Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Toko Kue



Toko Kue

0"Bagaimana dengan anakmu? Kamu tidak akan bisa membawanya saat belajar," tanya Tara.     

"Ibuku bilang kalau aku memilih melahirkan anak ini, ia akan ikut denganku ke Perancis dan membantuku menjaga anak ini. Aku punya cukup uang untuk membiayai kehidupanku di sana. Dan ibuku juga ingin menyewakan taman kami untuk mencari tambahan uang," kata Anya sambil tersenyum. "Aku memiliki ibu yang luar biasa."     

"Kalau uang yang kalian butuhkan kurang, aku bisa membantu. Biaya hidup di luar negeri tidak murah," kata Tara.     

"Ibuku sempat membeli rumah di proyek pembangunan Atmajaya Group. Ia bisa membatalkannya dan mendapatkan uang itu kembali. Tara, terima kasih. Kalau aku kesulitan nanti, aku akan mencarimu," kata Anya dengan setengah bercanda.     

Hari ini, Tara berinisiatif untuk membantunya dan bahkan mau memberikan uangnya agar Anya bisa hidup dengan tenang. Hal ini membuat Anya merasa sangat tersentuh.     

Ia tahu bahwa Tara tidak hanya pecinta makanan, tetapi juga pencinta uang.     

Tetapi demi Anya, Tara bahkan tidak ragu untuk mengeluarkan uang dalam jumlah besar.     

"Jangan pernah malu untuk meminta bantuanku. Ingat, kamu harus selalu menghubungiku. Meski kamu ingin mengakhiri hubunganmu dengan Keluarga Atmajaya, aku tidak akan membiarkanmu menghindariku. Aku janji tidak akan memberitahu keberadaanmu kepada mereka," Tara mengatakannya dengan sangat serius, khawatir ia harus kehilangan satu-satunya sahabatnya.     

Anya mengangguk. "Apakah kamu benar-benar ingin berpisah dari Nico?" katanya mengalihkan pembicaraan.     

"Selamanya Nico hanyalah anak-anak di Keluarga Atmajaya. Walaupun tahun depan usianya sudah 27 tahun, ia tidak akan pernah besar di mata keluarganya. Pria sekuat Aiden saja tidak mampu melindungimu, bagaimana aku bisa berharap Nico melindungiku? Aku sudah memikirkannya semua masak-masak. Kalau memang hubungan ini tidak bisa membuatku bahagia seumur hidup, lebih baik aku pergi secepat mungkin." Tara tersenyum, tetapi kali ini senyumnya terlihat pahit. "Aku sedih harus berpisah dengannya. Tetapi aku lebih mencintai diriku sendiri dibandingkan dirinya."     

"Aku mengagumi cara berpikirmu. Kamu tahu apa yang kamu inginkan dan kamu tidak membiarkan orang lain mengatur hidupmu," kata Anya dengan suara pelan.     

"Katakan saja pada Nico, kalau ia rela melepaskan statusnya sebagai keluarga Keluarga Atmajaya, aku akan menghidupnya seumur hidupku," Tara tampaknya telah membuat sebuah keputusan yang sangat besar.     

Anya memikirkan mengenai bagaimana Nico berjuang begitu keras untuk mendapatkan saham dari kakeknya. Bisakah ia merelakan status dan kekayaannya saat ini untuk bersama dengan Tara?     

"Aku tidak mengerti masalah di Keluarga Atmajaya. Nico memang terlihat ceria dan tidak punya kekhawatiran. Tetapi selama ia mau berjuang, ia tidak akan pernah ragu," kata Anya.     

"Kamu tahu sendiri Aiden adalah orang yang paling kuat di Keluarga Atmajaya. Ia mencoba berbagai cara untuk membantu Nico mendapatkan saham itu dari kakeknya. Tujuan utamanya adalah untuk membuat Aiden menjadi pemegang saham terbesar di Atmajaya Group," kata Tara.     

Anya mengangguk. "Mereka melakukannya karena khawatir terhadap Imel. Imel dan Heru saling mencintai satu sama lain, tetapi ketamakan Imel membuat dirinya lebih memilih untuk menjadi bagian dari Keluarga Atmajaya."     

Tara menunjukkan senyum sinisnya. "Kalau Imel menjadi Nyonya Atmajaya, begitu Paman Bima meninggal, Imel lah yang paling berkuasa. Ia akan mendapatkan semua saham dan properti yang dimiliki Paman Bima. Kalau sudah seperti itu, apa yang bisa kita lakukan?"     

"Ditambah lagi, meski Ivan tampaknya tidak melakukan apa pun, mungkin ia juga terlibat dengan rencana Imel dan Heru. Aku pikir aku bisa hidup dengan bahagia bersama dengan Aiden. Tetapi tiba-tiba saja aku ditendang keluar dari pernikahan ini tanpa tahu apa alasan sebenarnya," Anya menertawai dirinya sendiri.     

"Jangan terlalu memikirkannya. Meski perceraian itu menyedihkan, setidaknya kamu bisa melihat sisi baiknya," Tara tersenyum sambil menerawang. "Kamu kembali single, bisa memilih pria tampan yang ada di sekelilingmu."     

