bahwa Keluarga Atmajaya memaksamu untuk menggugurkan kandungamu dengan mengirim kamu ke ruang operasi tanpa seijinmu. Ia merasa Keluarga Atmajaya begitu rumit sehingga ia langsung membereskan semua barangnya dan melarikan diri dari rumah Nico. Sudah dua minggu ia menghindari Nico. Akhir-akhir ini, Keluarga Atmajaya mengkhawatirkan mengenai perceraianmu dengan Aiden sehingga Nico tidak bisa memberitahu keluarganya bahwa Tara sudah keluar dari rumahnya," kata Raka dari telepon.     

"Aku akan menemui Tara hari ini dan menelepon Nico nanti malam," Anya tidak ingin perceraiannya menjadi alasan berpisahnya Tara dan Nico.     

Anya menutup telepon dan langsung menelepon Tara. "Tara, apakah kamu mau makan siang bersama? Aku akan menyuruh Bu Hana untuk masak."     

"Ah? Aku sedang sibuk akhir-akhir ini. Walaupun aku memang merindukan masakan Bu Hana, tetapi aku tidak punya waktu," begitu mengangkat telepon, Tara langsung mengeluh.     

"Tidak heran aku tidak melihatmu selama beberapa hari. Aku merindukanmu. Makan sendirian sangat membosankan. Aku akan membawa makan siang ke klinikmu ya?" kata Anya dengan sengaja.     

"Kalau kamu ingin membantu Nico, jangan datang kemari. Kalau kamu memang benar-benar merindukanku dan ingin membawakan makanan untukku, tentu saja aku akan menyambutmu," cibir Tara.     

Anya sangat mengenal Tara. Selama ada makanan sebagai sogokan, bernegosiasi dengan Tara sangatlah mudah.     

"Jangan khawatir, aku tidak akan membantu siapa pun dengan nama Atmajaya," bisik Anya.     

"Kalau begitu datanglah. Aku ingin nasi goreng, ayam goreng, telur ceplok setengah matang. Kalau bisa sekalian bawakan aku chicken wings untuk camilan. Aku terlalu sibuk sehingga tidak sempat makan enak akhir-akhir ini. Sepertinya isi perutku hanya air," Tara berpura-pura memelas.     

"Aku akan meminta Bu Hana memasakannya. Kalau tidak bisa, aku akan membelinya. Tunggu aku," begitu selesai menelepon, Anya langsung mencari Hana.     

Hana tahu bahwa Tara adalah pecinta makanan sehingga ia memasakkan berbagai makanan lezat untuk Anya dan Tara. Hana sampai membungkusnya menjadi beberapa kotak karena begitu banyak masakan yang dibuatnya.     

Kedatangan Anya membuat Tara merasa gembira, apa lagi Anya datang membawa makanan. "Banyak sekali! Kita tidak akan bisa menghabiskannya."     

"Bisa-bisanya kamu bilang begitu. Aku rasa semuanya akan kamu sapu bersih," canda Anya.     

"Bu Hana memang sangat mencintaiku. Apakah ini juga untuk makan malamku?" mata Tara berbinar dengan sangat cerah.     

"Iya. Bu Hana menyiapkan makan malam untukmu juga. Jangan lupa dipanaskan sebelum makan," kata Anya sambil memandang Tara. "Kalau kamu tidak pindah, kamu bisa makan masakan Bu Hana setiap hari."     

"Apakah aku harus menunggu mereka mengusirku? Aku merasa giliranku akan tiba setelah kamu. Aku tidak bisa tinggal di sana lebih lama lagi," kata Tara.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.