Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Janji



Janji

0Anya mengedipkan matanya berulang kali. Ia tidak menyangka Natali akan membencinya sebesar itu sampai berniat membunuhnya.     

"Kalau bukan karena kamu, Natali lah yang akan menjadi teman kecil Raka. Mereka akan bertunangan, menikah, memiliki beberapa anak dan hidup bahagia. Apakah kamu masih berpikir bahwa Natali tidak membencimu?" tanya Aiden.     

Anya menatap ke arah Aiden, sama sekali tidak meragukan kata-kata Aiden. Ia tahu bahwa Aiden bisa membaca pikiran dan perasaan orang lain dengan mudahnya.     

Natali memang benar membencinya, seperti yang Aiden katakan.     

Ditambah lagi, Raka tidak bisa terus menemani Natali di rumah sakit jiwa. Hidupnya telah menjadi sangat menyedihkan sehingga membuat kebencian di hatinya semakin membesar.     

Ia malah akan semakin menyalahkan Anya atas semua yang terjadi pada Anya.     

Dengan pemikiran seperti itu dan kondisinya yang semakin tidak waras, tidak heran kalau Natali ingin membunuh Anya.     

"Semakin kamu bahagia, Natali akan semakin membencimu. Jangan bersikap terlalu baik pada orang-orang yang mungkin akan menyakitimu. Deny adalah ayah Natali, tetapi kamu tidak punya hubungan apa pun dengannya. Tentu saja, Deny akan lebih memilih putrinya dibandingkan kamu yang tidak berhubungan darah dengannya. Ia hanya menggunakan kata-kata untuk memastikan keselamatanmu, tetapi apakah ia benar-benar bisa melakukannya? Mengurus dan merawat Natali yang sudah tidak waras lagi? Jangan pernah mengambil resiko yang bisa membahayakan nyawamu," kata Aiden dengan tenang.     

Anya menatap sisi wajah Aiden yang tampan. Pria ini adalah pria yang ia cintai selama bertahun-tahun. Dua tahun berlalu tetapi Aiden tidak terlihat bertambah tua, melainkan bertambah dewasa dan gagah.     

"Aku akan menuruti kata-katamu, Guru. Kalau kamu sampai mengatakan seperti itu, berarti Natali memang membahayakan," jawab Anya sambil menggoda Aiden.     

"Siapa yang mau dipanggil guru olehmu … Panggil aku suami," jawa Aiden, balas menggoda Anya.     

Kalimat itu terdengar familier di telinga Anya. Dulu, Aiden pernah memintanya hal yang sama dan Anya menurutinya. Ia memanggil Aiden dengan sebutan 'suamiku' sebanyak tiga kali dengan sangat manis.     

Tetapi sekarang Anya tidak tahu harus menjawab apa. Suasana di antara mereka menjadi sangat canggung.     

Mereka mampir terlebih dahulu di sebuah minimarket untuk membeli minum. Saat Anya keluar, ia melihat Aiden sedang bersandar di mobilnya sambil menelepon seseorang.     

Pada saat itu, sinar matahari menyinari seluruh tubuhnya. Cahayanya terlihat seperti berwarna emas.     

Aiden memang seperti tokoh dari negeri dongeng. Tidak heran Alisa menganggapnya sebagai seorang pangeran dan ingin menikahinya.     

Anya tidak bisa membohongi perasaannya. Ia merasa senang dan merasa beruntung karena pria tampan yang luar biasa ini masih mencintainya setelah dua tahun berlalu sekalipun.     

Anya menghampirinya dengan senyum tipis di wajahnya. "Apakah kita bisa langsung pulang hari ini?"     

"Setengah jam lagi kita akan tiba di sana. Kalau semuanya berjalan dengan lancar, kita bisa makan malam terlebih dahulu dan kemudian pulang," jawab Aiden.     

"Ayo kita berangkat. Kalau kamu lelah, aku bisa menggantikanmu menyetir," kata Anya.     

