Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Merasa Terhina



Merasa Terhina

"Aku akan memberitahumu kapan aku akan melamarnya. Kalau Tara ragu-ragu, bibi harus membantuku. Sebenarnya, aku khawatir Tara akan menolakku sehingga aku tidak berani melamarnya," Nico berpura-pura terlihat sedih dan memelas untuk mendapatkan simpati Anya.     

Anya tertawa melihat Nico. "Jangan khawatir. Tara tidak akan menolakmu. Kalau ia tidak mencintaimu, ia tidak akan mau bertahan menjadi kekasihmu selama dua tahun. Selama ini ia menunggu aku pulang dan mencari tahu kebenarannya. Sekarang masalahnya sudah selesai dan Tara tidak perlu mengkhawatirkan masa depannya lagi. Lamar dia secepat mungkin."     

"Baiklah," kepercayaan diri Nico langsung meningkat mendengar kata-kata Anya.     

Ketika mobil mereka berhenti di depan pintu rumah Diana, Anya langsung turun dari mobil dan menuju ke pintu depan. Sebuah sosok kecil langsung berlari menghampiri pintu ketika mendengar suara bel.     

"Siapa di sana?" teriak Alisa dengan suara keras.     

"Ini mama!" jawab Anya sambil tersenyum.     

"Neneeek, mama sudah pulang!" Alisa melompat-lompat dengan gembira, tetapi ia tidak cukup tinggi untuk membantu Anya membuka pintu.     

Nadine langsung keluar dari kamar, menggendong Alisa dan membuka pintu untuk Anya.     

"Mama!" begitu melihat Anya, Alisa langsung mengulurkan tangannya, minta digendong.     

Anya langsung menggendong Alisa, mengambil alih anak itu dari Nadine. "Alisa tambah gendut ya. Apakah masakan nenek enak?"     

"Masakan nenek paling enak di dunia!" kata Alisa dengan suara tingginya.     

"Apakah Alisa menurut sama nenek?" tanya Anya.     

"Alisa sangat patuh! Tanya saja pada kak Nadine kalau mama tidak percaya," Alisa melirik ke arah Nadine untuk meminta bantuan.     

"Semuanya baik-baik saja, kecuali mengompol," kata Nadine sambil tertawa.     

"Bibi, kalau tidak ada apa-apa lagi, aku akan pulang dulu," Nico berdiri di sana dengan canggung, tidak tahu harus berbuat apa.     

"Kakak! Aku tidak punya uang," Nadine berjalan menuju ke arah Nico sambil tersenyum. "Beri aku uang jajan!"     

"Paman tidak mengijinkan aku. Mana aku berani memberimu uang!" tanpa banyak bicara, Nico langsung melarikan diri ke mobilnya. Begitu menyalakan mobilnya, ia mendengar Nadine berteriak, "Kalau kamu tidak mau memberiku uang jajan, aku akan memintanya pada Kak Tara!"     

Nico merasa frustasi dengan ancaman Nadine dan langsung menunjuk ke arahnya. "Kalau sampai kamu berani melakukannya …"     

"Terima kasih, kakak!" Nadine langsung mengulurkan tangannya dengan senang. Pada akhirnya, Nico merogoh kantongnya dan mengambil uang untuk Nadine. "Aku peringatkan kamu. Jangan sampai kamu meminta uang pada Tara. Apakah kamu mengerti?"     

"Aku tidak akan meminta uang pada Kak Tara. Tetapi aku akan mengajaknya makan dan menanyakan perasaannya padamu. Tenang saja, Kak!" setelah mendapatkan uang, Nadine langsung menghitungnya dengan senang.     

"Tidak!" Nico langsung menghentikannya. "Kamu bodoh. nanti kamu malah akan membuatnya takut. Bagaimana kalau ia sampai menolak lamaranku? Tidak perlu melakukan apa pun. Kamu diam saja."     

"Kakak! Ini hanya 500 ribu. Kurang!" Nadine mengulurkan tangannya lagi.     

Nico menatap ke arah Nadine dengan tidak berdaya. Baru-baru ini, Jenny juga memalak uang darinya.     

Setelah tahu bahwa Jenny adalah adik kandungnya, Nico merasa tidak tega menolaknya saat Jenny meminta kartu kredit tambahan darinya.     

Dalam satu hari, Jenny telah menghabiskan lebih dari dua juta.     

Sekarang, Nadine telah kembali. Setelah menggores mobil kesayangannya, Nadine juga mengambil salah satu mobilnya.     

Ditambah lagi, ia meminta uang jajan darinya. Kalau Nico tidak mau memberikannya, ia mengancamnya, akan menemui Tara.     

Hati Nico terasa pahit. Malang sekali nasibnya menjadi seorang kakak, ketika ia memiliki dua adik perempuan seperti ini …     

"Aku akan membelikanmu apa pun yang kamu mau," kata Nico dengan tidak sabar.     

