Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Demam



Demam

0Anya merasa sangat damai.     

Ia seperti sedang melayang di atas langit. Di bawahnya terdapat sebuah padang rerumputan yang dipenuhi dengan berbagai macam jenis bunga. Ia melihat sekelompok anak kecil sedang bermain-main, berlarian di padang rumput tersebut dengan gembira.     

Suara tawa anak-anak itu membuat tidur Anya semakin lelap.     

Ketika terbangun, Anya menemukan dirinya sedang berada di bathtub. Punggungnya bersentuhan dengan sesuatu yang keras tetapi hangat. Jelas itu bukan badan dari bathtub, karena tidak dingin.     

Air hangat membuat seluruh tubuhnya terasa rileks.     

"Jam berapa ini?" tanya Anya. Suaranya masih terdengar serak, karena baru saja bangun tidur dan menghabiskan suaranya semalaman.     

"Jam enam pagi. Kamu sedikit demam," Aiden mengecup leher Anya dengan lembut dan memeluknya dengan kedua tangannya dari belakang.     

Anya berbalik dengan malu dan memeluk Aiden, menguburkan wajahnya di dada Aiden. Tangannya memukul dada Aiden dengan pelan, meski ia sudah tidak memiliki tenaga. Di ruangan seterang ini, Aiden bisa melihat seluruh tubuhnya dengan sangat jelas. "Lepaskan tanganmu."     

Meski merasa enggan, akhirnya Aiden menuruti permintaan Anya. Kemudian ia berkata dengan suara rendah. "Mandi lah dulu. Setelah itu kita sarapan. Tara akan datang sebentar lagi."     

"Tidak usah khawatir. Aku tidak apa-apa," Anya tersenyum tipis sambil menyandarkan kepalanya di dada Aiden dengan lemas. Ia tidak mau bangun dan tidak mau keluar dari bathtub. Bersandar di dada Aiden terasa sangat nyaman.     

Anya merasa bodoh karena terus berusaha untuk membohongi perasaannya.     

Mana mungkin ia tidak mencintai Aiden lagi? Hanya Aiden satu-satunya pria yang bisa membuatnya senyaman ini …     

"Malu?" Aiden tertawa, membuat dadanya sedikit naik turun. Kemudian ia mengecup puncak kepala Anya dengan lembut. "Aku bisa membatalkan kepergianku hari ini."     

"Tidak usah. Ini hanya demam. Bukan masalah besar. Jangan menunda pekerjaanmu karena aku. Aku akan tinggal di sini sementara waktu. Tara dan Bu Hana bisa menjagaku," Anya tahu Aiden sangat peduli padanya. Untuk meyakinkan Aiden, Anya memutuskan untuk tetap berada di rumah Aiden sementara waktu.     

"Setelah Tara datang dan memeriksamu, aku akan memutuskan apakah aku jadi pergi atau tidak," kata Aiden dengan tenang.     

Anya merasa sangat malu sekaligus senang saat mendapatkan perhatian yang luar biasa seperti itu. Di sisi lain, ia merasa canggung karena saat ini mereka masih berada di bathtub bersama-sama.     

Aiden menundukkan kepalanya dan mengecup kening Anya sekali lagi. Anya mengangkat kepalanya, ingin menatap wajah Aiden. Dan kemudian, Aiden menjatuhkan ciuman pada bibirnya.     

"Airnya sudah dingin. Ayo keluar," Anya melingkarkan tangannya di leher Aiden. Tubuhnya terasa lemas sekarang. Ia tidak mau berdiri sendiri dan tidak mau keluar dari bathtub sendiri.     

Bisa-bisa ia pingsan atau terpeleset saat menginjak tanah.     

"Kalau kamu kedinginan, aku bisa melakukan sesuatu untuk menghangatkanmu," goda Aiden sambil membawa Anya kembali ke tempat tidur.     

Anya membuka matanya, memandang wajah tampan Aiden dan berpura-pura menutup matanya kembali. Aiden mengulurkan tangannya dan menepuk wajah Anya sambil terkekeh, "Jangan berpura-pura pingsan."     

Tidak butuh waktu lama, badai mulai terjadi. Tidak hanya tubuh Anya saja yang menjadi hangat, tetapi seluruh ruangan itu terasa panas.     

Anya terlihat sedikit cemberut saat memandang Aiden setelah ronde pagi mereka selesai.     

"Apakah kamu sudah tidak kedinginan lagi?" tanya Aiden.     

"Tidak. Sekarang aku berkeringat," katanya dengan kesal. "Apakah kamu sudah puas?"     

"Sangat puas," Aiden mengecup bibir Anya. Kemudian, ia menunjuk ke arah nakas di samping tempat tidur. Di atas nakas tersebut terdapat sebuah amplop berwarna coklat. "Kontrak kerja yang sudah kamu tandatangani. Aku mengembalikannya kepadamu."     