"Nanti saja pulangnya. Masuklah!" Aiden membukakan pintu penumpang depan untuk Anya.     

Perjalanan mereka terus berlanjut dan mobil mereka memasuki jalan yang semakin sempit, menunjukkan bahwa mereka menuju ke pinggiran kota. Anya memandang ke sekitarnya dan melihat banyak tanah kosong dengan rerumputan dan tanaman di daerah tersebut, jauh berbeda dengan pusat kota yang padat.     

Matanya tertuju pada pepohonan dan rerumputan mulai kembali tumbuh dan berbunga setelah musim penghujan merontokkan daunnya.     

Musim seperti ini adalah musim harapan bagi Anya. Di musim ini, tanaman yang telah kehilangan dedaunannya karena musim penghujan, akan kembali tumbuh dan menghasilkan bunga yang bermekaran dengan indah.     

Anya memejamkan matanya dan berharap dalam hati. Anya berdoa dan berharap ia bisa menemukan orang tua kandungnya. Ia tidak peduli apakah orang tua kandungnya itu mencintainya atau tidak, ia hanya ingin mengetahui asal usul keluarganya.     

Ia pulang ke Indonesia dengan tujuan untuk mengikuti kompetisi dan mencari orang tuanya, dengan harapan semuanya akan segera jelas saat ia kembali nanti.     

Selain itu, ia berharap kondisi tubuhnya juga akan semakin pulih setelah meminum semua jamu-jamuan dan vitamin dari Tara dan ibunya.     

Sebenarnya, selama ini ia sering merasa lemas. Di hari pertama Alisa datang dan menangis semalaman, Anya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pada akhirnya, keesokan harinya, Anya merasa sedikit kesulitan bernapas dan detak jantungnya semakin cepat. Seluruh tubuhnya terasa tidak nyaman dan lemas.     

Usianya memang masih dua puluhan, tetapi tubuhnya sudah seperti wanita paruh baya yang tidak punya tenaga. Itu karena sejak kecil Anya memang memiliki tubuh yang lemah. Selain itu, kejadian dua tahun lalu memperburuk kondisinya dan selama dua tahun terakhir, Anya tidak menjaga kesehatannya sama sekali.     

Begitu membuka matanya, Anya melihat sebuah taman di hadapannya. Taman itu dipenuhi dengan pepohonan yang memiliki bunga berwarna merah muda.     

"Apakah itu bunga sakura?" Anya menunjuk ke arah rumah tersebut.     

"Tabebuia," jawab Aiden. Memang bunganya berwarna merah muda dan mirip dengan bunga sakura, tetapi keduanya adalah tanaman yang berbeda.     

"Indah sekali. Dulu kamu pernah berjanji akan mengajakku pergi ke Jepang melihat bunga sakura saat musim semi. Bunga ini sangat mirip dengan bunga sakura," kata Anya sambil tersenyum.     

Tangan Aiden yang memegang setir semakin mengencang. Ia pernah berjanji akan mengajak Anya pergi ke Jepang dan melihat bunga sakura pada musim semi. Tetapi belum sempat ia mewujudkan keinginan Anya, mereka sudah bercerai.     

"Anya, aku minta maaf," kata Aiden dengan suara pelan.     

Anya hanya tersenyum tipis dan berkata, "Kita hanya kurang berkomunikasi dan kurang rasa hormat untuk satu sama lain. Kamu terbiasa mengatur semuanya untuk orang lain, tetapi aku bukan anak buahmu. Aku ada istrimu dan suami istri memiliki kedudukan yang setara … Sudahlah, semuanya sudah berakhir. Kalau kamu benar-benar menyesal, setidaknya jangan muncul lagi di hadapanku lain kali."     

Urat di tangan Aiden terlihat menonjol karena ia mencengkeram setir dengan begitu erat, seolah ingin mencabut setir itu dari mobilnya.     

