Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Kebebasan



Kebebasan

0"Bawa aku ke pulau dan jemput aku tiga hari lagi."     

Pulau? Pulau apa?     

"Aku ingin pulang. Turunkan aku!" ketika mendengar Aiden hendak pergi ke tempat lain, Anya merasa semakin panik. Ia benar-benar ingin pulang!     

Aiden memijat keningnya yang sakit dan berkata dengan suara dingin, "Kalau kamu terus berisik, aku akan melemparkanmu dari sini."     

Anya terkejut mendengarnya. Ia memandang ke arah Aiden dengan takut, tetapi tetap enggan untuk ikut bersamanya. "Bisakah aku meminta parasut? Atau mencari tempat untuk mendarat agar aku bisa pulang sendiri …" tanya Anya dengan suara pelan.     

"Tidak ada parasut. Kalau kamu mau turun, lompatlah dari sini," kata Aiden dengan sengaja. Tentu saja ia tidak akan membiarkan Anya pulang sendiri.     

Anya melongok dan memandang ke luar jendela. Ia melihat helikopternya sudah terbang begitu tinggi. Sudah gila kalau ia berani melompat dari sini.     

"Aku bisa menemanimu pergi ke pulau itu, tetapi aku tidak bisa absen dari pekerjaanku. Kamu harus membayarku tiga kali lipat," Anya sangat miskin sekarang. Kalau ia tidak masuk kerja dalam tiga hari, itu artinya gajinya akan berkurang.     

"Anggap saja kamu sedang dinas. Aku akan membayarmu tiga kali lipat," Aiden menyetujuinya.     

Melihat Aiden menyetujuinya, Anya hanya bisa pasrah.     

Satu jam kemudian, helikopter mereka berhenti di tanah lapang sebuah pulau dan seseorang langsung menjemput mereka dengan bus.     

"Tuan Aiden, sudah lama Anda tidak kemari. Kamar Anda sudah dibersihkan," orang yang menyambut Aiden melihat Anya masih terperangkap di dalam jaring. Tangan dan kakinya terlilit sehingga Anya tidak bisa keluar sendiri, sementara Aiden tidak mau membantunya.     

"Turunkan dia!" kata Aiden dengan tidak sabar.     

Seseorang langsung membantu Anya untuk turun dan membantunya untuk keluar dari jaring tersebut. Anya merentangkan tangan dan kakinya yang kaku dan kemudian memandang ke sekitarnya. Pemandangan pulau tersebut sangat indah.     

Pohon kelapa berjejeran di pinggir pantai. Angin yang hangat bertiup bersamaan dengan aroma lautan. Anya bisa merasakan suasana musim panas.     

"Apa yang kamu lakukan? Cepat masuk," teriak Aiden dari bus.     

Anya tidak berani menunda lagi. Ia langsung memasuki bus dan mereka berangkat menuju ke sebuah villa.     

Setibanya di sana, seorang pelayan menyambut mereka dan berkata, "Tuan, Anda sudah tiba."     

"Antarkan dia ke kamar mandi dan panggil dokter kemari. Kemarin malam ia makan nasi padang dan perutnya sakit," kata Aiden sambil masuk ke dalam.     

"Aku … Perutku sudah tidak sakit," Anya sudah lupa dengan sakit perutnya karena begitu ketakutan tadi.     

Aiden berhenti berjalan, membuat Anya yang menyusul langkahnya di belakang menabrak punggungnya.     

"Ah!" teriak Anya dengan kesal. "Lama-lama hidungku bisa pesek."     

"Mengapa kamu selalu menabrak punggungku?" kata Aiden dengan tenang.     

"Kamu yang tiba-tiba berhenti dan membuatku …" melihat wajah Aiden yang muram, Anya tidak berani melanjutkannya. Lalu, ia berkata dengan suara lemah. "Aku tidak sengaja. Apakah kamu baik-baik saja?"     

"Punggungku sakit. Pijat aku," kata Aiden tanpa ekspresi.     

"Ha?" Anya benar-benar ingin menampar dirinya sendiri. Mengapa ia harus bertanya apakah Aiden baik-baik saja atau tidak. Seharusnya ia cuek saja!     

Lagi pula, semua ini bukan salahnya!     

Aiden yang selalu berhenti melangkah secara tiba-tiba dan membuatnya menabraknya. Hidungnya juga sakit. Apakah ia harus meminta Aiden untuk memijit hidungnya?     

Tetapi apa yang bisa ia lakukan? Ini adalah pulau milik Aiden dan satu-satunya cara untuk keluar dari tempat ini adalah dengan helikopter Aiden. Kalau Anya membuat Aiden marah, mungkin saja Aiden akan meninggalkannya sendiri di sini dan Anya tidak akan pernah bisa pulang.     