"Terima kasih, Tuan Atmajaya," Anya menatapnya sambil tersenyum.     

"Kalau kamu masih bersemangat seperti ini, sepertinya aku harus bekerja lebih keras lain kali," Aiden mengecup bibir Anya sekilas.     

"Kamu sudah bekerja terlalu keras. Jangan ditambah lagi. Aku benar-benar tidak bisa bertahan," kata Anya sambil memegang tangan Aiden. Aiden menggunakan tangannya yang lain untuk menopang pinggang Anya agar ia bisa duduk. "Kepalaku masih sedikit pusing. Tetapi demamnya sepertinya sudah turun. Luar biasa."     

"Lain kali kalau kamu demam lagi, datang lah kepadaku. Aku bisa membantumu untuk menurunkan panasnya," kata Aiden.     

Anya hanya melotot ke arah Aiden. "Aku tidak peduli lagi padamu. Aku mau mandi dan ganti baju. Tara akan segera datang!" Anya memukul pundak Aiden dengan sedikit keras, ingin melampiaskan kekesalannya.     

Aiden membantunya untuk mandi. Tara datang tepat saat mereka baru saja selesai mandi dan berpakaian.     

Anya tidak berani bertemu dengan Tara di kamarnya yang berantakan. Bahkan ia masih bisa merasakan betapa bergairah dan membaranya ruangan ini kemarin malam. Dan tadi pagi …     

Akhirnya, Anya memutuskan untuk turun ke lantai bawah.     

"Aku tahu masakan Bu Hana sangat enak. Meski Aiden meneleponku untuk mengajakku sarapan di sini, ia tidak bisa meneleponku jam enam pagi," Tara mengatakannya sambil menarik sebuah kursi di meja makan.     

"Bukankah kamu datang untuk melihat keadaanku? Mengapa kamu malah makan?" goda Anya.     

"Dokter juga manusia. Mereka juga lapar. Saat aku lapar, tanganku lemas dan aku tidak bisa melihat apa pun. Aku perlu perut yang kenyang untuk mulai memeriksamu," kata Tara seolah dirinya yang paling benar.     

Tepat saat bersamaan, Nico muncul. Ia berjalan dari rumahnya, melintasi taman Aiden dengan mengenakan piyaam dan sandal. Rambutnya terlihat berantakan seperti sarang lebah. Sambil berjalan, ia berteriak. "Bu Hana, apa yang kamu masak hari ini?"     

Nico menguap lebar-lebar dan kemudian mengusap matanya. Ketika melihat Tara, ia membeku di tempatnya.     

Ini pertama kalinya Tara melihat penampilan Nico yang berantakan. Tara pernah tinggal bersama dengan Nico untuk sementara. Ia tahu Nico adalah orang yang sangat memperhatikan kebersihan. Ketika ia bangun di pagi hari, Nico langsung mandi dan bersih-bersih, terlihat sangat rapi.     

"Ada yang bisa memberitahuku siapa orang gila yang berdiri di depan pintu?" Tara tidak percaya pria dengan rambut yang berantakan dan mengenakan sandal ini adalah Nico.     

"Aku mengigau. Aku akan kembali lagi nanti," tanpa menunggu jawaban Tara, Nico langsung melarikan diri dari hadapan kedua wanita tersebut.     

Anya tidak bisa menahan tawanya. Nico tidak menyangka Tara akan datang ke rumah Aiden pagi-pagi seperti ini.     

Memang Nico selalu berpenampilan rapi dan tampan.     

Tetapi di hadapan keluarganya ia sangat santai. Ia sering tidak mengganti pakaian atau mencuci rambutnya. Ia hanya mencuci wajah dan menggosok giginya saat sarapan.     

Kalau tahu Tara akan ada di sana, Nico tidak akan pernah muncul dengan penampilan berantakan seperti itu.     

Tidak ada yang menjebak atau menipu Nico, tetapi ia sendiri yang mengungkapkan wajah aslinya.     

Ketika Nico muncul kembali, ia sudah terlihat tampan dan rapi. Rambutnya sudah tidak terlihat berantakan seperti sarang lebah. Pakaiannya sudah rapi dan sandalnya telah berubah menjadi sepatu kulit.     

Begitu memasuki pintu, Tara langsung mencibir. "Ahh! Si tukang ngigau sudah bangun!"     

"Sayang, kamu ada di sini?" Nico menghampirinya sambil tersenyum lebar. "Apakah kamu merindukanku dan datang untuk mencariku?"     

"Aku datang untuk menemui Anya dan sarapan di sini. Barusan aku melihat orang gila dengan piyama kaos dan sandal. Rambutnya berantakan dan terbang ke mana-mana. Kalau dilihat-lihat, wajahnya terlihat seperti kamu," kata Tara dengan sengaja.     

"Benarkah?" Nico menatap ke arah Anya, meminta bantuan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.