"Beri aku waktu tiga bulan. Kalau kamu masih tidak berubah pikiran setelah tiga bulan, aku tidak akan mengganggumu lagi," pinta Aiden.     

Anya berpikir sejenak dan kemudian mengangguk. "Terima kasih," katanya dengan suara pelan.     

Waktu menunjukkan pukul empat sore ketika mereka tiba di panti asuhan tersebut. Seorang wanita paruh baya dengan rambut berantakan dan baju compang-camping menghampiri mereka. "Cari apa?"     

Seseorang dari dalam panti asuhan langsung keluar dan membantu mereka. "Jangan pedulikan wanita ini, ia sudah gila. Anak perempuannya meninggal karena kebakaran yang terjadi di panti asuhan ini, tetapi ia tidak bisa menerima kenyataan dan terus menunggu di sini. Apa ada yang bisa saya bantu?"     

"Apakah semua anak yang ada di panti asuhan ini meninggal saat terjadinya kebakaran itu?" tanya Anya dengan panik.     

Kebakaran? Kalau semua anak yang berada di panti asuhan ini meninggal, itu artinya sekali lagi Anya akan kehilangan harapannya menemukan orang tua kandungnya.     

"Anakku selamat! Ada beberapa orang panti yang menyelamatkan anakku dan membawanya pergi pada saat itu!" teriak wanita gila itu dengan marah.     

Anya menatap ke arah Aiden, tidak tahu apakah harus mempercayai wanita gila ini atau tidak karena yang dikatakan oleh wanita ini masuk akal.     

Mungkin saja memang ada orang yang berhasil menyelamatkan beberapa anak saat kebakaran itu terjadi.     

"Apakah ada yang selamat?" tanya Aiden pada penjaga panti tersebut.     

Ia menggelengkan kepalanya, "Tidak ada anak yang selamat pada saat itu. Mereka semua terjebak dan tidak bisa keluar."     

"Terima kasih," setelah mengucapkan terima kasih, Aiden membawa Anya meninggalkan panti asuhan tersebut.     

Anya terus menoleh ke belakang, tidak rela penyelidikan mereka berakhir begitu saja. "Aiden, apakah kita harus pulang seperti ini?"     

"Apakah wanita itu mengikuti kita?" tanya Aiden.     

Anya menoleh ke belakang dan melihat bahwa wanita gila yang sebelumnya itu benar-benar mengikuti mereka.     

"Iya. Ia mengikuti kita dari jauh," jawab Anya.     

"Ayo kita berjalan-jalan sebentar," Aiden menggandeng tangan Anya, menuju ke taman yang dipenuhi dengan pohon Tabebuia. Bunga-bunga di pohon tersebut sedang bermekaran dengan indahnya.     

Anya mengangkat kepalanya dan memandang bunga-bunga tersebut, melihat sebagian langit biru di atasnya ditutupi dengan warna merah muda.     

Angin bertiup dan menjatuhkan beberapa kelopaknya, membuat Anya dan Aiden seperti berada di bawah hujan.     

Anya mengangkat tangannya dan salah satu kelopaknya jatuh di atas telapaknya.     

"Aku berjanji untuk mengajakmu ke Jepang dan melihat Sakura, tetapi aku hanya bisa memberikan ini untuk sementara," kata Aiden dengan suara pelan.     

Dalam hati ia berjanji, kalau Anya bersedia memberinya kesempatan kedua dan menerimanya kembali, ia akan memberikan apa pun yang Anya inginkan. Ia akan menepati semua janjinya kepada Anya, membawa Anya pergi ke mana pun ia mau. Ke ujung dunia sekalipun ...     

"Indah sekali …" bisik Anya. Hujan bunga ini membuat Anya teringat terakhir kali ia berjalan bersama dengan Aiden di hari Natal.     

Hari itu, hujan turun rintik-rintik membasahi tubuh mereka saat mereka berjalan-jalan, sama seperti bunga-bunga yang berjatuhan saat ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.