"Aiden, aku minta maaf kalau membuatmu marah. Tadi pagi aku berbohong. Aku tidak pernah berpacaran selama di Perancis. Selain Jonathan, aku tidak mengenal siapa pun. Aku hanya berteman dengannya," kata Anya dengan suara pelan.     

"Aku tahu," jawab Aiden dengan santainya sambil naik ke lantai atas. Anya terdiam sejenak di tempatnya mendengar jawaban Aiden.     

Ia tahu? Lalu mengapa ia marah kepadanya dan menghukumnya sampai seperti itu.     

Kemarahan mulai meluap di hati Anya saat ia mengikuti langkah Aiden ke lantai atas.     

"Kamu sudah tahu tetapi kamu tetap marah padaku? Apakah kamu sengaja salah jalan dan membuat kita tersesat?" tanya Anya dengan kesal.     

"Tiba-tiba saja aku tidak ingin pulang," jawab Aiden dengan sembarangan.     

Anya tidak tahu apa yang harus ia katakan. Tidak mau kembali? Hanya karena Aiden tidak mau kembali, ia sengaja salah jalan dan menjauh dari kota?     

Lalu mengapa ia harus membawanya ke sini?     

Mengapa harus melibatkannya? Aiden bisa saja pergi sendiri tanpa dirinya …     

"Mengapa kamu tidak mau kembali?" tanya Anya.     

Aiden berhenti melangkah. Kali ini, Anya sudah belajar dari kesalahannya. Dengan gesit ia langsung berhenti melangkah begitu Aiden berhenti, agar tidak menabrak punggung Aiden untuk yang kesekian kalinya.     

Tetapi siapa sangka Aiden langsung berbalik dan mendekatinya sambil memandang wajahnya lekat-lekat. Anya mundur dua langkah ke belakang dan punggungnya menabrak dinding.     

Aiden meletakkan salah satu tangannya di samping kepala Anya sementara tangannya yang lain di samping pinggang Anya. "Tinggal-lah bersamaku di sini tiga hari dan setelah itu aku akan memberikan kebebasan kepadamu."     

Anya menelan ludahnya dengan panik dan bertanya. "Apakah aku boleh menolak?" tanyanya dengan suara pelan.     

Tinggal tiga hari bersama dengan Aiden? Ia tahu betul apa maksud Aiden, meminta tiga hari bersama dengannya.     

Tetapi kalau sampai hal itu terjadi, setelah tiga hari, mereka mungkin tidak akan berpisah lagi …     

Itu sebabnya, lebih baik mereka tidak memulai hubungan ini. Anya takut untuk kembali bersama dengan Aiden.     

Kemarin malam adalah kesalahan besar dan Anya tidak mau membuat kesalahan yang sama selama tiga hari berturut-turut …     

"Tidak ada bedanya tidur satu malam atau seratus malam. Buktinya kamu sangat puas kemarin malam," suara Aiden yang serak-serak basah terdengar di telinga Anya.     

Mendengar kalimat itu, telinga Anya langsung terbakar dan menjadi merah. Walaupun ia mabuk dan tidak sadarkan diri kemarin malam, tubuhnya tidak bisa berbohong.     

"Apakah kamu yakin kamu bisa melupakan kemarin malam?" Aiden mengecup pipi Anya dengan lembut.     

"Apakah kamu akan berhenti menggangguku setelah tiga hari?" tanya Anya dengan tidak yakin.     

Aiden mengangguk.     

Anya langsung mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi rekaman, "Setelah tiga hari, kontrak di antara kita akan berakhir. Aku akan bekerja di Iris hingga kompetisi berakhir. Setelah meninggalkan Iris, kamu tidak akan melarangku untuk bekerja di industri parfum. Kamu tidak akan makan siang denganku setiap hari. Dan kita tidak akan pernah bertemu lagi."     

Aiden hanya memandang Anya dalam-dalam. Anya-nya sudah tidak sabar ingin menjauh darinya, memasang tembok yang tinggi dan tebal di antara mereka.     

Tetapi seribu kali Anya membangun dinding itu, seribu kali juga Aiden akan menghancurkannya.     

Ia akan masuk kembali ke hati Anya, entah bagaimana pun caranya.     

"Ya," Aiden setuju.     

"Apakah kamu benar-benar setuju?" Anya menatap Aiden dengan serius, khawatir Aiden akan membohonginya.     

"Iya," jawab Aiden sambil memandang wajah Anya. Kemudian, ia melihat kekecewaan di wajah mungil itu.     

Ia sudah berjanji dan menyetujui semua permintaan Anya, tetapi Anya malah terlihat kecewa. Mengapa?     

Mengapa Anya terlihat kecewa?     

Setelah selesai merekam, Anya mengulangi rekaman itu lagi. Setelah meyakinkan dirinya sekali lagi bahwa tidak ada cacat dalam rekaman itu, Anya mengantongi lagi ponselnya.     

"Baiklah. Mulai sekarang hingga 72 jam ke depan, aku akan menemanimu. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Anya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.