"Tara, bisakah kamu serius sedikit!" Anya memukul pundak Tara, tetapi Tara langsung menghindarinya dengan gesit. Bisa-bisanya sahabatnya ini memikirkan pria tampan di saat-saat seperti ini.     

Meski demikian, Anya tahu sebenarnya Tara tidak rela melepaskan Nico. Ia lebih memilih Nico dibandingkan pria-pria tampan lain yang ada di sekelilingnya. Tetapi Tara tetap mengatakannya untuk menghibur Anya. Dan juga menghibur dirinya sendiri …     

"Anya, aku …" Tara menundukkan kepalanya.     

"Tidak peduli keputusan apa yang kamu buat, aku akan selalu mendukungmu. Aku tahu kamu sudah memikirkan semuanya matang-matang," Anya memeluk Tara, berharap pelukannya bisa meringankan kesedihan Tara. Sama seperti pelukan Tara saat ia sedang bersedih.     

"Kalau bisa, aku ingin mengikat Nico dan membawanya pergi dari keluarga itu. Tidak pernah ada pria yang bisa membuatku merasa seperti ini. Tetapi nama belakangnya adalah Atmajaya dan ia tidak akan pernah lepas dari nama itu. Nico tidak akan pernah bisa menjadi dirinya sendiri," kata Tara dengan suara tercekat.     

Tiba-tiba saja, suara ketukan pintu terdengar dan seorang suster masuk ke dalam. "Dokter Tara, tunangan Anda datang lagi. Apakah Anda bersedia menemuinya?"     

"Aku sedang sibuk," jawab Tara dengan singkat.     

Suster itu keluar untuk menyampaikan jawaban Tara. Setelah beberapa saat, suster tersebut masuk kembali sambil membawa dua ubi panggang.     

"Tunangan Anda sudah pergi. Katanya Anda suka ubi panggang, jadi ia membelikan ini khusus untuk Anda," suster itu meletakkan kotak yang dibawanya dan kemudian keluar.     

Tara tidak bisa menahan air matanya. "Mengapa dia begitu bodoh? Aku bahkan tidak menjelaskan apa pun kepadanya dan langsung pergi. Meski aku tidak mau menemuinya sekali pun, ia tetap memberikan ubi panggang ini. Ia benar-benar …"     

"Nico peduli padamu," kata Anya sambil menepuk pundak Tara.     

Tara memandang kotak yang berisi ubi panggang itu dengan sedih. "Apakah kamu mau?" tanyanya dengan mata yang masih berair.     

Anya hanya menggelengkan kepalanya. "Aku harus pulang. Makanlah pelan-pelan."     

Tara tidak bergerak sedikit pun, tidak berniat menyentuh kotak tersebut. Setelah Anya keluar dan menutup pintu, air mata kembali mengalir di wajahnya.     

Anya berdiri di depan pintu ruangan Tara, bisa mendengar isak tangis Tara. Sebelum pergi, ia menyampaikan pesan pada suster yang berjaga agar tidak mengganggu Tara untuk sementara waktu.     

Di mobil, Anya menghubungi Nico. "Di mana kamu? Aku baru saja keluar dari klinik Tara. Aku ingin bertemu denganmu."     

"Ada toko kue, tidak seberapa jauh dari klinik Tara. Bisakah kita bertemu di sana?" kata Nico.     

"Baiklah," Anya menutup teleponnya.     

Ketika ia tiba di toko kue tersebut, Anya melihat Nico mengenakan baju chef dengan topi yang tinggi. Tangannya sedang sibuk mengaduk adonan.     

Ini pertama kalinya Anya melihat Nico seperti ini.     

"Bibi, duduklah dulu. Aku akan memasukkan adonan ini ke oven," kata Nico sambil tersenyum.     

Anya memilih tempat duduk di pinggir jendela. Seorang pelayan membawakan susu hangat untuknya dan sebuah pie buah.     

"Terima kasih," Anya baru saja makan bersama dengan Tara di kliniknya dan sudah sangat kenyang. Tetapi saat melihat pie yang menarik itu, ia benar-benar ingin mencobanya.     

Pie itu sangat enak!     

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Nico mengganti pakaiannya dan menghampiri Anya.     

"Aku membuka toko ini. Saat suasana hatiku sedang buruk, aku akan datang ke sini dan membuat kue," Nico langsung duduk di hadapan Anya.     

Nico yang ada di depan Anya saat ini sungguh berbeda dengan Nico yang biasanya. Nico, yang tukang pelawak, yang cerewet, yang kekanakan, sudah tidak ada lagi …     

Mungkin Nico yang ada di hadapannya ini adalah Nico yang sebenarnya.     

Nico tanpa embel-embel nama Atmajaya.     

"Ini enak. Tara pasti suka. Kamu tahu sendiri Tara sangat suka makan," kata Anya sambil tersenyum.     

"Aku tidak bisa memilikinya," Nico meringis dengan pahit. "Karena masalah paman dan bibi, Tara kecewa pada Keluarga Atmajaya dan tidak menginginkanku lagi."     

"Ini bukan salahmu. Tara memiliki keputusannya sendiri. Bagaimana pun juga, tidak ada yang tahu apakah suatu hari nanti ia akan berakhir seperti aku atau tidak," kata Anya dengan tenang. "Nico, apakah kamu benar-benar tidak tahu apa pun?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.