Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Insomnia



Insomnia

0Aiden memandang Anya yang sedang tenggelam dalam lamunannya. Ia tidak tahu apa yang Anya pikirkan saat ini. Kemudian, kepalanya terangkat, memandang langit yang sama.     

Pemandangan yang sederhana ini terasa jauh lebih indah saat bersama dengan orang yang dicinta.     

Anya menoleh dan memandang Aiden yang melamun, kemudian bertanya. "Bunga apa yang kamu sukai?"     

"Iris …" jawab Aiden tanpa perlu pikir panjang.     

Iris adalah bunga kesukaan Anya. Dengan kata lain, Aiden sedang mengungkapkan cintanya pada Anya.     

Anya tertawa kecil mendengarnya. Ia tidak pernah mengetahui sisi Aiden yang seperti ini. "Bilang saja kamu menyukaiku."     

"Aku menyukaimu," kata Aiden sambil memandang Anya lekat-lekat.     

Anya tersenyum tipis, tetapi ia tidak bisa tertawa dengan tulus. "Aku hanya bercanda …" jawabnya.     

"Tetapi aku serius, Anya. Aku mencintaimu dan akan selalu mencintaimu," Aiden memegang pundak Anya dan menatap ke arah matanya.     

Anya mengalihkan pandangannya dan memandang ke arah kejauhan. "Tetapi aku sudah tidak mencintaimu."     

Aiden mengulurkan tangannya untuk mengambil sebuah kelopak bunga yang jatuh ke kepala Anya. "Aku yang akan menilai sendiri apakah kamu masih mencintaiku atau tidak."     

"Kamu tidak percaya padaku?" Anya menoleh dan memandang Aiden dengan kesal.     

Jari Aiden yang panjang membelai sisi wajah Anya. "Kamu mungkin bisa membohongi orang lain. Kamu mungkin bisa membohongi dirimu sendiri. Tetapi kamu tidak bisa membohongiku. Aku akan menunggumu dengan sabar, menunggumu hingga kamu berani menghadapi perasaanmu dan membuka hatimu kembali."     

Anya tidak bisa mengatakan apa pun. Apa benar ia sedang membohongi dirinya sendiri?     

Tidak ada satu orang pun yang percaya padanya kalau ia sudah tidak mencintai Aiden lagi. Hanya ia yang berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sudah melupakan Aiden.     

Saat mereka menikmati pemandangan, wanita gila itu terus mengikuti mereka. Ia terlihat ragu-ragu dan tidak berani mendekati mereka.     

"Apa yang ingin kamu katakan pada kami?" Anya mengambil inisiatif untuk membuka pembicaraan.     

"Siapa kalian?" tanya wanita itu.     

"Aku mencari keluargaku. Aku dengar bayi-bayi perempuan yang diselamatkan dari kasus penculikan dulu banyak yang dititipkan di panti asuhan ini, jadi aku datang untuk mencari tahu." Anya tidak menyembunyikan tujuan kedatangannya.     

Wanita gila itu tiba-tiba saja menyerbu Anya dan mencengkeram kerah baju Anya dengan erat.     

Anya terkejut dengan reaksi yang mendadak itu, merasa khawatir karena tidak tahu apa yang wanita gila itu akan lakukan.     

Aiden langsung mencengkeram tangan wanita gila itu dan berteriak dengan keras, "Lepaskan!"     

"Tidak ada tanda lahir. Kamu bukan anakku, bukan …" wanita gila itu melepaskan Anya dan mundur beberapa langkah. Tatapan kesakitan di matanya membuat semua orang bisa merasakan sakit hatinya.     

Anya menyadari bahwa wanita itu tidak berniat untuk mencelakainya, hanya ingin memeriksa apakah Anya memiliki tanda lahir seperti putrinya, tetapi ternyata tidak. Ia mendekati wanita itu dan menghiburnya. "Apakah kamu mencari anakmu? Anakmu juga berada di panti asuhan ini?"     

"Semuanya sudah mati. Aku tidak bisa menemukan anakku lagi, aku tidak bisa menemukannya …" gumam wanita itu.     

"Aiden, wanita ini bilang bahwa ada orang panti asuhan yang menyelamatkan anak-anak itu ketika terjadinya kebakaran. Kalau kebakaran saat itu terlalu besar dan tidak bisa dipadamkan, mungkin saja ada beberapa orang yang berhasil kabur sambil membawa anak-anak panti. Apakah mungkin …"     

"Nanti malam, kita bisa kembali ke panti dan berbicara dengan penjaga panti itu lagi. Selama kita bisa menemukan orang-orang yang tinggal dan bertugas di panti pada saat itu, mungkin kita bisa mendapatkan petunjuk," walaupun Aiden dan Anya merasa kasihan terhadap wanita itu, tidak ada yang bisa mereka lakukan untuknya.     

Anya menatap ke arah langit. Hari sudah mulai gelap. Ia benar-benar ingin pulang dan beristirahat.     

Tetapi mencari orang tuanya jauh lebih penting daripada apa pun. Ditambah lagi, Aiden sudah repot-repot meluangkan waktu untuk membantunya.     