"Benar ya? Aku akan mengirimkan daftar berisi semua barang yang aku mau kepadamu dan kamu harus membelikannya untukku selama satu minggu. Kalau tidak, aku akan meminta Kak Tara membelikannya semua untukku," Nadine melambaikan tangannya dengan senang, "Dadahh, Kak!"     

"Selamat tinggal untuk selamanya," Nico menyalakan mobilnya dan melarikan diri.     

Di dalam rumah, Anya sedang memeluk dan menciumi Alisa.     

"Apakah kamu merindukan mama?" tanya Anya sambil tersenyum.     

"Iya, mama pulang tepat waktu! Kita bisa foto besok," kata Alisa dengan penuh semangat.     

Anya ingat ia berjanji akan mengajak Alisa foto mengenakan pakaian pengantin dengan Aiden di akhir pekan. Itu artinya, ia akan bertemu dengan Aiden lagi.     

"Bagaimana kalau Alisa foto dengan mama saja?" tanya Anya.     

"Alisa tidak mau menikah dengan mama. Alisa ingin menikah dengan paman tampan dan harus berfoto dengan paman taman," kata Alisa sambil memandang Anya dengan sedih.     

Air mata sudah siap untuk turun dari matanya.     

"Malam-malam begini, mengapa kamu membuat Alisa menangis? Besok kan akhir pekan. Aiden pasti tidak bekerja. Telpon saja dia dan minta dia untuk datang," kata Diana. "Alisa, jangan menangis. Besok kita foto ya. Nenek akan minta paman tampan datang besok."     

"Bu, Aiden sedang sibuk. Jangan diganggu," begitu mendengar kata-kata Anya, Alisa langsung menangis dengan keras. Tangisan itu hampir saja merusak atap rumah mereka.     

Nadine langsung menutup telinganya dan berkata dengan suara keras. "Bibi, jangan begitu. Kamu harus menepati janjimu pada anak kecil."     

Tetapi Anya merasa dilema. Ketika ia pulang dari rumah Aiden, ia terlihat tidak senang.     

Kalau ia menelepon Aiden dan memintanya untuk menemani Alisa besok, ia pasti akan menolak.     

"Kalau kamu tidak mau menelepon paman, aku akan menelepon Harris," Nadine menutupi telinganya dan berlari menuju ke taman.     

Anya tidak punya pilihan lain selain menelepon Aiden.     

Aiden sedang membalas email di ruang kerjanya ketika tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Ia melihat layar ponselnya, menyadari bahwa Anya yang meneleponnya.     

Sepertinya setelah pulang, Anya baru ingat mengenai foto bersama dengan Alisa.     

Aiden menjawab panggilan tersebut, berpura-pura tidak peduli. "Ada apa?"     

"Apakah kamu sibuk besok?" tanya Anya dengan hati-hati.     

"Memangnya mengapa?" jawab Aiden dengan acuh tak acuh.     

"Apakah kamu ingat terakhir kali makan di rumah ibuku, kamu berjanji untuk menemani Alisa berfoto. Besok akhir pekan, aku tidak tahu jadwalmu …"     

"Aku tidak punya waktu …" jawab Aiden dengan kejam.     

Anya hanya bisa menelan ludahnya. Ia tahu Aiden akan menjawab seperti ini, tetapi ia masih berusaha sabar dan berkata. "Aku tahu kamu sibuk. Pasti ada banyak pekerjaan yang harus kamu selesaikan karena liburan kemarin. Tetapi kamu sudah berjanji pada Alisa. Sekarang Alisa menangis. Bisakah kamu meluangkan waktu sebentar saja? Setelah foto, kamu bisa langsung pulang."     

Aiden mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja. "Datanglah ke rumahku sekarang. Kalau kamu mau menemani aku beberapa jam hari ini, aku akan menemani Alisa besok."     

"Aiden, jangan keterlaluan!" suara Anya langsung meninggi. Ia merasa benar-benar marah pada Aiden.     

Ia bukan wanita semacam itu yang bisa Aiden panggil sesuka hati!     

"Aku tidur jam sepuluh malam. Kamu masih punya waktu dua puluh menit untuk berpikir," kata Aiden sebelum menutup telepon.     

Anya merasa sangat marah. Kalau ia pergi ke rumah Aiden, itu sama saja dengan merendahkan dirinya sendiri. Ia bukan wanita panggilan!     

"Alisa, paman tampan sangat sibuk. Bisakah kita mencari orang lain untuk berfoto denganmu? Bagaimana dengan paman lain yang makan malam dengan kita pada hari itu …"     

Anya berniat untuk meminta bantuan Nico. Meski kekanakan, Nico masih tergolong tampan.     

"Paman itu tidak suka anak kecil. Alisa tidak mau menikah dengan paman yang tidak menyukai Alisa," Alisa kembali menangis. "Alisa ingin menikah dengan paman tampan …"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.