"Kita akan melakukan sesuai dengan rencanamu," kata Anya sambil mengangguk.     

"Bagaimana kalau kita mencari penginapan terdekat dan makan terlebih dahulu?" Aiden menggandeng tangan Anya dan berjalan menuju ke tempat parkir.     

"Aku akan mengikutimu. Lepaskan tanganku," bisik Anya.     

"Aku ingin menggandeng tanganmu," bibir Aiden sedikit melengkung menunjukkan senyuman. "Apakah kamu ingin menanam Tabebuia di taman rumah?"     

"Kalau kamu ingin menanam pohon di rumah, lebih baik kamu menanam pohon yang ada buahnya supaya sekalian menghasilkan," Anya menarik tangannya, tetapi Aiden tidak mau melepaskannya.     

Aiden tersenyum semakin lebar mendengar kata-kata Anya.     

Anya-nya memang tipikal wanita yang sangat praktis. Ia tahu pohon semacam Tabebuia tidak bisa menghasilkan apa pun dan hanya bisa dipandang saja. Itu sebabnya Anya menyarankan untuk menanam pohon yang berbuah.     

"Aku menyukai cara berpikirmu," kata Aiden. 'Dan aku menyukaimu juga …' lanjutnya dalam hati.     

"Aiden, berhenti menarik tanganku. Kakiku sakit!" kata Anya dengan kesal.     

Aiden tiba-tiba saja berhenti dan melihat sepatu di kaki Anya. Ia baru sadar Anya sedang mengenakan sepatu dengan heels. Meskipun heelsnya pendek, jalanan di tempat ini tidak cukup bagus sehingga kakinya pasti sangat sakit.     

Tanpa meminta ijin atau pun memberi aba-aba, tiba-tiba saja Aiden langsung menggendong Anya. "Mengapa kamu ringan sekali? Seorang putri di dongeng saja tidak akan seringan ini," kata Aiden sambil mengerutkan keningnya.     

Anya tertegun sejenak dan kemudian meronta-ronta. "Aku hanya bilang kakiku sakit, bukan minta digendong seperti ini."     

"Tetapi aku ingin menggendongmu," Aiden menundukkan kepalanya dan mengecup puncak kepala Anya.     

Wajah Anya langsung memerah karena ciuman yang tiba-tiba itu. "Turunkan aku. Aku bisa jalan sendiri!"     

"Aku akan membelikanmu sandal baru terlebih dahulu," seolah tidak mendengarkan kata-kata Anya, Aiden terus menggendong Anya.     

Namun, setelah beberapa saat, Aiden merasakan telinganya berdengung dan pandangannya kabur. Langkahnya menjadi lebih pelan, tetapi ia masih bisa sedikit melihat jalan di hadapannya.     

Anya bisa merasakan ada yang aneh dan langsung bertanya pada Aiden, "Ada apa denganmu?"     

"Aku ingin berjalan lebih lambat agar bisa menggendongmu lebih lama. Aku tidak bisa melihat kakiku. Tolong beritahu aku kalau ada sesuatu," kata Aiden.     

Jalanan yang mereka lalui sedikit menurun sehingga Aiden tidak bisa melihat ke arah bawah sambil menggendong Anya.     

Anya merasa jawaban Aiden cukup masuk akal dan tidak ada yang aneh. "Di depan ada tangga," kata Anya.     

Aiden masih bisa mengingat jalan yang mereka lalui sebelumnya dan dengan pandangannya yang terbatas, ia terus berjalan menuju ke tempat parkir.     

Kemarin malam ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Di siang hari, ia tidak sempat beristirahat. Setelah menyetir untuk beberapa jam, ia tahu bahwa matanya terlalu lelah.     

Seharusnya hanya butuh waktu sepuluh menit untuk berjalan ke tempat parkir mereka, tetapi Aiden menghabiskan waktu setengah jam untuk tiba.     

"Kita sudah sampai. Apakah kamu tidak mau menurunkan aku?" Anya menatap Aiden dengan heran.     

"Aku tidak ingin melepaskanmu," jawab Aiden.     

"Apakah kamu menggodaku? Apakah Nico yang mengajarimu untuk berbicara seperti ini?" Anya menepuk pundak Aiden dan memintanya untuk menurunkannya.     

"Aku berbicara jujur," Aiden mengeluarkan kunci mobil dari sakunya dan memberikannya kepada Anya. "Bisakah kamu menyetir? Aku lelah."     

"Aku tidak tahu jalan," Anya mengambil kunci mobil itu dari tangan Aiden.     

"Gunakan saja GPS untuk mencari hotel terdekat," setelah masuk ke dalam mobil, Aiden menutup matanya dan beristirahat. Ia terlihat sangat lelah.     

Anya menatap ke arah Aiden dengan khawatir. "Tara bilang kamu mengalami insomnia. Apakah separah itu?"     

"Apakah kamu khawatir?" Aiden tiba-tiba saja membuka matanya. Kali ini, ia bisa melihat wajah Anya dengan jelas.     

Wajah wanita yang dicintainya itu sedang menatapnya dengan penuh kekhawatiran.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.